Sukses

Profil Yahya Sinwar, Pengungsi dan Tahanan yang Jadi Pemimpin Hamas

Perjuangan melawan penindasan Israel telah dilakoni Sinwar sejak menjadi mahasiswa.

Liputan6.com, Gaza - Israel pada Kamis (17/10/2024) mengonfirmasi bahwa pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, tewas di Rafah, Jalur Gaza, pada Rabu (16/10).

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan pada Kamis bahwa meskipun pembunuhan Sinwar menandai hari baru, namun dia memperingatkan bahwa perang di Jalur Gaza belum berakhir. Kecuali Hamas menyerah dan membebaskan semua sandera.

Netanyahu juga berkoar kematian Sinwar merupakan kesempatan bagi warga Jalur Gaza untuk akhirnya terbebas dari tirani.

"Hamas tidak akan lagi memerintah Gaza," ujar Netanyahu seperti dilansir Times of Israel, Jumat (18/10). "Kepada para teroris Hamas saya sampaikan: Para pemimpin Anda kabur dan mereka akan dieliminasi."

Dalam pernyataan berbahasa Ibrani, Netanyahu mengalamatkan pernyataannya kepada warga Jalur Gaza, "Sinwar telah menghancurkan hidup kalian."

"Dia bilang dia seekor singa, tapi sebenarnya dia bersembunyi di sarang yang gelap dan dia terbunuh saat melarikan diri dari pasukan kami karena panik."

Sejauh ini Hamas belum mengeluarkan pernyataan apapun terkait kematian Sinwar.

Lantas bagaimana latar belakang sosok Sinwar? Berikut ulasannya seperti dikutip Middle East Eye:

Sinwar lahir di kamp pengungsi Khan Younis di selatan Jalur Gaza pada 29 Oktober 1962, membuatnya berusia 61 tahun saat tewas.

Dia menjadi pemimpin Hamas pada bulan Agustus, beberapa hari setelah pendahulunya Ismail Haniyeh tewas dalam serangan Israel di ibu kota Iran, Teheran.

2 dari 3 halaman

Aktivis yang Lama Jadi Tahanan

Orang tua Sinwar diusir paksa oleh Israel dari rumah mereka di Askhelon pada tahun 1948 selama Nakba (bencana), peristiwa di mana 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka.

Dia mengambil jurusan studi Arab di Universitas Islam Gaza - tempat dia pertama kali menyukai politik dan aktivisme mahasiswa.

Di universitas itulah, pada tahun 1982, dia ditangkap untuk pertama kalinya oleh otoritas Israel karena terlibat dalam aktivisme anti-pendudukan.

Dia ditangkap kembali tiga tahun kemudian dan bertemu Ahmed Yassin, yang kemudian mendirikan Hamas. Yassin membawa Sinwar ke lingkaran dalamnya.

Sinwar kemudian mendirikan Munazzamat al-Jihad w'al-Dawa atau Majd, yang dibentuk untuk memburu dan melenyapkan para kolaborator Palestina dengan Israel. Organisasi ini menjadi aparat keamanan pertama Hamas yang baru dibentuk.

Pada tahun 1988, dia ditangkap lagi oleh pasukan Israel dan kali ini dijatuhi empat hukuman seumur hidup - setara dengan 426 tahun penjara. Dia dituduh terlibat dalam penangkapan dan kematian dua tentara Israel dan empat tersangka mata-mata Palestina. Maka dimulailah masa hukumannya selama 23 tahun di penjara Israel.

Selama ditawan, dia belajar bahasa Ibrani, sering membaca surat kabar Israel, dan mendalami politik dan budaya Israel. Dia mengatakan hal itu membantunya lebih memahami musuhnya.

Sinwar juga menulis novel berjudul "The Thorn and the Carnation", yang terinspirasi dari pengalaman hidupnya sendiri saat tumbuh besar di Jalur Gaza.

Pada tahun 2011, Netanyahu menyetujui kesepakatan yang membebaskan 1.047 tahanan Palestina dengan imbalan Gilad Shalit - seorang tentara Israel yang diculik pada tahun 2006.

Sinwar adalah salah satu tahanan paling terkemuka yang dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan itu.

 

3 dari 3 halaman

Naik ke Puncak Hamas

Sinwar dengan cepat naik pangkat di Hamas setelah dibebaskan dan dalam waktu satu tahun terpilih dalam jajaran biro politiknya. Secara khusus, dia ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Brigade Qassam, sayap bersenjata Hamas.

Dia sangat terlibat, baik secara politik maupun militer, dalam upaya Hamas selama perang tujuh minggu dengan Israel pada musim panas tahun 2014. Beberapa bulan setelah perang itu, Amerika Serikat menambahkan Sinwar ke dalam daftar yang melabelinya sebagai "teroris global yang ditunjuk secara khusus".

Pada tahun 2017, dia menjadi kepala Hamas di Jalur Gaza - peran yang dilakoninya hingga beberapa bulan yang lalu.

Tahun 2017, dia mempelopori pembicaraan rekonsiliasi Hamas dengan Fatah dan Otoritas Palestina (PA) di bawah pengawasan Mesir, yang dengannya dia menjaga hubungan keamanan yang erat.

"(Sinwar) adalah pendukung kuat persatuan Palestina," kata Bassem Naim, seorang pejabat Hamas, kepada Middle East Eye awal tahun ini.

Taktiknya mencakup tindakan tanpa kekerasan dan bersenjata.

Pada tahun 2018, dia memainkan peran utama dalam mengorganisasi protes damai "Great March of Return", yang menuntut diakhirinya pengepungan di Jalur Gaza dan hak untuk kembali bagi para pengungsi. Aksi tersebut ditindak secara brutal oleh pasukan Israel, yang menewaskan 230 pengunjuk rasa.

Dia juga memelopori Operasi Pedang Yerusalem, nama Hamas untuk operasinya sebagai respons atas pengeboman Israel di Jalur Gaza antara tanggal 6 dan 21 Mei 2021.

Terutama, dia dianggap sebagai arsitek Operasi Banjir Al-Aqsa, nama operasi kelompok militan Palestina untuk serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang diklaim Israel menewaskan lebih dari 1.100 orang dan menyandera 250 lainnya.

Serangan balasan Israel ke Jalur Gaza sejak itu telah menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina - sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Sepanjang perang terbaru di Jalur Gaza, Sinwar tidak terlihat di depan umum. Dia diyakini berada di terowongan di bawah Jalur Gaza. Beberapa tawanan Israel yang kemudian dibebaskan mengatakan bahwa mereka pernah melihat atau berbicara dengan Sinwar di sana.

Pada bulan Agustus, sepekan setelah pembunuhan Haniyeh, Sinwar dipilih sebagai penggantinya. Penunjukannya dinilai adalah langkah yang mengejutkan dan berani - banyak yang mengharapkan Khaled Meshaal, yang bermarkas di Doha, Qatar, untuk mengambil peran tersebut.

"Dengan menyatukan kepemimpinan militer dan politik dalam satu orang dan sekuat Sinwar, Hamas mengirimkan pesan persatuan dan ketahanan," kata Khaled Hroub, peneliti dan pakar Hamas, kepada Middle East Eye saat itu.

Terpilihnya Sinwar diyakini pula menunjukkan bahwa para pemimpin Hamas yang bermarkas di Jalur Gaza, di bawah kepemimpinan Sinwar, terus tumbuh dalam kepentingan organisasi tersebut, sementara mereka yang bermarkas di Doha dan luar negeri agak terpinggirkan.

Kenaikan jabatannya juga menunjukkan pentingnya hubungan Hamas dengan Iran.

Sinwar memiliki hubungan dekat dengan Teheran, tidak seperti Meshaal, yang hubungannya dengan Iran menjadi tegang setelah dia menjauhkan diri dari pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah menyusul pecahnya perang saudara Suriah.