Sukses

23 Desember 1968: 83 Kru Kapal Intelijen AS Dibebaskan Usai Ditahan Korea Utara selama 11 Bulan

Di tengah gejolak Perang Dingin, awak kapal Pueblo ini dipenjara dan disiksa Korea Utara selama hampir satu tahun.

Liputan6.com, Washington D.C - Pada 23 Desember 1968, awak dan kapten kapal pengumpul data intelijen Amerika Serikat, Pueblo, dibebaskan setelah dipenjara selama 11 bulan oleh pemerintah Korea Utara. Kapal tersebut, beserta 83 awaknya, ditangkap oleh kapal perang Korea Utara pada 23 Januari dan dituduh masuk ke perairan Korea Utara.

Dikutip dari History.com pada Jumat (20/12/2024), penahanan tersebut membuat Presiden AS Lyndon Johnson marah. Setelah itu, ia mengklaim bahwa ia menduga kuat (meskipun tidak dapat dibuktikan) bahwa insiden dengan Pueblo, yang terjadi hanya beberapa hari sebelum Serangan Tet oleh komunis di Vietnam Selatan, merupakan pengalihan perhatian yang terkoordinasi. Namun, pada saat itu, Johnson tidak berbuat banyak. 

Serangan Tet, yang dimulai hanya seminggu setelah kapal tersebut diambil oleh Korea Utara, muncul di halaman depan surat kabar dan televisi Amerika dan tampaknya melumpuhkan pemerintahan Johnson. 

Untuk menangani insiden Pueblo, Amerika Serikat mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengecam tindakan tersebut dan menekan Uni Soviet untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi pembebasan kapal Pueblo.

Butuh waktu 11 bulan yang panjang sebelum para awak kapal Pueblo dibebaskan. Kapten dan kru kapal diperlakukan dengan sangat buruk dan kemudian menceritakan penyiksaan yang mereka alami di tangan Korea Utara. 

Tanpa bantuan di depan mata, Kapten Lloyd Bucher dengan enggan menandatangani sebuah dokumen yang mengakui bahwa kapal itu memata-matai Korea Utara. Dengan kemenangan propaganda ini, Korea Utara membebaskan para tahanan dan juga mengembalikan jasad seorang awak kapal yang meninggal dalam tahanan. 

Beberapa orang Amerika mengkritik Johnson karena tidak mengambil tindakan pembalasan yang tegas terhadap Korea Utara. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Johnson seharusnya menggunakan semua cara diplomatik yang bisa dilakukan untuk mendapatkan pembebasan yang cepat bagi para awak kapal. Bagaimanapun, peristiwa tersebut merupakan pukulan lain bagi Johnson dan kebijakan luar negeri Amerika selama Perang Dingin.