Sukses

PM Barbados Ajak Donald Trump Bertemu untuk Bahas Perubahan Iklim

Pada periode pertamanya sebagai Presiden AS (2017-2021), Trump secara terbuka meragukan atau mengingkari konsensus ilmiah terkait perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Liputan6.com, Baku - Mia Mottley, perdana menteri Barbados yang memperjuangkan isu iklim, mengundang Donald Trump untuk bertemu langsung. Dia bertekad akan mencari "titik temu" dan meyakinkan Trump bahwa aksi iklim adalah demi kepentingannya sendiri.

"Mari kita temukan tujuan bersama dalam menyelamatkan planet ini dan menyelamatkan mata pencaharian," katanya kepada The Guardian di KTT Iklim COP29 di Azerbaijan, seperti dikutip Kamis (14/11/2024).

"Kita adalah manusia dan kita memiliki kapasitas untuk bertemu langsung, terlepas dari perbedaan kita. Kita ingin umat manusia bertahan hidup. Dan bukti (dari krisis iklim) kini kita lihat hampir setiap minggu."

Hanya melalui pertemuan pribadi di antara para pemimpin dunia, kata Mottley, perubahan besar yang dibutuhkan dalam aksi iklim dapat dicapai.

"Presiden Trump telah sangat jelas tentang pentingnya percakapan tatap muka semacam itu dalam hal-hal yang menurutnya dapat diselesaikannya juga," ungkap Mottley.

Mottley, perdana menteri yang membawa Barbados keluar dari wilayah persemakmuran menjadi negara republik, telah menjadi sosok yang menggetarkan di berbagai pertemuan puncak iklim PBB sejak dia naik panggung di COP26 di Glasgow pada tahun 2021 dengan pidato penuh semangat yang menuntut para pemimpin dunia berusaha lebih keras untuk menghindari "hukuman mati" bagi negaranya.

Sejak saat itu, dia telah mendapatkan reputasi global sebagai pejuang tangguh bagi negara-negara berkembang yang paling terdampak oleh kerusakan iklim. Dia juga telah memimpin gerakan di antara negara-negara berkembang dan beberapa negara maju untuk mengubah sistem keuangan global guna menghasilkan dana yang dibutuhkan untuk mengubah dunia ke ekonomi rendah karbon.

Terpilihnya kembali Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) telah membayangi COP29, yang dimulai pada hari Senin (11/11) di Baku. Sejumlah pemimpin dunia terbang untuk menghadiri pertemuan puncak tersebut, namun para kepala pemerintahan dari sebagian besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia tidak hadir.

Para delegasi khawatir Trump akan kembali menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, menghapus peraturan dan target iklim, serta mendorong rencana "drill, baby, drill" atau lebih banyak bahan bakar fosil. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa jika dia menepati janji kampanyenya, dunia tidak akan punya banyak harapan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5C di atas periode pra-industri.

Negosiator Argentina, yang mewakili presiden yang meragukan perubahan iklim, Javier Milei, pada hari Rabu diperintahkan untuk mundur dari COP29 dan segera meninggalkan Azerbaijan.

"Benar. Kami mendapat instruksi dari Kementerian Luar Negeri (Argentina) untuk tidak lagi berpartisipasi. Itu saja yang bisa saya sampaikan," kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup Argentina Ana Lamas.

Saat ditanya apakah Argentina berencana menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris, Lamas mengatakan keputusan itu hanya berlaku untuk COP29.

Mottley mencatat bahwa Trump telah menunjukkan keinginan untuk menangani krisis iklim sebelumnya.

"Saya pikir ada kemungkinan untuk berdiskusi. Kecepatan luar biasa yang sama yang digunakan Presiden Trump untuk menangani masalah vaksin dan pengembangan vaksin adalah kecepatan luar biasa yang ingin kami dorong untuk dia dan yang lainnya kejar dalam teknologi dekarbonisasi," tutur Mottley.

Dia juga yakin dia dapat menunjukkan kepada Trump bahwa AS akan mendapat manfaat ekonomi dari mengatasi krisis iklim.

 

Mottley berpendapat Trump juga akan merasa sulit untuk sepenuhnya membatalkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi, yang memberikan insentif bagi energi bersih, karena banyak daerah yang sebelumnya tertekan di seluruh AS, termasuk daerah yang secara tradisional memilih Partai Republik, telah melihat pekerjaan dan industri baru bermunculan karenanya.

COP29 berfokus pada isu pendanaan iklim, dengan menetapkan tujuan global baru yang akan memberikan setidaknya USD 1 triliun per tahun kepada negara-negara berkembang, untuk membantu mereka mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan dampak cuaca ekstrem yang dipicu oleh iklim.