Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Hubungan Internasional St. Petersburg University Connie Rahakundini Bakrie menilai saat konstelasi global yang tidak menentu seperti sekarang, tidak ada lagi satu kekuatan dominan yang bisa mendikte negara lain. Untuk menghadapi itu, Indonesia harus bisa memanfaatkan keuntungan geografis dan memimpin secara regional atau bahkan global.
"Saya mau ajak kita percaya bahwa negara kita bisa jadi kuat," kata Connie dalam diskusi 'Wealth Wisdom, Make Indonesia Great: Our Nation’s Journey to Wealth and Influence' pada Selasa (19/11/2024).
Di hadapan para peserta dan investor yang hadir di acara tersebut, Connie menjelaskan bahwa penempatan uang juga harus tepat. Sebagai contoh adalah investasi di industri pertahanan.
Advertisement
"Saya mau mengajak kita percaya kepada negara kuat itu, bagaimana militernya kuat, tetapi itu harus didukung oleh industri pertahanan yang kuat, sehingga kita membutuhkan science dan knowledge yang kuat dan kita perlu mungkin pemimpin yang tahu dia mau apa untuk negaranya dan bagaimana kemudian mampu menegaskan itu dalam sikap-sikapnya," tutur Connie.
Connie mengapresiasi langkah-langkah awal yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto setelah dilantik, yaitu membangun berbagai kemitraan strategis dengan negara luar, termasuk berperan aktif pada kamanan regional.
"Kita juga mesti hati-hati karena dikelilingi oleh gabungan negara-negara dengan kepentingan yang berbeda," ujarnya.
Sebagai negara maritim, Indonesia juga harus bisa mengamankan wilayahnya untuk mengawal jalur pasokan global.
"Kalau terjadi apa-apa, dampak pada arus perdagangan ini akan parah," tegas Connie.
Gangguan itu, jelas Connie, akan berpengaruh kepada investasi langsung atau pada FDI (Foreign Direct Investment), energi security dan food security, volatilitas pasar saham, serta diikuti oleh masalah sosial dan lainnya.
Dukung Indonesia Gabung BRICS
Hal lain yang juga disoroti Connie dalam kesempatan yang sama adalah langkah Presiden Prabowo mengupayakan Indonesia menjadi salah satu negara anggota BRICS, organisasi negara berkembang yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.
"Jangan sampai disebut non-blok, jadi nggak nge-blok kemana-mana, malah nggak dapat blok apa-apa gitu. Tapi bloknya kayak gini nih, semuanya didatangin, kita bisa dapat apa dari situ begitu," ungkap Connie.
Manfaat lain bergabung di BRICS, terang Connie, adalah Indonesia mampu membuka peluang untuk diversifikasi ekspor sekaligus mengurangi ketergantungan pada negara maju. Connie menyatakan Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan memperkuat kedaulatan moneter.
"Ada dukungan modernisasi untuk mendorong transformasi industri dan digital Indonesia," kata dia.
Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan BRICS dapat meningkatkan dan memperluas kemitraan energi dan sumber daya alam (SDA), khususnya pada sektor energi terbarukan dan pertambangan.
"Dukungan modernisasi akan terjadi dan bagaimana cita-cita kita nih multiprioritas akan terbangun dan kemitraan SDA kita terwujud selain juga bagaimana kita mampu lebih berperan dalam dunia," sambungnya.
Connie juga menguraikan tantangan yang bakal dihadapi Indonesia selepas menjadi anggota BRICS, yakni tumbuhnya ketergantungan risiko ekonomi pada China dalam aspek investasi dan perdagangan.
Risiko lainnya adalah problem geopolitik yang menyebabkan Indonesia sulit membuka hubungan dengan AS dan Uni Eropa.
"Karena gini kita juga enggak boleh terlalu tergantung pada China karena kita tetap berbicara tentang kedaulatan ekonomi, kemudian resiko geopolitik katanya ada nah itu kita ukur benar kalau kita gabung politiknya. Kemudian bagaimana keterbatasan isu nasional dan struktural di dalam negeri yang harus kita percayakan akan segera dibangun untuk menegaskan pengaruh kita mampu untuk menghadapi ini semua," imbuh Connie.