Liputan6.com, Wina - Sejak tahun 2018, Unoviana Setia atau yang akrab disapa Uno, tinggal di Wina, Austria, bersama suaminya yang berasal dari Jerman. Pasangan ini telah dikaruniai seorang putra yang kini berusia 1,5 tahun.
Perjalanan Uno dalam belajar menjadi orang tua, terutama di negeri orang, tak jarang terasa penuh tantangan.
Baca Juga
"Aku seorang new mom di negara yang sistemnya tentang anak, rumah sakit, dan persalinannya sama sekali asing bagi aku. Kalau di Indonesia, aku bisa mengandalkan dukungan keluarga, tapi di sini, tidak ada," ujar Uno dalam wawancaranya dengan Liputan6.com pada Selasa, 3 Desember 2024.
Advertisement
Jauh dari keluarga di Indonesia dan keluarga suaminya yang tinggal di Jerman, Uno banyak mengandalkan teman-temannya di Wina.
"Kalau aku mau tanya-tanya soal anak, aku tanya ke teman yang sudah punya anak, terus tanya ke teman suamiku yang orang lokal, orang Austria. Aku rata-rata bertanya ke orang Indonesia yang punya anak di sini karena kita berbagi pengalaman dan informasi. Kalau orang lokal lebih mengerti soal asuransi dan lain-lain, jadi, aku tanya ke teman suamiku," jelas Uno yang banyak bertemu diaspora Indonesia lain di Austria lewat acara-acara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wina.
Memiliki pasangan warga negara asing berarti menambah panjang "pekerjaan rumah" bagi Uno dan suami untuk memperkenalkan budaya masing-masing pada anak mereka.
"Di rumah ... Aku ajarkan anakku bahasa Indonesia, kenalkan makanan-makanan Indonesia, semua yang biasa aku lakukan di Indonesia," tutur Uno.
Perbedaan budaya antara dirinya dan suami, diakui Uno, pada akhirnya memunculkan kompromi.
"Di Indonesia, kita diajarkan makan pakai tangan kanan. Aku bilang ke anak, 'Tangan kanan, dong!'. Suamiku bilang, 'Kalau dia mau pakai tangan kiri, nggak masalah'. Akhirnya, aku lebih fleksibel," kisah perempuan usia 34 tahun itu.
Gratis tapi Harus Rebutan
Meskipun membesarkan anak di luar negeri membawa tantangan tersendiri, Uno merasa terbantu dengan berbagai sistem yang ada di Austria, terutama dalam hal layanan kesehatan.
"Pemerintah di sini cukup peduli. Mereka menyediakan bidan untuk membantu hari-hari pertama setelah melahirkan," ujar Uno, mengenang pengalaman awalnya.
Namun, karena saat itu masih belum familiar dengan sistem pelayanan kesehatan di Austria, Uno tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal.
"Ternyata, bidannya sudah penuh semua. Karena layanan ini gratis dari pemerintah, sebenarnya kita harus cepat mencari bidan, tapi waktu itu aku santai saja ... Ternyata ada hal-hal kecil yang berbeda dari yang aku kira," cerita Uno.
Belakangan, setelah pindah tempat tinggal, Uno kembali merasa kewalahan ketika harus mencari dokter untuk anaknya yang sakit.
"Sistemnya dokter-dokter di sini itu, kebanyakan, kalau pasiennya sudah maksimum di daftarnya, mereka nggak mau terima pasien baru. Jadi, kita harus cepat," ungkap Uno.
Uno menambahkan bahwa layanan kesehatan dan pendidikan di Austria memang sangat bergantung pada antrian karena keduanya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Dengan layanan gratis ini, terkadang harus bersaing untuk mendapatkan tempat.
Advertisement
Acungi Jempol untuk Sistem Transportasi hingga Jaminan Sosial Austria
Salah satu alasan Uno merasa betah tinggal di Austria adalah sistem transportasi dan jaminan sosial yang menurutnya sudah sangat maju.
"Di sini, pendidikan, kesehatan, dan pensiun termasuk dalam jaminan sosial. Gaji dipotong sekitar 40 persen untuk itu, jadi kita nggak perlu khawatir," jelas Uno, seraya menambahkan bahwa bagi mereka yang berpenghasilan di batas minimum, potongan gajinya sekitar 25 persen.
"Dokter itu gratis semua, kecuali dokter spesialis … paling hanya sebagian yang ditanggung, kaya dokter gigi … Tapi, aku ke dokter obgyn saat hamil dan pasca hamil itu gratis semua, sudah dibayar dengan jaminan kesehatan itu."
Menurutnya, bagi yang sudah berkeluarga, banyak manfaat yang dirasakan dari jaminan sosial.
"Kalau kita punya anak, itu sangat menguntungkan karena pendidikan di sini gratis, padahal sekolah di banyak tempat mahal. Selain itu, kita juga mendapatkan santunan dari pemerintah kalau tidak bekerja selama masa menjaga anak," ujar Uno.
Uno juga mengungkapkan keuntungan lainnya, yaitu cuti melahirkan.
"Ibu yang bekerja bisa mengambil cuti dua hingga tiga tahun dan itu masih digaji. Kalau di Indonesia, kita sudah bersyukur kalau ada perusahaan yang memberi cuti enam bulan," beber mantan jurnalis ini.
Selain itu, Uno sangat menikmati sistem transportasi umum di Wina yang memudahkan mobilitasnya.
"Untuk transportasi umum di Wina, kita bisa beli tiket tahunan seharga 365 euro (sekitar Rp6,1 juta), berarti sehari cuma 1 euro (sekitar Rp16.700), tapi kita bisa kemana pun di Wina kapan pun dan itu termasuk murah … Murah dan gampang mau kemana-mana," beber Uno.
Dia menjelaskan bahwa biaya tiket tahunan sudah mencakup seluruh jenis transportasi umum di Wina, termasuk kereta, bus, dan trem.
"Kalau di Wina, punya mobil justru malah rugi. Cari parkir susah, parkir mahal, dan sering macet. Lebih baik bayar 1 euro per hari, bisa kemana-mana tanpa harus pusing dengan parkir yang mahal, yang bisa mencapai 3 euro per jam," kata Uno.
Sistem Perbankan Indonesia Lebih Sat Set
Meskipun Austria menawarkan banyak kenyamanan yang sulit ditemukan di Indonesia, ada juga beberapa hal yang ternyata lebih maju di Indonesia. Salah satunya adalah sistem perbankan.
"Sebenarnya, ada banyak hal di Indonesia yang lebih maju, seperti sistem perbankan. Di Indonesia, transfer uang bisa dilakukan secara real-time, sementara di sini harus tunggu hari kerja dan tunggu sehari atau dua hari baru masuk," jelas Uno.
Menurut suami Uno yang bekerja di bank, di Austria proses transfer uang memerlukan verifikasi manual oleh manusia, bukan sepenuhnya bergantung pada mesin, sehingga memakan waktu lebih lama.
Sistem itu disebut Uno memengaruhi belanja online. Karena proses transaksi dan verifikasi yang lebih lama, barang yang dipesan juga memerlukan waktu lebih lama untuk sampai.
"Kalau di Indonesia, barang bisa sampai dalam 2-3 hari, bahkan kadang sehari sudah sampai. Di sini, kalau belanja online, paling cepat butuh 4-5 hari, kalau nggak seminggu atau lebih makanya aku lebih suka belanja langsung," kata Uno.
Hal lain yang membuatnya merasa Indonesia sudah cukup maju adalah soal budaya pembayaran. Di Austria, budaya cashless belum berkembang pesat seperti di tanah air.
"Yang aneh di sini, banyak banget toko yang cuma terima uang tunai, belum mau terima pembayaran dari kartu … Restoran juga banyak banget yang cuma terima cash," cerita Uno.
"Kalau dibandingkan dengan Asia, tentu masih jauh lebih maju di sana. Di sini, tidak ada QRIS atau sistem pembayaran barcode, paling maju hanya kartu. Biasanya di pintu toko sudah ada tanda 'cash only', jadi kita memang harus siap dengan itu."
Uno, yang sekarang fokus menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan anak, berencana kembali berkarier setelah buah hatinya masuk sekolah.
"Aku kan sekarang hobi menjahit. Nah, aku mau kerja di konveksi atau desain, yang lebih ke arah kreatif," imbuhnya.
Â