Sukses

27 Tahun Menetap di Teheran, Diaspora Indonesia: Iran Tak Seperti yang Dibayangkan Banyak Orang

Puluhan tahun menetap di ibu kota Iran, Yanti punya banyak hal untuk diceritakan. Berikut kisahnya.

Liputan6.com, Teheran - Setelah menikah dengan pria asal Iran, Sriwijayanti atau yang biasa dipanggil Yanti, meninggalkan Indonesia untuk tinggal bersama suaminya di Teheran pada tahun 1997. Yanti yang kini sudah menjadi ibu dua anak dan masih tinggal di Iran menuturkan bahwa dirinya banyak menemukan kesalahpahaman di kalangan Warga Negara Indonesia (WNI) terkait negara itu.

"Hampir semua orang yang saya temui, terutama dulu sebelum maraknya media sosial, hampir 100 persen dari mereka berpikir bahwa Iran itu medan perang. Bahkan, delegasi dari pemerintah pun beranggapan demikian," kisah perempuan berusia 60 tahun itu kepada Liputan6.com pada Jumat, (13/12/2024).

"Mereka pada bilang, 'Loh, bu, perangnya di mana?' Setelah saya jelaskan ke mereka, hampir semuanya kaget karena mereka pikir Iran itu negara yang berantakan. Mereka akhirnya takjub kalau Iran itu modern, dengan gedung-gedung tinggi, dan jalan-jalan besar."

Yanti yang kerap bepergian ke berbagai kota di Iran menyaksikan sendiri betapa indahnya Negeri Para Mullah, yang memiliki sejarah peradaban tinggi.

"Saya suka bercanda dengan suami saya bahwa saya lebih banyak mengunjungi kota-kota lain di Iran dibanding dia. Saya pernah ke Isfahan, Masyhad, Syiraz, Yazd, Rasht, Tabriz, dan lain-lain," tutur Yanti.

"Saya paling suka pergi ke Tabriz karena tata kotanya sangat bagus sekali di sana, menurut saya. Di dekat sana, ada Desa Kandovan yang memiliki rumah-rumah dari tanah liat yang merupakan bagian peradaban yang tinggi pada saat itu. Kalau Isfahan, sangat terkenal dan merupakan kota pariwisatanya karena memang dulu pernah jadi ibu kota kerajaan. Kotanya cantik dan punya banyak peninggalan, seperti Gereja Zulfa yang selalu dikunjungi. Iran itu kaya akan budaya yang beragam."

Nekat Jadi Penerjemah

Yanti sendiri bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran.

"Setelah punya dua anak di sini karena saya tidak suka diam, saya melamar ke KBRI Teheran yang kebetulan membutuhkan penerjemah. Jadi, saya mulai kerja di KBRI sebagai penerjemah di rumah sakit lapangan yang merupakan bantuan pemerintah Indonesia pada saat terjadinya Gempa Bumi Bam di Iran tahun 2003," ujar Yanti, yang tidak merasakan dampak gempa magnitudo 6,6 tersebut.

"Sejak saat itulah saya mulai bekerja di KBRI sebagai penerjemah, meski sebelumnya saya sudah sering dilibatkan di acara-acara KBRI, seperti pameran dan sebagainya.

Sebelumnya, Yanti pernah berkarier sebagai engineer di maskapai penerbangan Garuda Indonesia.

"Saya menjadi penerjemah nekat saja modalnya karena saya tidak ada pendidikan khusus yang saya ikuti. Saya belajar bahasanya dari mendengarkan berita dan menonton film-film Iran yang bagus sekali," ungkap Yanti.

Faktanya, tugas Yanti tidak hanya berhenti sebagai penerjemah saja.

"Di KBRI, kita itu local staff dan tidak memiliki jenjang karier karena kita bukan diplomat. Di sini ada berbagai fungsi, seperti fungsi politik, fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya, dan kita adalah fungsi yang mendukung para diplomat sebagai sekretaris, penerjemah, dan sebagainya," terang Yanti.

"Uniknya, karena saya bisa bahasa Indonesia dan Persia, serta sudah lama tinggal di sini, walau bukan tugas saya, saya menolong orang-orang yang perlu bantuan dan mereka cenderung nyaman bersama saya. Selain tugas saya membantu diplomat dan keluarganya, saya juga membantu teman-teman diaspora dan WNI lain yang berkunjung ke Iran."

Walau tinggal di negara orang selama hampir tiga dekade, jiwa nasionalisme Yanti masih kuat sehingga bertemu bersama WNI lain merupakan bagian yang menyenangkan dari pekerjaan baginya.

Pekerjaan yang membuatnya berinteraksi dengan banyak orang Indonesia diakui Yanti menjadi penawar rindu sekaligus wujud pengabdian pada tanah airnya.

"Yang paling saya sukai di sini itu saya bisa berinteraksi dengan orang Indonesia, jadi terasa kayak di tanah air sendiri. Saya sangat senang interaksi dengan mereka, terutama para ibu-ibu lain dan diplomat wanita," kata Yanti.

"Lalu, kita juga diberi tugas pendampingan delegasi. Kebetulan, saya pernah menjadi staf berbagai fungsi, seperti fungsi konsuler, fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya, dan lain-lain. Jadi, saya sering mendampingi delegasi-delegasi kita, seperti delegasi Women’s Islamic Games tahun 2006 yang berjumlah hampir 80-an orang. Selain itu, saya mendampingi delegasi kenegaraan. Saat kunjungan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, saya menjadi penerjemah untuk almarhumah Ibu Ani."

Yanti bangga dan menikmati tugasnya dalam mendampingi delegasi dari Indonesia, terlebih dalam ajang-ajang perlombaan.

"Saya senang sekali, terutama saat kita mengikuti lomba-lomba. Kan kalau tim kita menang, lagu Indonesia Raya selalu dikumandangkan, sepertinya saya yang bernyanyi paling kencang. Saya tidak mau dilepas dari Indonesia," ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Terkesan dengan Perayaan Nowruz

Pengalaman unik Yanti selama di Iran adalah setiap kali Nowruz, yakni perayaan Tahun Baru Iran yang jatuh pada awal musim semi.

"Nowruz ini adalah peninggalan peradaban lamanya Iran yang masih dilestarikan hingga saat ini dan masuk ke dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO. Nowruz ini sebenarnya bukan perayaan yang hanya milik Iran, tapi juga dirayakan di negara-negara yang dulu di bawah Persia kuno," jelas Yanti.

Perayaan Nowruz sendiri berlangsung lama, mulai dari seminggu hingga sebulan dan memiliki sejumlah tahap.

"Sebelum tahun baru, mereka akan bersih-bersih rumah dan membuang barang-barang yang usang. Lalu, pada malam hari Rabu terakhir sebelum tahun baru Iran, akan ada perayaan Chaharshanbe Suri, di mana mereka merayakannya dengan membakar barang-barang usang tersebut dan menari-nari di atas api unggun," beber Yanti.

Perayaan Chaharshanbe Suri berakar dari agama Zoroaster, yang juga merupakan salah satu agama resmi di Iran.

"Setelah itu, ada sesajen yang bernama haft-sin yang menyajikan tujuh benda yang memiliki huruf sin di depannya, seperti sib yang berarti apel. Apel adalah lambang kecantikan. Semua benda melambangkan makna, seperti kesejahteraan, kesuburan, kecantikan, dan sebagainya," ujar Yanti.

"Setelah masuknya Islam di Iran, bagi pemeluk Islam ... ditambahkan Alquran yang menunjukkan bahwa hidup mereka itu mengikuti akidah-akidah agama Islam."

Yanti mengakui bahwa sebagian dari perayaan Nowruz mirip dengan perayaan Idulfitri di Indonesia, yaitu memberikan uang kepada anak-anak alias "THR" dan saling bersilaturahmi.

Tahun baru Iran berikutnya, ungkap Yanti, akan jatuh pada 20 Maret 2025 pukul 16.00 waktu setempat.

Perayaan Nowruz tidak berakhir di hari pertama musim semi saja. Pada tanggal ke-13 di bulan pertama kalender Iran, ada hari alam atau Sizdah Bedar.

"Pada hari ke-13, semua orang akan keluar dan buang sial. Suatu hal khas yang dilakukan adalah membuang rerumputan ke sungai yang melambangkan membuang hal-hal buruk. Di hari alam itu, taman-taman akan sangat penuh dan orang-orang, terutama anak-anak muda akan merajut rumput dan menyampaikan cita-citanya," cerita Yanti.

3 dari 3 halaman

Kenangan Lucu Tak Terlupakan

Menurut Yanti, budaya Iran dan Indonesia tidak jauh berbeda, "Iran dan Indonesia sama-sama berbudaya Timur, terlihat dari ramah-tamahnya dan bagaimana mereka sama-sama menjaga kesucian."

"Terus terang, saya kaget dengan keramahannya Iran. Orang Indonesia dikenal sangat ramah. Setelah saya datang ke Iran, mungkin keramahannya sama, tapi karena Islam di sini kental pada waktu itu, jadi mereka menjaga diri saat bersalaman. Tapi, bukan berarti mereka tidak ramah, mereka sangat ramah. Yang saya terkesan itu, basa-basinya Iran yang nomor satu."

Bila orang Iran ditawari sesuatu, ujar Yanti berdasarkan pengalamannya, mereka akan menolaknya berkali-kali terlebih dahulu. Demikian pula dalam hal menawarkan barang, mereka juga akan menanyakannya berulang-ulang.

Yanti bercerita bahwa suaminya yang asli Iran pernah kaget saat bertamu ke rumah temannya yang orang Indonesia lalu ditawari es krim.

"Di sini, mereka harus ditawari sampai tiga kali, baru mereka mau mengambil. Kan orang kita tidak begitu, jadi setelah ditolak dua kali, es krimnya ditaruh di kulkas lagi agar tidak cair. Jadi, suami saya yang biasa menunggu sampai tawaran ketiga, kaget," ujarnya.

Yang tidak kalah menarik, budaya mengulang-ulang pertanyaan itu turut berlaku dalam upacara pernikahan.

"Waktu akad nikah, budaya menanyakan tiga kali itu ada … Ketika penghulu bertanya kepada pengantin wanita apakah dia bersedia menikahi pengantin pria, dia tidak langsung menjawab, harus menunggu pertanyaan ketiga baru dia jawab. Karena saat itu saya belum bisa bahasa Persia, saya dan suami janjian agar dia beri kode kepada saya di pertanyaan ketiga. Lucunya, di pertanyaan ketiga, saking groginya, suami saya sampai tidak kasih kode ke saya, jadi saya tidak menjawab-jawab. Jadinya, yang jawab malah seluruh keluarga suami saya," tutur Yanti tak kuasa menahan tawa saat mengenang pengalaman lucunya.

"Saat ditanya, 'Pengantin perempuan, bersediakah engkau aku nikahkan dengan pengantin pria?' Saya tidak jawab sampai saya mendengar semua teriak 'baleh' yang berarti iya dalam bahasa Persia. Saya kaget, suami saya juga kaget. Saking kagetnya saya ikut bilang 'baleh' berkali-kali."

Video Terkini