Liputan6.com, Roma - Kerawanan pangan akut diperkirakan akan memburuk di Sudan yang dilanda perang dan hampir dua lusin negara dan wilayah lain dalam enam bulan ke depan, sebagian besar akibat dari konflik dan kekerasan. Demikian menurut analisis Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP).
Edisi terbaru laporan "Hunger Hotspots" yang terbit dua kali setahun, yang dirilis pada hari Kamis (31/10/2024), memberikan peringatan dini tentang krisis pangan dan situasi di seluruh dunia di mana kerawanan pangan kemungkinan akan memburuk.
Baca Juga
Konflik selama 18 bulan telah memicu kelaparan di Sudan dengan mengganggu sistem pangan, menyebabkan pengungsian, dan memblokir akses untuk dukungan kemanusiaan. Cuaca ekstrem, seperti banjir, juga berperan dalam memperburuk kerawanan pangan.
Advertisement
Untuk mengidentifikasi titik-titik rawan kelaparan di seluruh dunia, para ahli dan analis keamanan pangan dari FAO dan WFP melakukan analisis risiko konflik, kekerasan politik, guncangan ekonomi, bencana alam, dan menilai gangguan saat ini atau yang mungkin terjadi pada kegiatan pertanian yang disebabkan oleh risiko tersebut.
Mereka menemukan 22 titik rawan kelaparan, di mana kerawanan pangan akut diproyeksikan akan memburuk antara November 2024 dan Mei 2025.
Sudan, Sudan Selatan, Mali, Palestina, dan Haiti dinilai berada pada tingkat yang paling mengkhawatirkan, yang berarti mereka menghadapi kelaparan atau risiko kelaparan atau memiliki populasi yang terancam bencana.
"Orang-orang mengalami kekurangan makanan yang ekstrem dan menghadapi kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu seperti dilansir The Guardian, Sabtu (2/11).
Laporan FAO dan WFP menyebutkan pula bahwa intensifikasi perang akan menyebabkan perpindahan massal lebih lanjut dan memperburuk krisis kemanusiaan regional, yang menyebabkan peningkatan pergerakan lintas batas ke Chad, Sudan Selatan, Mesir, Libya, Ethiopia, dan Republik Afrika Tengah.
"Tanpa upaya kemanusiaan segera dan tindakan terpadu internasional untuk mengatasi kendala akses yang parah dan mengadvokasi de-eskalasi konflik dan ketidakamanan, kelaparan lebih lanjut dan hilangnya nyawa kemungkinan besar terjadi di Palestina, Sudan, Sudan Selatan, Haiti, dan Mali," kata petugas darurat dan rehabilitasi FAO Aurelien Mellin.
Analisis tersebut mengklasifikasikan Chad, Nigeria, Mozambik, Lebanon, Myanmar, Suriah, dan Yaman sebagai titik panas yang sangat memprihatinkan, yang berarti populasi besar di sana menghadapi atau diperkirakan akan menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang kritis.
Dua negara – Namibia dan Lesotho – muncul dalam daftar titik panas kelaparan untuk pertama kalinya karena dampak negatif dari peristiwa cuaca dan penurunan signifikan dalam produksi pertanian tahun ini. Negara-negara lain dalam kategori ketiga yang paling mengkhawatirkan adalah Kenya, Niger, Burkina Faso, Ethiopia, Malawi, Somalia, Zambia, dan Zimbabwe.
Laporan FAO dan WFP mengatakan pula bahwa peristiwa La Nina – fenomena iklim alami yang memengaruhi pola curah hujan dan suhu – diperkirakan terjadi mulai November 2024 hingga Maret 2025. Fenomena ini kemungkinan akan meningkatkan risiko banjir di Nigeria, Malawi, Mozambik, Sudan Selatan, Zambia, dan Zimbabwe, sekaligus menyebabkan kekeringan di Ethiopia, Kenya, dan Somalia.
"Iklim ekstrem yang disebabkan La Nina dapat berdampak parah pada ketahanan pangan," kata Mellin. "Banyak negara yang mengalami krisis kemanusiaan berisiko lebih jauh terdampak La Nina, yang dapat memperburuk kerawanan pangan, meningkatkan penderitaan manusia, dan mengakibatkan kerugian ekonomi lebih lanjut."
Kevin Mugenya, direktur program di lembaga amal Mercy Corps Ethiopia, mengungkapkan bahwa laporan FAO dan WFP menyoroti peningkatan yang meresahkan dalam kerawanan pangan di seluruh Afrika. Namun, dia menambahkan, "Sayangnya, hal itu tidak mengejutkan."
"Kami melihat kelaparan semakin parah akibat campuran kompleks konflik, tantangan ekonomi, dan perubahan iklim – yang menciptakan krisis kelaparan terburuk dalam satu generasi, khususnya di negara-negara seperti Sudan, Nigeria, dan Mali," tutur Mugenya.
"Hal ini diperkirakan sebagai akibat dari konflik dan ketidakstabilan yang terjadi selama bertahun-tahun di wilayah tersebut yang telah mengganggu rantai pasokan pangan dan musim tanam bagi petani, sehingga semakin sedikit lahan yang ditanami."
Laporan yang sama menyerukan bantuan segera dan ditingkatkan di daerah rawan kelaparan untuk melindungi mata pencaharian dan meningkatkan akses terhadap pangan.