Sukses

Bagaimana Sains Menjelaskan Fobia?

Karakteristik umum dari fobia meliputi usaha keras untuk menghindari objek atau situasi yang ditakuti, dan perasaan cemas yang mendalam

Liputan6.com, Jakarta - Fobia merupakan ketakutan yang berlebihan dan tidak rasional terhadap suatu objek atau situasi tertentu yang dapat mengganggu kehidupan seseorang. Fobia bisa berupa ketakutan terhadap ketinggian (acrophobia), air (thalassophobia), badut (coulrophobia), hewan tertentu seperti ular atau laba-laba, ruang gelap (nyctophobia), dan masih banyak lagi.

Bahkan, beberapa individu bisa langsung merasakan kecemasan hanya dengan mendengar percakapan atau melihat gambar objek yang ditakutinya. Melansir laman Live Science pada Jumat (20/12/2024), fobia didefinisikan sebagai ketakutan yang tidak sesuai dengan realitas objektif.

Karakteristik umum dari fobia meliputi usaha keras untuk menghindari objek atau situasi yang ditakuti, dan perasaan cemas yang mendalam. Secara fisik fobia menyebabkan detak jantung yang meningkat, pelebaran pupil mata, serta napas yang lebih cepat saat menghadapi pemicu ketakutan tersebut.

Secara evolusioner, banyak fobia berhubungan dengan objek atau situasi yang memang realistis dan masuk akal sebagai ancaman. Contohnya adalah fobia terhadap badai, ular, atau laba-laba, yang dulunya merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup manusia purba.

Namun, sains masih mencari penjelasan mengapa ketakutan "wajar" ini bisa berkembang menjadi fobia yang ekstrem bagi sebagian orang. Salah satu teori yang paling umum adalah bahwa fobia "dipelajari" pada periode perkembangan kunci, biasanya di masa kanak-kanak.

Teori psikodinamika, yang dicetuskan oleh Sigmund Freud, menyatakan bahwa ketakutan atau perilaku tertentu dapat dikaitkan dengan pengalaman traumatis di masa kecil. Dalam kasus ekstrem, ingatan akan peristiwa tersebut bisa berkembang menjadi fobia di kemudian hari.

Namun, teori ini dikritik oleh sejumlah pakar, seperti Dr. Joel Paris dari McGill University, Kanada, yang menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat untuk mendukung konsep ini. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang tidak selalu perlu mengalami pengalaman buruk secara langsung untuk mengembangkan fobia.

 

2 dari 3 halaman

Fobia Bisa Dipelajari

Fobia bisa muncul melalui proses observational learning atau "belajar melalui pengamatan." Misalnya, seorang anak yang sering diberi peringatan oleh orangtuanya tentang bahaya lautan atau melihat film seperti Jaws dapat mengembangkan thalassophobia, yaitu ketakutan terhadap badan air yang besar.

Hal ini membuktikan bahwa informasi, cerita, atau pengamatan terhadap pengalaman negatif orang lain juga bisa menjadi pemicu terbentuknya fobia. Meski banyak fobia dapat dijelaskan sebagai hasil dari pengalaman atau pembelajaran, beberapa peneliti percaya bahwa ketakutan tertentu bersifat bawaan.

Konsep ini dikenal sebagai teori non-asosiatif, yang diperkenalkan dalam studi tahun 1998 di jurnal Behavior Research and Therapy. Teori ini menyatakan bahwa manusia secara biologis sudah memiliki kecenderungan untuk takut terhadap hal-hal yang berpotensi membahayakan, seperti ketinggian, hewan berbisa, atau situasi gelap.

Dengan kata lain, pengalaman negatif tidak selalu diperlukan untuk memunculkan ketakutan tersebut. Beberapa psikolog, seperti Kelvin Wong dari La Trobe University, Australia, menyatakan bahwa sifat bawaan seseorang, seperti tingkat neurotisisme yang tinggi, dapat meningkatkan risiko seseorang mengembangkan fobia.

Neurotisisme merupakan dimensi kepribadian yang ditandai dengan kecenderungan mengalami emosi negatif seperti ketakutan, kecemasan, kesedihan, dan ketidakpastian.

 

3 dari 3 halaman

Fobia dan Faktor Genetik

Penelitian juga menunjukkan bahwa fobia dan gangguan kecemasan memiliki komponen genetik. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Dialogues in Clinical Neuroscience (2017) menemukan bahwa sekitar 30% kasus gangguan kecemasan memiliki komponen genetik yang diturunkan dalam keluarga.

Hal ini berarti bahwa individu dengan riwayat keluarga yang memiliki fobia atau gangguan kecemasan lebih rentan untuk mengalami kondisi serupa.

(Tifani)

Video Terkini