Sukses

Kisah Diaspora Indonesia di Australia, Raih Cuan Sekaligus Promosi Rendang

Peluang, kesempatan, dan rindu menggerakkan Fina untuk memulai usaha kuliner Indonesia di Negeri Kanguru. Bagaimana kisahnya?

Liputan6.com, Perth - Melihat peluang usaha sekaligus kesempatan menyebarkan budaya Indonesia, Fina Khairaty, diaspora Indonesia yang tinggal di Kota Perth, Australia, memutuskan mendirikan restoran Padang. Dia menamakannya Totally Rendang.

"Sebelum menetap di Perth, pekerjaan suami membuat kami harus berpindah-pindah ke berbagai negara. Tempat-tempat itu membuat pikiran saya terbuka bahwa makanan Indonesia yang 'benar' dan enak itu susah dicari," tutur Fina kepada Liputan6.com pada Senin, (28/10/2024).

Rasa rindu terhadap masakan Indonesia ikut membulatkan tekad Fina. Dia pun mencari tahu apakah sebagai seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dia dapat membuka usaha.

Fina yang berdarah Sumatra Barat, akhirnya mengajak sejumlah temannya untuk membuka restoran Padang. Alasannya fokus pada masakan daerah asalnya adalah karena menurutnya kebanyakan WNI, dari mana pun asalnya, menikmati nasi Padang yang autentik.

Setelah melakukan survei dan belajar bagaimana menjadi pengusaha di bidang kuliner, Fina membuka Totally Rendang pada bulan Juni 2018. Dia menyebut tahun pertama sebagai tahun edukasi.

Fina yang merupakan lulusan psikologi dan tidak memiliki latar belakang bisnis atau pun kuliner menghabiskan tahun tersebut dengan belajar cara menjalankan bisnis.

"Kita juga mengedukasi market kita bahwa ada masakan Indonesia yang seperti ini. Terus, yang paling penting buat saya adalah meluruskan sejarah dan fakta bahwa rendang itu adalah dari Indonesia, dari Sumatra Barat," ujar Fina.

"Kalau kamu ke luar negeri kamu akan lebih sering melihat restoran yang bukan restoran Indonesia dan mereka menyajikan rendang dan rendangnya itu berantakan banget, bukan rendang."

Fina pun lantas menggunakan restorannya untuk mempromosikan rendang yang asli.

Sembari menjalankan Totally Rendang, Fina merasa dia masih bisa berbuat lebih untuk mempromosikan masakan Indonesia. Pada tahun 2023, Fina dan temannya memutuskan membeli FEZ Cafe dan memasukkan menu-menu Indonesia dalam daftar hidangannya.

"Tahun lalu, saya buka lagi usaha yang kedua karena kayanya masih diperlukan usaha yang lebih gencar lagi untuk memperkenalkan makanan Indonesia. Jadi, kebetulan ada teman yang tertarik juga, akhirnya kita beli kafe punya orang bule di sini. Kita jual kopi dan lain-lain, menunya kita rombak, menunya kita masukin menu-menu Indonesia," cerita Fina.

Walau akhir-akhir ini WNI di Australia semakin banyak dan ada di antara mereka yang juga membuka usaha rumah makan Padang, Fina tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang mengancam bisnisnya. Sebaliknya, dia berusaha untuk menjalin hubungan positif dengan pengusaha-pengusaha diaspora Indonesia lainnya.

"Kompetisi yang sehat itu perlu. Tapi, dengan konteks bahwa kita di luar negeri, kita bukan di Indonesia, dan kita sama-sama memperkenalkan makanan Indonesia ke bukan orang Indonesia juga. Jadi, saya mencoba untuk menjalin hubungan baik dengan semua pihak karena sebenarnya kita itu satu kesatuan," ujarnya.

2 dari 5 halaman

Culture Shock

Fina, yang berusia 44 tahun, tinggal di Australia sejak tahun 2017 bersama suami dan anak-anaknya. Dan Perth yang berpopulasi lebih sedikit dari Jakarta diakui Fina memberi suasana yang mengejutkan baginya.

"Di Perth ini rasanya sangat sepi … jadi itu juga merupakan culture shock," kata dia, seraya menambahkan bahwa kota di Australia Barat itu memiliki peraturan yang sangat berbeda dengan Jakarta, salah satunya soal jam buka-tutup toko/supermarket dan lain-lain.

Toko-toko di sana beroperasi lebih sebentar dan tutup lebih awal dibandingkan di Indonesia.

"(Tempat-tempat tersebut) buka selama tujuh hari. Tapi, memang Sabtu dan Minggu tutupnya pukul 17.00 … Hari-hari lain, supermarket tutup pukul 20.00. Sekali seminggu, setiap hari Kamis, pusat perbelanjaan boleh buka sampai pukul 21.00," ungkap Fina.

Belanja online sangat lumrah dilakukan di Perth.

"Di sini, banyak orang yang merasa tidak perlu ke shopping center," kata Fina.

Warga Perth, sebut Fina, jarang berkunjung ke mal dan lebih memilih menghabiskan waktu di ruangan terbuka. Fina mengambil contoh salah seorang temannya, yang hanya pergi ke mal sekali atau dua kali dalam sebulan.

"Mereka lifestyle-nya itu going outdoor. Ke taman, piknik, ke pantai, hiking, seperti itu," ungkap ibu tiga anak itu.

Hidup di negara di mana muslim menjadi minoritas tentu menimbulkan tantangan tersendiri.

Fina mengisahkan bahwa fasilitas publik seperti masjid masih terbatas di kota yang dihuninya. Selain itu, hari raya seperti Idulfitri juga tidak diakui sebagai hari libur, sehingga umat muslim masih harus bekerja dan masuk sekolah.

Namun, di tengah keseharian yang asing, Fina terus menyesuaikan diri dan bersikap terbuka dengan perbedaan yang ada.

"Proses beradaptasinya banyak bersabar, banyak observasi, tidak boleh negative thinking. Kita harus lebih open minded, lebih mengerti bahwa tidak semua bisa sesuai dengan maunya kita. Itu proses yang sebenarnya untuk saya positif, membuat saya menjadi orang yang lebih baik juga dengan perbedaan approach ini," ujar Fina.

 

3 dari 5 halaman

Pola Pikir Baru

Fina tumbuh besar di perumahan, di mana ikatan antar tetangga kuat dan saling mengenal. Tak heran bila sifat individualistis di lingkungan barunya menjadi hal baru.

"Kalau mereka tidak ramah atau mereka tidak mau ikut campur atau bantu kita, itu juga bukan sombong atau apa, tapi karena memang begitu. Pada dasarnya, mereka menghargai privacy. Jadi, kesannya seperti tidak peduli, padahal sih kalau diomongin baik-baik, diminta bantu, mereka bersedia membantu," ungkap Fina.

Fina menuturkan bahwa orang-orang di lingkungan yang dihuninya kritis. Kecenderungan berpikir kritis membuat mereka sering mengutarakan opini dan hal itu mau tidak mau memengaruhi kehidupan keluarga.

Sebagai ibu, dia merasakan hal itu pada anak-anaknya sendiri.

"Mereka berani beropini, berani menyanggah. Mungkin kalau di budaya kita, kesannya anak kita tidak sopan walaupun mereka bilangnya dengan sopan," tutur Fina tentang anak-anaknya.

"Tapi, sebenarnya kalau kita lihat dari perspektif yang berbeda, mereka berpikir kritis, mereka bertanya. Tidak bisa kita asal perintah begitu saja. Kita beri mereka alasan."

 

 

4 dari 5 halaman

Beragamnya Komunitas Indonesia

Melalui restoran Totally Rendang, Fina mulai mengenali banyak WNI yang tinggal di Perth, termasuk beragamnya komunitas mereka.

Komunitas-komunitas yang didirikan oleh diaspora Indonesia di Perth, ungkap Fina, mencerminkan tanah air sendiri karena keragamannya. Tidak hanya berdasarkan kebangsaan, terdapat juga komunitas yang berdasarkan kedaerahan, agama, ikatan alumni, dan sebagainya.

"Yang aktif mungkin tidak semua, tapi terakhir, pada saat kita bikin Festival Indonesia, kalau tidak salah di data itu … ada sekitar 70-an organisasi masyarakat di Australia Barat," ungkap Fina.

Fina turut berkontribusi dalam penyelenggaraan Festival Indonesia, acara yang dilaksanakan di Perth untuk memperkenalkan budaya Indonesia. Dia menjadi ketua penyelenggara pada tahun 2020 saat festival itu dilakukan secara hybrid.

Sejauh ini, Festival Indonesia telah diselenggarakan sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2019, 2020, dan 2021. Acara ini diwujudkan oleh panitia yang bertindak secara sukarela. Festival Indonesia sendiri menjadi pengalaman positif yang berkesan bagi Fina.

"Di situ kita lihat betapa orang Australia sangat terbuka dan bersedia untuk belajar mengenai kita sebenarnya," ucap Fina.

Bagi Fina, acara tersebut tidak hanya bertujuan mengharumkan nama bangsa, namun juga memberinya kesempatan untuk berkenalan dan berteman dengan warga lokal.

5 dari 5 halaman

Suka Duka di Australia

Setiap hal selalu ada baik dan buruknya, begitu juga dengan kisah Fina, yang sudah menetap di Australia selama tujuh tahun.

Salah satu sisi positif tinggal di Australia yang dirasakan Fina adalah keteraturan dan kejelasan.

"Semua kejelasan dan keteraturan itu mengurangi masalah-masalah hidup yang tidak perlu. Jadi, kita bisa fokus. Peraturan, hukum, dan sebagainya, ditegakkan dengan benar. Jadi, adil semua. Informasi mudah. Seperti saat waktu bikin bisnis, saya bisa ke - mungkin ke kecamatan atau kelurahan - ke council setempat untuk minta informasi. Kita dibimbing. Jadi, informasi semua jelas," kata Fina.

Sebagai ibu, Fina menilai bahwa membesarkan anak di Australia juga ada sisi baiknya. Gaya hidup yang sering berinteraksi dengan alam dan udara yang bersih membuat anak lebih sehat. Kurikulum yang jelas dan budaya berpikir kritis juga memberi pengaruh baik.

Namun, bagaimanapun, Fina tak menampik bahwa jauh dari tanah air kerap membuatnya sedih.

"Yang namanya bukan di tanah air sendiri, ada hal-hal yang bikin sedih, seperti support system. Kan jauh dari keluarga. Kalau kita sakit, kalau kita berbagi kesenangan dan kesedihan, keluarga kita jauh," ucapnya.

Fina menyoroti pula tingginya biaya hidup di Perth, bahkan dalam standar orang lokal.

"Apa-apa mahal. Jasa itu mahal ... Banyak sekali pekerjaan yang dihitung per jam. Jadi, kita kalau mau panggil tukang, siap-siap bayar mahal," tutur Fina.

Biaya yang mahal itu mau tidak mau membuat Fina berupaya mengerjakan segala hal sendiri.

Populasinya yang sedikit juga membuat sejumlah akses layanan publik di Perth menjadi terbatas. Menurut Fina, di sana, bila seseorang mengunjungi dokter umum dan dirujuk kepada dokter spesialis maka dia harus menunggu bahkan hingga berminggu-minggu.

Di luar itu, sebagai minoritas, diaspora Indonesia juga bisa menghadapi diskriminasi. Fina yang bukan orang lokal Australia, seorang muslim, dan seorang perempuan adalah triple minority.

"Saat kami sampai ke sini pertama kali, di tahun 2010, rasanya nggak enak banget. Dilihatin dari ujung kepala sampai ujung kaki atau, misalnya, kita ke toko, tidak dilayani, tidak digubris," kata Fina.

"Sampai sekarang, kalau kita mau sensitif, tetap ada. Diskriminasi ras, segala macam itu tetap ada."

Namun, setelah lebih banyak orang asing datang untuk belajar atau bekerja, Australia menjadi lebih terbiasa dan terbuka dengan orang-orang luar.

"Mereka juga saat itu (2010) belum biasa melihat imigran. Ketika kita fast forward ke 2017, setelah sudah lebih terbuka, lebih banyak orang datang, mereka jauh lebih mengerti," imbuhnya.