Liputan6.com, Paris - Ribuan orang diperkirakan tewas setelah Topan Chido dahsyat yang terjadi sekali dalam 100 tahun menerjang wilayah Prancis, Mayotte, pada hari Sabtu (14/12/2024). Salah seorang warga menggambarkan kehancuran yang disaksikannya seperti dampak dari bom atom.
"Situasinya sangat buruk, bak kiamat," ujar Bruno Garcia, pemilik Hotel Caribou di Mamoudzou, ibu kota Mayotte, kepada BFMTV seperti dikutip dari CNN, Selasa (17/12).
"Kami kehilangan segalanya. Seluruh hotel hancur total. Tidak ada yang tersisa. Rasanya seperti bom atom menghancurkan Mayotte."
Advertisement
Presiden Prancis Emmanuel Macron berjanji akan segera mengunjungi Mayotte untuk memberikan dukungan kepada warga, petugas darurat, dan pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penyelamatan.
Petugas penyelamat, termasuk yang datang dari Prancis, masih terus mencari korban selamat di antara puing-puing. Setidaknya 20 orang dilaporkan tewas sejauh ini.
Kesulitan dalam menentukan jumlah korban tewas juga turut dipicu oleh banyaknya migran tanpa dokumen, yang jumlahnya lebih dari 100.000 di tengah populasi Mayotte, yang mencapai 320.000 jiwa.
Macron mengumumkan hari berkabung nasional untuk menghormati korban Topan Chido.
Kerusakan infrastruktur yang parah, termasuk jaringan listrik yang putus dan jalan yang terhalang, menghambat operasi penyelamatan. Sekitar 85 persen wilayah masih tanpa listrik, dan hanya 20 persen ponsel yang berfungsi. Bantuan mulai berdatangan, namun pasokan makanan, air, dan tempat berlindung sangat terbatas di beberapa daerah.
"Sejujurnya, apa yang kami alami adalah tragedi, rasanya seperti berada di sisa perang nuklir ... Saya melihat satu lingkungan hilang begitu saja," kata Mohamed Ishmael, seorang warga Mamoudzou, kepada Reuters.
Dampak Topan Chido di Mozambik
Amalia Mazon, seorang bidan asal Brussels yang bekerja di rumah sakit pusat pulau itu, mengatakan air yang tersedia sangat keruh dan tidak bisa digunakan.
"Kami merasa ditinggalkan dan tidak tahu apakah bantuan benar-benar akan datang," ungkap Amalia.
Mayotte telah menjadi bagian dari Prancis sejak tahun 1841. Meski Kepulauan Comoros merdeka pada 1975, Mayotte memilih untuk tetap menjadi wilayah Prancis. Kondisi ekonomi Mayotte sangat bergantung pada bantuan Prancis, dengan sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan dan pengangguran.
Senator Mayotte, Salama Ramia, mengungkapkan kekhawatirannya atas kelaparan yang melanda. Banyak orang belum makan atau minum sejak Sabtu.
Bantuan terus berdatangan, dengan 110 tentara Prancis sudah tiba dan 160 lainnya dalam perjalanan. Sebanyak 800 sukarelawan dan petugas darurat juga digerakkan.
Menteri Dalam Negeri Prancis Bruno Retailleau menyatakan bahwa proses penilaian jumlah korban memerlukan waktu beberapa hari.
Operasi bantuan dikoordinasikan dari Reunion, wilayah Prancis lainnya.
Menurut Palang Merah Prancis, situasi di Mayotte sangat kacau. Mereka hanya berhasil menghubungi sebagian kecil dari 200 relawan yang ada di sana.
"Kawasan kumuh telah hancur total, kenyataannya bisa sangat buruk dalam beberapa hari ke depan," ujar juru bicara Palang Merah.
Topan Chido juga melanda Mozambik, menyebabkan banjir, pohon tumbang, dan kerusakan bangunan sekitar 40 km selatan Kota Pemba. Tiga orang dilaporkan tewas.
Topan ini juga merusak rumah-rumah dan fasilitas umum di Provinsi Nampula dan Cabo Delgado. UNICEF di Mozambik mengkhawatirkan hilangnya akses terhadap layanan kesehatan, air bersih, dan sanitasi, serta risiko penyebaran penyakit seperti kolera dan malaria.
Advertisement