Liputan6.com, Jakarta - Bintang adalah objek luar angkasa yang memancarkan cahaya dan panas sebagai hasil dari reaksi nuklir di intinya. Sejak manusia mulai mengarahkan pandangan ke langit malam, bintang-bintang telah menjadi subjek pengamatan yang penuh teka-teki.
Salah satu bintang paling menarik yang pernah ditemukan dalam sejarah astronomi adalah bintang bernama Icarus. Bintang yang secara resmi dinamai MACS J1149+2223 Lensed Star 1 (LS1) ini memegang rekor sebagai bintang paling jauh yang pernah terdeteksi manusia.
Melansir laman Science Alert ada Rabu (08/01/2025), penemuan Icarus merupakan tonggak penting dalam studi kosmologi, karena kehadirannya hanya bisa diidentifikasi melalui fenomena alam luar biasa yang disebut lensa gravitasi. Lensa gravitasi adalah efek pembengkokan cahaya yang dihasilkan oleh tarikan gravitasi objek besar, seperti gugus galaksi, yang berada di antara sumber cahaya dan pengamat.
Advertisement
Baca Juga
Fenomena ini bekerja seperti kaca pembesar kosmis yang memperbesar cahaya dari objek jauh, memungkinkan para astronom melihat bintang atau galaksi yang seharusnya terlalu redup untuk terdeteksi. Tanpa bantuan lensa gravitasi, bahkan teleskop canggih seperti Hubble tidak akan mampu mendeteksi keberadaan bintang seperti Icarus.
Penemuan Icarus dilaporkan dalam jurnal Nature Astronomy pada 2018 oleh tim astronom yang dipimpin oleh Patrick Kelly dari University of California, Berkeley. Mereka menggunakan Teleskop Luar Angkasa Hubble untuk mengamati gugus galaksi besar bernama MACS J1149+2223, yang bertindak sebagai lensa gravitasi raksasa.
Cahaya dari Icarus diperbesar oleh gravitasi gugus tersebut. Hal ini membuat bintang ini tampak lebih terang dan memungkinkan pengamatan langsung meskipun jaraknya sangat jauh dari bumi.
Bintang Icarus berada sekitar 9 miliar tahun cahaya dari bumi. Cahaya yang kita lihat dari bintang ini mulai meninggalkan sumbernya ketika alam semesta baru berusia sekitar 4,4 miliar tahun, atau kurang dari sepertiga dari usia alam semesta saat ini yang diperkirakan mencapai 13,8 miliar tahun.
Dengan kata lain, melihat Icarus adalah seperti melihat ke masa lalu alam semesta, memberi para ilmuwan wawasan tentang kondisi galaksi dan bintang pada periode awal. Nama "Icarus" diambil dari mitologi Yunani, merujuk pada tokoh Icarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari menggunakan sayap yang terbuat dari lilin, yang akhirnya mencair dan menyebabkan Icarus jatuh.
Nama ini dipilih karena posisi bintang yang jauh dan terlihat tinggi di langit berkat "sayap" pembesar lensa gravitasi. Berdasarkan analisis cahaya dan spektrum yang dipancarkannya, para ilmuwan menduga bahwa Icarus adalah bintang biru supergiant, jenis bintang yang jauh lebih besar dan panas dibandingkan Matahari.
Bintang biru supergiant memiliki massa yang bisa mencapai puluhan kali massa matahari dan bersinar ribuan kali lebih terang. Namun, umur bintang seperti ini jauh lebih pendek dibandingkan dengan bintang berukuran lebih kecil.
Sifat bintang biru supergiant menjadikannya laboratorium alami yang penting untuk mempelajari proses-proses fisika ekstrem di alam semesta. Bintang Icarus hanya dapat terlihat dalam jangka waktu tertentu.
Efek lensa gravitasi yang membuatnya tampak terang tergantung pada konfigurasi posisi gugus galaksi dan bintang itu sendiri. Perubahan kecil dalam distribusi massa di gugus galaksi, atau pergeseran posisi bintang, dapat menyebabkan cahaya yang diperbesar mulai memudar.
Akibatnya, bintang seperti Icarus mungkin kembali menjadi terlalu redup untuk diamati.
(Tifani)