Liputan6.com, Tel Aviv - Ketika Hamas menyerang Israel selatan pada 7 Oktober 2023, prajurit cadangan Yotam Vilk tidak dipanggil untuk dinas militer – dia mengajukan diri untuk pergi dan bertempur. Sejak saat itu, dia telah menghabiskan lebih dari 230 hari bertugas bersama militer Israel di Jalur Gaza.
Hal itu telah memengaruhi setiap bagian hidupnya. Dan sekarang, dia menolak untuk bertugas lagi.
Baca Juga
"Pada 7 Oktober, saya tidak ragu... karena masyarakat saya dibunuh dan dibantai dan saya mengerti bahwa ada kebutuhan untuk menyelamatkan mereka, dan masih ada kebutuhan untuk menyelamatkan mereka, yang tampaknya tidak dilihat mendesak oleh pemerintah Israel," kata Vilk kepada CNN seperti dikutip Sabtu (26/10/2024).
Advertisement
Setelah menyelesaikan putaran kedua tugas cadangannya di Jalur Gaza musim panas ini, dia memutuskan akan menolak untuk kembali jika diminta. Dia percaya bahwa tindakan militer dibenarkan dalam beberapa kasus, namun itu seharusnya hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai solusi diplomatik yang mengarah pada perdamaian.
Dia tidak percaya pada keinginan pemerintah Israel untuk mencapainya, sekalipun kehancuran di Jalur Gaza semakin parah, kehidupan warga Palestina semakin parah, dan kehidupan sandera Israel semakin parah.
Pada tanggal 9 Oktober, Vilk bersama dengan lebih dari 130 prajurit cadangan Israel lainnya, menandatangani surat terbuka kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang menyatakan mereka menolak untuk bertugas kecuali jika ada kesepakatan yang ditandatangani untuk mengakhiri perang dan membawa kembali 101 sandera yang masih berada di Jalur Gaza.
"Bagi sebagian dari kami, garis merah telah dilanggar, dan bagi yang lain, garis merah itu semakin dekat: hari ketika, dengan hati yang hancur, kami akan berhenti melapor untuk bertugas," demikian bunyi surat itu.
Di satu sisi, dengan menolak bertugas, dia merasa akan meninggalkan para sandera. Di sisi lain, dengan tidak menolak, dia khawatir akan bertugas dalam perang yang akan berakhir dengan pendudukan Kembali Israel di Jalur Gaza, sesuatu yang tidak diinginkannya.
Meskipun Netanyahu menyatakan tidak akan menduduki kembali Jalur Gaza, Vilk mengungkapkan dukungan pemerintahnya terhadap perluasan permukiman di Tepi Barat yang diduduki membuatnya meragukan klaim Netanyahu.
Kabinet Netanyahu sendiri mencakup menteri sayap kanan yang telah menyerukan pendudukan kembali Jalur Gaza.
"Mereka menempatkan saya dalam posisi yang mengerikan... Saya merasa dikhianati oleh pemerintah saya sendiri," ujar Vilk.
Dan Vilk bukan satu-satunya yang bersuara demikian.
Sudah Muak
Kisah lainnya dituturkan oleh Max Kresch.
Dia bertugas di perbatasan Israel dengan Lebanon selama 66 hari setelah 7 Oktober. Permusuhan di wilayah perbatasan meningkat saat kelompok militan Lebanon, Hizbullah, bersumpah mendukung Hamas. Sekarang, Kresch mengatakan dia sudah muak. Ketika dia kembali ke rumahnya di Yerusalem pada akhir Desember, dia mengatakan dia mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dan jatuh ke dalam depresi berat.
Kresch menggambarkan betapa berat rasanya saat bertugas karena suasananya terasa sangat militeristis sekaligus religius.
"Sebagian besar orang yang bersama saya merasa terinspirasi secara religius untuk bertempur dalam perang ini, yang mana itu sangat tidak nyaman bagi saya," ujarnya.
Dia ingat seorang tentara mengatakan kepadanya bahwa dia percaya itu adalah mitzvah atau kewajiban agama Yahudi untuk membunuh orang Palestina di Jalur Gaza, termasuk anak-anak, karena mereka akan tumbuh menjadi teroris.
Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir, yang berhaluan sayap kanan, telah menyuarakan sentimen serupa. Kresch menuturkan dia merasa "mengerikan" bahwa Ben Gvir memiliki suara yang signifikan di negara itu yang beresonansi dengan banyak orang.
Dengan menandatangani surat menolak untuk bertugas, Kresch menekankan bahwa dia tidak mencoba untuk mencegah orang lain untuk bertugas, namun mendukung mereka yang telah memutuskan untuk tidak bertugas.
Kekhawatiran Kresch memuncak saat Israel menandai satu tahun sejak serangan 7 Oktober, sebuah tonggak yang dia lihat sebagai titik awal yang mematahkan punggung unta, idiom yang merujuk pada tidak lagi bisa menoleransi situasi.
"Kita sudah setahun dan kita masih belum mencapai kesepakatan pembebasan sandera … namun, mencapai kesepakatan tidak akan berarti saya baik-baik saja dan tiba-tiba siap untuk kembali. Punggung unta telah patah. Butuh lebih banyak hal untuk menyembuhkannya," ujarnya.
Â
Advertisement
Bukan Surat Penolakan Pertama
Prajurit cadangan berusia 28 tahun lainnya, yang meminta untuk tetap anonim karena tidak ingin keluarga prajurit yang tewas merasa dikhianati oleh keputusannya untuk menolak, bertugas di Jalur Gaza selama lebih dari 130 hari. Dia juga merasakan beratnya peringatan setahun perang di Jalur Gaza.
Seperti Kresch dan Vilk, dia percaya bahwa Hamas harus dilawan pada tanggal 7 Oktober, tetapi untuk tujuan apa?
"Kita dapat terus mengebom Gaza... Saya bahkan tidak akan berbicara tentang kerugian sipil karena masyarakat Israel akan menutup diri ketika kita membicarakannya. Namun, biaya utilitas. Tidak ada gunanya berperang dalam perang yang dapat berlangsung selamanya," kata dia.
"Perang selamanya" telah menjadi slogan yang digunakan oleh para penentang Netanyahu untuk menggambarkan apa yang mereka yakini sebagai keinginannya untuk terus berperang demi keuntungan politiknya sendiri. Netanyahu telah bersumpah bahwa Israel akan "terus berperang" hingga musuh-musuhnya dikalahkan, para sandera dikembalikan, dan warga Israel yang mengungsi dapat kembali ke rumah mereka di selatan dan utara.
Bulan lalu, pasukan Israel menyerbu Lebanon selatan untuk memulai "fase berikutnya" perang melawan Hizbullah.
Prajurit cadangan berusia 28 tahun itu berasal dari sebuah kota di Israel utara yang telah dihantam roket Hizbullah selama setahun terakhir. Dia merasa yakin bahwa Israel perlu mengejar kelompok militan Lebanon yang didukung Iran itu, namun khawatir hal itu akan mengalihkan fokus dari Jalur Gaza dan membawa kembali para sandera.
Kresch, yang bertugas di perbatasan tahun lalu, saat itu percaya bahwa Hizbullah adalah ancaman yang perlu dicegah. Namun sekarang, dia berpikir Netanyahu telah "memanfaatkan" trauma kolektif Israel "untuk keuntungan politik".
Ini bukan pertama kalinya sejak serangan Hamas para prajurit cadangan menyatakan penolakan mereka untuk bertugas. Pada bulan Mei, lebih dari 40 prajurit cadangan menandatangani surat setelah pasukan Israel menyerbu Kota Rafah di Gaza Selatan.
Namun, untuk surat baru ini, jumlah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat dan taruhannya jauh lebih tinggi karena Israel melancarkan perang di berbagai medan.
Keputusan Moral
Menteri Perhubungan Israel Miri Regev menyerukan agar mereka yang menandatangani surat penolakan ditahan.
"Tidak ada tempat untuk penolakan di ketentaraan. Tidak dari pihak kanan dan tidak dari pihak kiri," tegasnya.
Beberapa hari setelah surat penolakan muncul, Kresch mengungkapkan bahwa dia menerima telepon dari perwira yang bertanggung jawab untuk memanggil prajurit cadangan di unitnya. Perwira itu memintanya untuk menarik kembali apa yang telah dikatakannya atau bersumpah untuk tidak memanggilnya kembali ke pasukan cadangan.
"Saya katakan saya tetap pada apa yang saya tandatangani... sejauh yang saya ketahui, ini tidak dapat diperbaiki di bawah Netanyahu dan siapa pun yang datang setelahnya akan memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kepercayaan yang rusak," tutur Kresch.
Sementara itu, Vilk mengatakan dia menerima telepon dari komandan brigade, yang mengancam akan mencopotnya dari jabatannya.
Dia menjabat sebagai wakil komandan kompi di Jalur Gaza dan meskipun menolak untuk bertugas, dia masih memegang jabatan itu. Vilk mengatakan komandan brigade tersebut mengklaim dia tidak diizinkan untuk berbicara menentang pemerintah karena itu merupakan pelanggaran terhadap perintah militer.
"Saya masih tidak tahu bagaimana ini akan terjadi," kata Vilk, seraya menambahkan bahwa dia tidak khawatir tentang akibatnya.
"Saya lebih peduli tentang keputusan moral dan kesejahteraan saya serta kemampuan saya untuk melihat ke belakang dan percaya bahwa saya membuat pilihan yang tepat dan bahwa saya berada di sisi sejarah yang benar."
Adapun prajurit cadangan berusia 28 tahun mengungkapkan bahwa dia merasakan hal yang sama. Dia tidak menyangka surat penolakan itu akan mendapat sambutan hangat dan hanya berharap itu akan membawa kebaikan.
"Konflik saya sama sekali tidak dengan orang-orang yang memilih untuk pergi bertugas … ini tentang mematuhi perintah ketika itu membantu negara kita dan ketika itu membantu kita menyelamatkan nyawa, dan tidak mematuhi perintah ketika kita tidak perlu melakukannya karena itu berbahaya dan membahayakan," imbuhnya.
"Perang adalah hal yang buruk. Kita harus mencoba membuatnya sesingkat mungkin. Dan sekarang, sepertinya perang telah menjadi tujuan bagi para pemimpin kita, tidak melayani tujuan apa pun adalah tujuan itu sendiri."
Â
Advertisement