Liputan6.com, Tel Aviv - Amerika Serikat (AS) membekukan pengiriman 130 buldoser ke Israel di tengah pembongkaran rumah-rumah di Jalur Gaza. Demikian dilaporkan media Israel pada hari Minggu (10/11/2024).
Menurut harian Israel Yedioth Ahronoth, Kementerian Pertahanan Israel menandatangani kontrak besar untuk membeli sekitar 130 buldoser D9 dari perusahaan asal AS Caterpillar.
Baca Juga
Surat kabar, yang mengutip sejumlah sumber keamanan Israel, itu menyebutkan bahwa AS baru-baru ini membekukan kesepakatan karena penggunaan buldoser untuk menghancurkan rumah-rumah di Jalur Gaza, yang telah memicu kritik luas di AS. Demikian seperti dilansir kantor berita Anadolu, Senin (11/11).
Advertisement
Sumber-sumber itu mengklaim Israel telah membayar buldoser tersebut dan sedang menunggu persetujuan ekspor dari Kementerian Luar Negeri AS.
Harian Israel menyebutkan bahwa pembekuan terjadi pada saat Israel sangat membutuhkan buldoser, terutama setelah peralatan-peralatan itu menjalani perawatan.
Laporan yang sama menuturkan fakta bahwa tentara Israel juga terlibat dalam operasi darat di Lebanon selatan selama lebih dari sebulan terakhir membuat buldoser D9 tambahan diperlukan untuk digunakan di wilayah tersebut.
Surat kabar Israel mengatakan pembekuan pengiriman buldoser telah menunda penyelesaian rencana Israel untuk menciptakan zona penyangga antara Jalur Gaza dan Negev di Israel selatan, yang akan mencakup penghancuran ratusan bangunan Palestina dan area pertanian di sepanjang perbatasan Jalur Gaza.
Harian Yedioth Ahronoth melaporkan pula bahwa AS turut membekukan pengiriman ratusan bom berat ke tentara Israel, yang telah membeli sekitar 1.300 bom dari Boeing. Bom-bom ini beratnya hampir satu ton. AS menyatakan kekhawatiran bahwa bom-bom itu dapat digunakan untuk melukai warga sipil di Jalur Gaza.
"Sementara setengah dari pengiriman bom berat akhirnya terkirim, setengah lainnya masih tertahan di fasilitas penyimpanan AS," tambahnya.
Israel hingga kini terus melanjutkan serangan yang menghancurkan di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera. Serangan gencar itu telah menewaskan lebih dari 43.600 warga Palestina dan membuat daerah kantong itu hampir tidak dapat dihuni.