Liputan6.com, Damaskus - Omar mulai merasa ada yang tidak beres sekitar pukul 5 pagi, ketika teriakan "Allahu Akbar" terdengar dari arah kediaman keluarga Bashar al-Assad. Saat itu, dia sedang di rumah, mengikuti berita runtuhnya pemerintahan Bashar secara daring.
Dia tidak mengira pemberontak akan segera mencapai pusat Damaskus.
Baca Juga
"Saya langsung berlari ke kediaman Bashar. Saya harus memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa dia sudah pergi," kata Omar kepada Middle East Eye seperti dikutip Jumat (13/12/2024). "Kaki saya yang membawa saya ke sini, bukan akal saya."
Advertisement
Omar, yang seperti banyak orang Suriah masih merasa takut berbicara bebas dan ingin menggunakan nama samaran, mengatakan hal pertama yang dia rasakan adalah bau.
"Bau khas presiden," ujarnya.
Kadang-kadang, bau itu masih tercium di sudut-sudut vila bertingkat di kawasan Malki, Damaskus. Bau kayu cedar yang lembap.
Di bekas kediaman orang nomor satu di Suriah itu kini semuanya berantakan.
Perabotan kayu yang belum dijarah tergeletak hancur. Majalah-majalah Prancis dan Italia berserakan di lantai, bersama dengan DVD film horor dan banyak sekali foto keluarga. Foto-foto yang tercabut dari album menunjukkan Bashar kecil, saudara laki-lakinya Basel, yang seharusnya mewarisi "takhta", namun meninggal dalam kecelakaan mobil pada usia 31, serta ayah mereka, Hafez al-Assad, yang tampak tegas mengenakan jas, dikelilingi anak-anaknya.
Hafez, pendiri dinasti yang baru saja tumbang setelah 54 tahun berkuasa, pernah tinggal di sana. Tempat itu sendiri memiliki nuansa khas tahun 1970-an.
Perpustakaan penuh dengan buku-buku yang memuji perbuatan keluarga Assad: pembangunan infrastruktur, pernyataan menentang Israel, dan hadiah-hadiah yang diberikan kepada rakyat Suriah.
Di tempat lain terdapat berkas bertuliskan "top secret" yang berisi detail tentang para pekerja Hafez. Di atas meja, para pemberontak meletakkan halaman depan surat kabar yang memuat berita tentang naiknya Bashar ke kekuasaan pada tahun 2000.
Omar membagikan ingatannya ketika dia masuk ke ruang aula di kediaman Bashar dan melihat lukisan besar sang presiden di dinding depannya.
"Bajingan, anak sialan. Saya turunkan itu," kenangnya.
Dia adalah salah satu dari sedikit warga sipil yang masuk. Yang lainnya adalah anggota pemberontak yang menembakkan senjata dan berteriak "Suriah bebas".
Meskipun mengaku situasinya menakutkan, Omar terus melangkah masuk, menyaksikan orang-orang yang menurunkan tumpukan pakaian dari kamar tidur.
Omar mengambil beberapa jaket untuk dirinya.
"Seharusnya saya bakar saja, tapi sayang, jaketnya sangat bagus," ungkap Omar.
Â
Karya Desainer dan Buku-buku Rusia
Hari itu, kamar tidur keluarga Bashar berubah menjadi kuburan bagi tumpukan pakaian desainer. Chanel di satu sisi, Givenchy di sisi lain, dan sebuah paket besar dari Aishti, toko mewah asal Lebanon.
"Kami juga menemukan hadiah dari presiden lain, termasuk sepotong kiswa," kata Omar, mengacu pada kain penutup Kakbah.
Tangga yang turun ke basement mengungkap jaringan terowongan. Salah satunya bertuliskan arah barat, yang lain menuju timur.
Sementara itu, terowongan ketiga mengarah ke bangunan yang lebih modern, dengan patung besi tempa yang digantung di langit-langit dan jendela besar yang memancarkan cahaya dari taman. Tempat itu diyakini adalah kediaman anak-anak Bashar.
Buku latihan berisi teka-teki matematika tersebar di sekitar ruangan. Sebuah sertifikat dari World Robot Olympiad menunjukkan bahwa Karim al-Assad, putra Bashar yang kini berusia 19 tahun, pernah mengikuti program pelatihan robotika. Di sebuah foto kelas, Hafez junior yang berusia 23 tahun —yang seharusnya mewarisi takhta—terlihat memandang dengan tatapan serius.
"Mereka punya sepotong surga, sementara yang lain kelaparan," ujar Omar dengan nada pahit.
Di sebelah bangunan itu, ada bangunan yang dulunya dihuni oleh diplomat Rusia. Mereka sudah lama pergi, namun dua ekor kucing abu-abu gemuk tetap setia menyambut siapa pun yang datang, mengendus kotak-kotak amunisi yang tersisa. Abu Jassim, seorang anggota pemberontak yang menjadikan lorong itu sebagai kamarnya, bercerita bahwa pihaknya memberi makan kucing-kucing itu, meskipun mereka belum memberi nama.
Para pemberontak Suriah berjanji pada Rusia untuk melindungi kedutaan dan pangkalan militernya. Banyak berkas masih tersimpan di lemari mereka, namun rak-rak bertuliskan "literatur Rusia" dan "klasik asing" kini kosong.
Di lantai atas terdapat apartemen pribadi, tempat para diplomat Rusia mungkin menikmati Bailey’s Irish Cream dari gelas yang bertuliskan "Ukraina". Sebuah kolam renang terletak di atap.
Advertisement
Kemewahan yang Jadi Atraksi Wisata
Bashar memiliki begitu banyak vila dan istana di Damaskus hingga dia bisa tinggal di tempat berbeda setiap hari dalam seminggu.
Istana Tishreen, sebuah kompleks besar di kaki Gunung Qasioun, terasa sangat sepi. Tidak ada banyak kegiatan di sini sebelum pasukan pemberontak menyerang dari Provinsi Idlib pada 27 November. Serangan itu membuat pasukan dan pemerintah Suriah runtuh dalam waktu sepekan lebih sedikit.
Sebagian besar furnitur dan lampu dibungkus plastik. Selama 14 tahun terakhir, sangat sedikit pejabat asing yang mengunjungi Damaskus, jadi tidak banyak kebutuhan untuk memamerkan lampu gantung atau barang antik yang menghiasi aula istana.
Bashar disebut lebih memilih istana kepresidenan yang lebih baru, yang terletak di Gunung Mezzeh. Istana ini memiliki pemandangan langsung ke Damaskus.
Istana Al-Muhajireen kini menjadi atraksi wisata.
Abu Jihad, seorang pemberontak berusia 20 tahun dari Hama, merebut istana itu pada Sabtu (7/12) malam, beberapa jam setelah merebut Homs, kota ketiga terbesar di Suriah yang terletak 150 km di utara.
"Semua penjaga sudah lari, senjata dan seragam mereka tergeletak di lantai," kata dia.
Kini, Abu Jihad yang menjaga pintu masuk istana, membawa keluarga-keluarga yang berkunjung melihat rumah Muhammad al-Abid, yang pernah menjabat sebagai presiden selama empat tahun (1932-1936) pada masa Mandat Prancis.
Saat naik ke lantai atas vila yang dinamai sesuai para imigran dari Kreta yang menetap di daerah itu pada akhir Abad ke-19, Abu Jihad menggambarkan bagaimana dia masuk pada Sabtu malam dan mendapati istana itu hampir kosong. Warga setempat sudah datang lebih dulu.
Feras, seorang dokter gigi berusia 45 tahun, memotret istrinya yang berpose duduk di kursi mewah.
"Saya tidak pernah menyangka akan menemukan kemewahan sebesar ini di istana-istana Assad," tutur Feras. "Tapi saya tidak marah. Justru ini menunjukkan betapa dia seorang pencuri, sementara kami hidup dalam kemiskinan."