Sukses

Peneliti: Overtourism dan Polusi Jadi Penyebab Banyak Lumba-Lumba di Pulau Jeju Mati

Tahun ini saja, sekitar 10 ekor lumba-lumba dilaporkan mati di pulau Jeju, Korea Selatan.

Liputan6.com, Seoul - Selama berabad-abad, lumba-lumba telah terlihat di perairan sekitar pulau terbesar di Korea Selatan yang suhunya lebih hangat daripada wilayah lain.

Namun, kekhawatiran kini berkembang bahwa pariwisata dan polusi yang berlebihan bisa membunuh hewan yang hidup di lepas pantai Pulau Jeju, dikutip dari Channel News Asia, Kamis (5/12/2024).

Sekitar 120 lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik -- ditetapkan sebagai spesies yang terancam punah oleh pemerintah lebih dari satu dekade lalu -- telah menjadikan tempat ini sebagai rumah mereka, terutama di kota Seogwipo di bagian selatan Provinsi Jeju.

Tahun ini saja, sekitar 10 anak lumba-lumba di antara populasi tersebut telah mati.

Jumlah ini meningkat dari satu kematian tahun lalu, dengan penelitian oleh tim peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar bayi lumba-lumba telah mati tepat setelah lahir.

Kehadiran Perahu Wisatawan Sebabkan Lumba-Lumba Stres

Para ahli mengatakan bahwa perahu wisata diyakini menyebabkan stres yang tak terbayangkan bagi lumba-lumba, didorong oleh meningkatnya minat terhadap wisata menonton lumba-lumba.

Kota Seogwipo adalah kota wisata utama di pulau itu.

"Lumba-lumba menggunakan ekolokasi untuk menavigasi dan menentukan arah mereka. Namun dengan begitu banyaknya perahu, mereka merasa terjebak. Hal ini dapat menyebabkan stres berkelanjutan bagi mereka," kata Oh Seung-mok Direktur Kelompok Dokumenter Docu Jeju yang juga merupakan bagian dari tim peneliti.

Seperti manusia, lumba-lumba akan mati lemas jika tidak muncul ke permukaan untuk menghirup udara dalam jangka waktu tertentu.

Ketika seekor anak lumba-lumba mati dan tenggelam di bawah air, sang induk mencoba menyelamatkannya dengan berulang kali mendorongnya ke permukaan, kata Oh.

"Ketika menjadi jelas bahwa bayi itu tidak bergerak, sang induk mulai menerima kematiannya," kata Oh.

"Bahkan ketika tubuh mulai membusuk, sang induk terus menggendongnya, menunjukkan penolakannya untuk melepaskan bayi itu. Perilaku ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan manusia saat berkabung."

2 dari 4 halaman

Jarak Aman Melihat Lumba-Lumba

Undang-undang saat ini yang mengharuskan kapal wisata untuk menjaga jarak setidaknya 50 meter dari lumba-lumba tidaklah cukup, kata pemimpin tim Kim Byung-yeob, seorang profesor ilmu kelautan di Universitas Nasional Jeju.

Ia menyarankan kapal untuk menjaga jarak sekitar 800 meter, sementara pengamat lain bahkan mengatakan tur harus dihentikan sama sekali.

Jo Yak-gol, salah satu pendiri kelompok advokasi hewan Jeju Hot Pink Dolphins yang mengemukakan bahwa para operator bersaing satu sama lain untuk berlayar sedekat mungkin dengan lumba-lumba.

"Setiap kali kapal wisata atau kapal nelayan mendekati lumba-lumba, mereka berhenti berburu dan kemudian harus menjauh atau pergi ke arah yang berlawanan dari kapal, jadi mereka (tidak) punya cukup waktu untuk memberi makan bayi-bayi lumba-lumba," tambahnya.

 

3 dari 4 halaman

Pencemaran Laut

Meskipun mereka dikatakan berperan dalam penderitaan lumba-lumba, operator tur menyatakan bahwa mereka mematuhi pedoman, dengan beberapa memberikan alasan lain atas kematian tersebut: Pencemaran laut.

Carl Kim yang mengelola tur kapal pesiar di sekitar pulau, mengatakan bahwa lingkungan laut saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu.

"Yang saya yakini lebih serius adalah pencemaran lingkungan, seperti jaring ikan atau kail yang terlantar, dan perubahan ekosistem," kata CEO Gimnyeong Yacht Tours.

"Menurut saya, itulah penyebab utama tingginya angka kematian. Mereka perlu bernapas, dan jika mereka terperangkap dalam jaring, mereka tidak dapat muncul ke permukaan untuk menghirup udara."

Kim juga mengatakan, industrinya dapat menimbulkan masalah jika mereka terus memburu lumba-lumba untuk tujuan wisata, tetapi bukan itu yang terjadi dalam kasusnya.

"Mereka datang kepada kami kapan pun mereka mau, dan pergi kapan pun mereka mau, jadi kami tidak terus-menerus mengganggu mereka," tambahnya.

 

4 dari 4 halaman

Suara Sang Sutradara

Pembuat film dokumenter Oh menyuarakan sentimen ini, dengan mengatakan bahwa sebagian sampah laut di pulau itu -- seperti botol plastik -- berasal dari negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam.

Menurut Docu Jeju dan pusat penelitian konservasi paus dan kehidupan laut Universitas Nasional Jeju, seekor lumba-lumba terlihat bulan lalu terjerat jaring, tali, dan sampah laut lainnya.

"Masalah pencemaran laut adalah sesuatu yang menjadi tanggung jawab seluruh dunia," kata Oh.

"Begitu sesuatu dibuang, mungkin tampak seperti area di sekitarnya menjadi bersih kembali, tetapi arus laut dapat membawa sampah ini ke bagian lain lingkungan laut, yang mengancam kehidupan laut. Jadi, kita perlu menyadari hal ini."

Meskipun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan apakah kapal wisata, polusi, atau keduanya menjadi penyebab kematian lumba-lumba, para ahli mengatakan sesuatu harus segera dilakukan sebelum terlambat bagi mamalia laut tersebut.