Sukses

Kolaborasi AS dan Indonesia Dorong Kemajuan Konservasi Orang Utan

Keberhasilan konservasi orang utan di Indonesia membutuhkan kolaborasi aktif antara bisnis swasta, pemerintah daerah, dan masyarakat – terutama yang berlokasi di dekat kawasan hutan.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan Kementerian Kehutanan Indonesia pada Selasa (10/12/2024) menyelenggarakan "Simposium Orang Utan: Mendorong Upaya Konservasi Orang Utan di Indonesia" di Jakarta untuk memperkuat upaya kolaboratif dalam melindungi spesies orang utan dan habitatnya. Acara ini menghadirkan para pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta, akademisi, dan organisasi yang bergerak di bidang konservasi keanekaragaman hayati untuk memajukan strategi konservasi orang utan.

"Amerika Serikat (AS) berkomitmen untuk melindungi spesies orang utan ikonik Indonesia melalui kemitraan yang kuat," kata Direktur Misi USAID Indonesia Jeff Cohen dalam pernyataan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis (12/12).

"Kami mendorong mitra sektor swasta, masyarakat sipil, dan organisasi nonpemerintah untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam menjaga populasi orang utan dan habitatnya."

Simposium ini merupakan langkah penting dalam komitmen USAID untuk mendukung Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030 pemerintah Indonesia, yang mencakup konservasi orang utan. Sejak 2001, AS telah menginvestasikan lebih dari 50 juta dolar AS melalui USAID untuk melindungi orang utan Indonesia dan habitatnya, sebagai bagian dari komitmen yang lebih luas terhadap pengelolaan sumber daya alam. Kemitraan AS dengan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk melestarikan dan melindungi hutan tropis Indonesia telah melindungi 6,5 juta hektar habitat orang utan.

Indonesia adalah rumah bagi populasi primata paling beragam di dunia, dengan 70 persen spesies primata yang terancam punah. Tiga di antaranya adalah spesies orang utan asli Indonesia, yaitu Pongo abelii (orang utan Sumatera), Pongo tapanuliensis (orang utan Tapanuli), dan Pongo pygmaeus (orang utan Kalimantan) dengan perkiraan jumlah populasi 70.000 satwa.

Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, yang memiliki berbagai habitat, ekosistem, dan spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Keanekaragaman hayati yang kaya ini menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari praktik tidak berkelanjutan dan perdagangan satwa liar ilegal.

"Pendekatan kolaboratif sangat penting dalam melindungi keanekaragaman hayati Indonesia, yang juga akan berkontribusi pada pengurangan perdagangan satwa liar," kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Kementerian Kehutanan Satyawan Pudyatmoko.

"Kami berharap melalui simposium ini, kita dapat mengidentifikasi insentif inovatif untuk mendorong dan mengimplementasikan strategi konkret untuk melindungi orang utan dan spesies dilindungi lainnya."

Profesor Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, dan pakar satwa liar serta ahli biologi konservasi terkemuka, Jatna Supriatna, menekankan pentingnya kolaborasi akar rumput untuk melindungi habitat orang utan melalui pengembangan ekowisata sebagai contoh insentif inovatif.

"Pengembangan pariwisata berkelanjutan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan tidak hanya akan berkontribusi pada perlindungan habitat orang utan, namun juga memberikan nilai tambah sosial dan ekonomi bagi masyarakat," tutur Prof. Jatna.

Melalui USAID, AS terus bermitra dengan Indonesia dalam konservasi orang utan. USAID saat ini mendukung berbagai inisiatif konservasi, termasuk pengelolaan koridor orang utan, survei populasi dan habitat, pelestarian dan pemulihan habitat, serta mobilisasi investasi sektor swasta.