Bulan Ramadan menjadi bulan yang penuh berkah. Sebagian besar umat Muslim menjalani puasa dengan sukacita. Berkumpul bersama keluarga dan makan bersama. Tapi tidak demikian dengan para warga di Suriah yang terkena dampak pertempuran antara militer pemerintah dan pasukan pemberontak negara tersebut.
Mereka menjalani puasa penuh duka. Banyak yang kehilangan anggota keluarga dan sulit mendapat pasokan makanan.
Seperti yang dialami seorang ibu di pengungsian perbatasan Suriah dengan Turki, Um Mohammed. Ia mengaku sulit untuk menjalani ibadah puasa lantaran minimnya pasokan makanan untuk berbuka dan sahur. Bisa makan satu hari sekali pun, ia sudah bersyukur.
"Kita hidup di tenda-tenda, bagaimana bisa berpuasa? Kita sulit mendapatkan makan. Kami tak terima bantuan sama sekali. Apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana bisa memberi anak-anakku makan? Situasi kami sulit. Sepotong roti pun tidak mampu," ungkap Um, seperti dimuat Al Arabiya, Senin (15/7/2013).
Um tinggal di pengungsian di Kota Sarmada, 30 km dari Kota Idlib. Jangankan pengungsi. Toko-toko pun sulit mendapat pasokan makanan. Kalaupun ada, pasti mahal.
"Stok makanan sangat sedikit. Harganya jadi terlalu mahal. Ini membuat pelanggan enggan membeli," kata Samer Taleb, seorang pedagang di sana.
"Udaranya sangat panas. Tak ada listrik dan air. Semua serba mahal. Kalau ada roti, itu pun sedikit dengan rasa tawar," sambung Samer.
Untuk mengatasi krisis makanan ini, pemerintah Suriah yang tengah bertempur dengan pemberontak ini, memberlakukan larangan agar tidak mengekspor makanan. Bahan makanan cukup untuk dalam negeri saja.
Lebih dari 2 tahun perang saudara berkecamuk di Suriah. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda pertempuran akan mereda.
PBB mencatat setidaknya 93 ribu warga Suriah tewas sejak terjadi konflik bersenjata antara kelompok pemberontak dengan tentara pemerintahan Presiden Bashar Al Assad. (Riz/Mut)
Akibat Krisis Makanan, Warga Suriah Sulit Berbuka Puasa dan Sahur
Bisa makan satu hari sekali pun, warga Suriah sudah bersyukur.
Advertisement