, Jakarta - Daftar 100 kota paling tercemar di dunia rutin dihuni megapolitan di Asia. Contoh teranyar terjadi pada November 2024, ketika kabut asap menaungi kota-kota besar India dan beberapa bagian Pakistan.
Penduduk setempat disarankan untuk tetap berada di dalam ruangan. Sekolah serta pekerjaan konstruksi di luar ruangan dihentikan. Penyebab polusi adalah pembakaran batu bara atau kayu untuk menyalakan tungku pemanas di musim dingin.
Baca Juga
Polusi udara bukanlah hal baru di kota-kota terpadat dan terpadat di dunia. Paparan partikel berbahaya biasanya bergantung pada durasi dan lokasi beraktivitas di luar ruangan. Sebabnya, warga miskin tergolong paling rentan terkena dampak kesehatan dari polusi udara.
Advertisement
Kabut asap adalah gabungan dari memberi indikasi tentang bagaimana gumpalan partikel dan gas kotor bisa mendominasi udara kota, dikutip dari laman DW Indonesia, Kamis (5/12/2024).
Kabut asap terbentuk ketika polutan di permukaan tanah, seperti ozon, partikel, sulfat, nitrat, dan bahan kimia beracun lainnya bergabung dengan kabut di bawah sinar matahari. Kabut asap dan polusi berbahaya karena sangat mudah terhirup manusia.
Proses pembakaran, baik di pabrik, mesin mobil, atau tungku api kayu, melepaskan gas beracun ke udara.
Kabut asap dan gas mengandung partikel mikroskopis yang dihasilkan dari reaksi kimia dalam zat yang kita bakar.
Partikel diberi label berdasarkan ukuran. Misalnya:
• PM10 untuk partikel berukuran 2,5-10 mikrometer
• PM2,5 untuk partikel 2,5 mikrometer atau kurang
• PM0,1 untuk partikel sangat halus kurang dari 100 nanometer
Partikel-partikel ini berukuran sangat kecil. Sebagai perbandingan, sel darah merah manusia akan masuk dalam kisaran PM10 karena berdiameter antara 6-8 mikrometer.
Bakteri, seperti E.coli penyebab penyakit, memiliki lebar sekitar 3 mikrometer, jadi PM2.5 bahkan lebih kecil dari itu.
Sedangkan untuk PM0.1 yang sangat halus, partikel-partikel ini bahkan lebih kecil dari virus yang menyebabkan influenza dan HIV.
Karena ukuran yang mikroskopis, paparan partikel yang terbentuk dari gas beracun, logam berat, dan senyawa organik ini dapat dengan mudah diserap ke dalam darah, yang dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Â
Dampak Kabut Asap dan Polusi Udara Bagi Kesehatan
Menghirup partikel dan gas polutan telah lama dikaitkan dengan kesehatan yang buruk dan berbagai penyakit serta gangguan.
Paparan jangka pendek dapat memperburuk kondisi akut, seperti asma dan masalah serta infeksi pernapasan lainnya, serta dapat mengganggu fungsi paru-paru. Dalam jangka panjang, kondisi kronis dapat terjadi, termasuk kanker, stroke, penyakit jantung, dan penyakit paru obstruktif.
Risikonya dihadapi penduduk dari segala usia, tetapi anak-anak dan individu yang berusia di atas 65 tahun tergolong sangat rentan.
Pada bulan Mei 2024, sebuah studi tentang zona emisi rendah di Jerman menemukan bahwa anak-anak yang terpapar udara bersih sejak pembuahan hingga tahun pertama cenderung tidak memerlukan pengobatan sebelum usia lima tahun.
"Terpapar polusi udara pada periode kehidupan yang sangat dini ini dapat memiliki efek jangka panjang saat anak-anak tumbuh dewasa," kata Hannah Klauber, peneliti utama studi tersebut.
Studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar polusi pada awal kehidupan berprestasi lebih rendah di sekolah, memperoleh nilai ujian yang lebih rendah, dan, secara rata-rata, memperoleh pendapatan yang lebih rendah saat dewasa.
"Kami telah melihat dalam beberapa studi bahwa tidak ada tingkat polutan udara yang aman," kata Klauber kepada DW. "Pada dasarnya tidak ada tingkat partikel yang aman, jadi setiap peningkatan partikel menyebabkan efek kesehatan yang merugikan." Meskipun studi Klauber hanya berfokus pada Jerman, Klauber mengatakan ia berharap menemukan hasil serupa di tempat lain di dunia juga.
Â
Advertisement
Bagaimana Kualitas Udara Diukur?
Penilaian kualitas udara digunakan untuk memantau standar polusi udara di sebuah area.
Skala penilaian biasanya dikembangkan oleh otoritas nasional. Artinya, standar kualitas udara dapat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Namun, banyak regulasi yang didasarkan pada rekomendasi global dari Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.
Beberapa negara dan kota memberi kode warna pada penilaian kualitasnya. Misalnya, di AS dan India:
• Hijau untuk kualitas udara yang baik
• Kuning untuk kualitas udara sedang
• Oranye untuk kualitas udara buruk
• Merah untuk sangat buruk
Bagaimana Melindungi Diri dari Kabut Asap?
Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk melindungi diri secara efektif dari kabut asap, terutama bagi penduduk di wilayah sebaran polusi.
Namun, di beberapa kota dengan polusi tinggi, seperti New Delhi dan Lahore, pihak berwenang memberlakukan pembatasan pada aktivitas luar ruangan. Pembatasan mencakup penutupan sekolah, larangan mengemudi mobil dan kendaraan bermotor, serta penangguhan pekerjaan di luar ruangan.
Kota-kota yang rentan terhadap kabut asap dan polusi udara yang tinggi mungkin juga menyarankan penduduk untuk menggunakan filter udara jika memungkinkan, dan mengurangi aktivitas fisik.
Â
Penutupan Sekolah Mengurangi Dampak Polusi Udara?
Tidak, tidak menurut Rajib Dasgupta, seorang profesor kesehatan masyarakat di Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi. Dasgupta mengatakan kepada DW bahwa pembatasan aktivitas luar ruangan atau penutupan sekolah hanyalah tindakan sementara.
"Masalahnya tidak dapat di tangani melalui intervensi pribadi atau tingkat rumah tangga. Solusinya adalah sesuatu yang harus melibatkan tindakan negara, dan tindakan multi-sektoral yang sangat besar," kata Dasgupta.
Tindakan sedang diambil di seluruh dunia untuk memberlakukan batasan yang lebih ketat pada polusi udara. Uni Eropa menyetujui standar baru pada bulan Juni 2024 dan di Asia upaya untuk mengurangi polusi udara juga sedang dilakukan di beberapa tempat yang paling parah terkena dampak, seperti Beijing, Cina.
Pemerintah Beijing memperkenalkan rencana layanan transportasi umum dengan listrik pada tahun 2013. Rencana tersebut telah menghasilkan beberapa pengurangan signifikan dalam kabut asap dan polusi, tetapi tingkat polusi tersebut masih di atas rekomendasi pemerintah dan kualitas udara global.
India juga telah memberlakukan kebijakan udara bersih yang baru, tetapi Dasgupta mengkritik kurangnya kemajuan: "Negara-negara tampaknya tidak mampu mengatur tindakan mereka, dan itu bukan karena kurangnya uang, tetapi kurangnya kemauan."
Advertisement