Liputan6.com, Washington, D.C. - Pada 6 Desember 1941, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt (FDR) — yang kala itu yakin berdasarkan laporan intelijen bahwa armada Jepang tengah menuju Thailand, bukan Amerika Serikat — mengirim pesan kepada Kaisar Hirohito dengan permintaan "demi kemanusiaan", agar sang kaisar turun tangan untuk "mencegah kematian dan kehancuran lebih lanjut di dunia."
Mengutip dari History.com pada Jumat (6/12/2024), Angkatan Udara Australia telah melihat armada Jepang yang meliputi kapal pengawal, kapal penjelajah, dan kapal perusak sedang berpatroli di dekat pantai Malaya, sebelah selatan Tanjung Kamboja.Â
Baca Juga
Seorang pilot Australia berhasil mengabarkan melalui radio bahwa kapal-kapal perang Jepang tersebut terlihat sedang menuju Thailand, tepat sebelum pilot itu ditembak jatuh oleh Jepang.
Advertisement
Di Inggris, Perdana Menteri Churchill mengadakan pertemuan dengan para kepala stafnya untuk membahas krisis tersebut. Meskipun laporan-laporan yang masuk menyimpulkan Thailand sebagai tujuan Jepang, mereka mulai mempertanyakan apakah itu hanya pengalihan isu.Â
Intelijen Inggris telah mencegat kode Jepang "Raffles," sebuah peringatan kepada armada Jepang untuk waspada, tetapi saat itu mereka belum tahu untuk apa.
Inggris telah mempersiapkan Operasi Matador, yaitu peluncuran Divisi India ke-11 ke Thailand untuk menghadapi kekuatan invasi Jepang. Namun pada menit-menit terakhir, Marsekal Madya Brooke-Popham menerima kabar untuk tidak menyeberangi perbatasan Thailand karena khawatir hal tersebut akan memancing serangan Jepang jika gerakan kapal perang tersebut hanyalah sebuah gertakan.
Thailand, pada kenyataannya, memang cuma sebuah pengalihan.Â
Pearl Harbor di Oahu, Hawaii telah dikonfirmasi oleh Yamamoto sebagai target Jepang, setelah konsul Jepang di Hawaii melaporkan ke Tokyo bahwa sebagian besar armada Pasifik AS akan berlabuh di pelabuhan tersebut. Keesokan paginya, Minggu, 7 Desember, merupakan hari yang tepat untuk memulai serangan.
"Anak manusia baru saja mengirimkan pesan terakhirnya kepada anak Tuhan," canda FDR kepada Ibu Negara AS Eleanor setelah mengirimkan telegramnya kepada Hirohito, yang dalam tradisi Shinto Jepang dianggap sebagai dewa.
Ketika FDR menikmati koleksi perangko miliknya dan mengobrol dengan Harry Hopkins, penasihat pribadinya, sebuah berita datang kepadanya mengenai penolakan resmi Jepang terhadap 10 poin proposal perdamaian dari Amerika serta diakhirinya sanksi ekonomi dan embargo minyak yang dibebankan kepada kekuatan Poros.Â
"Ini berarti perang," kata sang presiden.Â
Hopkins merekomendasikan Amerika untuk melancarkan serangan pertama, tetapi FDR menolak.Â
"Tidak, kita tidak bisa melakukan itu," jawab Roosevelt. "Kita adalah negara demokrasi dan rakyat yang cinta damai."