Liputan6.com, Jakarta - Mulai dari memadatkan daging sapi utuh hingga seukuran kepalan tangan manusia, sampai mengawetkan burung laut dalam kulit anjing laut, ada ratusan cara yang dapat dilakukan oleh budaya tradisional untuk mengawetkan dan menghemat salah satu sumber daya yang paling berharga sekaligus paling sering disia-siakan: makanan.
Setiap tahun, sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi, yaitu 1,3 miliar ton makanan yang seharga $1 triliun (Rp15 ribu triliun) berakhir membusuk di tempat sampah konsumen dan penjual atau rusak karena praktik transportasi dan panen yang buruk.
Selain dampak moral dari pemborosan tersebut di dunia di mana hampir 900 juta orang kelaparan setiap harinya, makanan yang tidak dikonsumsi akan menyia-nyiakan energi yang digunakan untuk menanamnya dan bahan bakar yang dihabiskan untuk mendistribusi hasil panen.
Advertisement
Selain itu, sejumlah besar gas rumah kaca metana yang kuat berasal dari makanan yang membusuk di tempat pembuangan sampah, sementara peternakan dan hutan yang ditebangi untuk produksi makanan berkontribusi terhadap pemanasan global. Misalnya, pertanian dan perubahan tata guna lahan seperti penggundulan hutan menyumbang lebih dari 30 persen total emisi gas rumah kaca global.
Tidak hanya dengan menemukan cara-cara baru, tetapi dunia juga dapat belajar dari cara-cara budaya tradisional kuno mengajari negara maju yang boros tentang cara mengawetkan makanan.
Dilansir dari United Nations Environment Programme pada Minggu (24/11/2024), berikut adalah berbagai cara yang dilakukan budaya-budaya tradisional untuk mengawetkan makanan:
1. Mongolia
Mongolia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dan berupaya memastikan pertumbuhan ini berjalan seiring dengan ekonomi dan peradaban hijau. Kehidupan nomaden dari banyak penduduknya memang menawarkan beberapa solusi kuno untuk tantangan modern dalam hal limbah makanan.
Jenderal Mongolia, Genghis Khan, dan pasukannya menggunakan makanan tradisional yang disebut borts untuk berpacu melintasi Asia tanpa bergantung pada rantai pasokan yang rumit.Â
Borts pada dasarnya adalah daging sapi pekat yang setara dengan protein satu ekor sapi yang dipadatkan dan digiling hingga seukuran kepalan tangan manusia. Metode pengawetan luar biasa yang tidak memerlukan pendinginan ini menghasilkan makanan yang setara dengan beberapa steak ketika proteinnya diserut ke dalam air panas untuk membuat sup.
2. Turki
Tidak terlalu jauh, para penunggang kuda Turki di Asia Tengah memiliki solusi sendiri. Menurut Turkish Cultural Foundation (Yayasan Kebudayaan Turki), mereka mengawetkan daging dengan cara menempatkannya di dalam kantong di pelana kuda untuk ditekan oleh kaki mereka saat berkuda. Daging ini merupakan nenek moyang langsung dari pastirma, istilah yang berarti 'ditekan' dalam bahasa Turki, dan juga diyakini sebagai asal muasal pastrami Italia.
3. Greenland
Lebih jauh di utara yang membeku, suku Inuit dari Greenland menyantap hidangan yang disebut Kiviak.
Kiviak adalah makanan tradisional musim dingin yang terbuat dari Auks, seekor burung kecil yang memiliki kemiripan sekilas dengan penguin. Ratusan burung utuh dibungkus dengan kulit anjing laut, yang kemudian dibuang udaranya sebelum dijahit.
Kulit tersebut ditempatkan di lapisan es di bawah batu untuk membantu mencegah udara masuk. Burung-burung itu kemudian difermentasi selama sekitar tujuh bulan sebelum digali dan dimakan, sering kali pada saat perayaan.
Advertisement
4. Amerika Selatan
Di banyak negara di Amerika Selatan, hidangan kentang kering beku yang dikenal sebagai chuño, yang sudah ada sejak zaman Kekaisaran Inca, dimakan masyarakat secara luas. Kentang-kentang tersebut secara bergantian terpapar udara malam yang dingin dan teriknya sinar matahari siang hari selama lima hari, sembari diinjak-injak untuk mengeluarkan semua kelembapannya. Chuño dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
5. Nigeria
Di Nigeria dan beberapa negara Afrika Barat lainnya, bahan makanan kering yang disebut garri diproduksi dari umbi singkong yang dikupas, dicuci, dan diparut. Tumbukan yang dihasilkan ditempatkan dalam kantong berpori dan dibiarkan berfermentasi sambil ditekan oleh beban untuk mengeluarkan kandungan airnya. Terakhir, singkong diayak dan dipanggang untuk penyimpanan jangka panjang.