Baru 4 Juli lalu, Amerika Serikat memperingati kemerdekaannya dari cengkraman kolonial Kerajaan Britania Raya.
Tapi 3 minggu kemudian, bangsa ini ikut larut merayakan kelahiran Prince of Cambridge -- putra Pangeran William dan Kate Middleton, sekaligus penerus takhta ketiga monarki Dinasti Windsor, peristiwa yang terjadi di seberang dunia.
Ini adalah salah satu paradoks terbesar AS, sebuah negara yang menyingkirkan monarki pada tahun 1776, tapi memberikan perhatian besar pada Keluarga Kerajaan Inggris. Berlebihan pula.
Salah satunya, para pengunjung Air Terjun Niagara mengetahui jenis kelamin bayi kerajaan "royal baby" bukan dari televisi, melainkan warna air yang berubah menjadi biru -- disorot cahaya.
Acara televisi dan kolom surat kabar juga habis-habisan mengupas tuntas soal kelahiran sang bayi, calon raja Ingris. Situs New York Post bahkan mengubah desain laman depannya, khusus menayangkan breaking news kelahiran Pangeran Cambridge.
Tayangan berita juga dipenuhi para "pengamat kerajaan". CNN bahkan mengundang khusus Dubes Inggris di Washington, Sir Peter Westmacott, yang tampil dengan dasi meriah -- merah, putih, biru -- warna bendera Inggris.
Sebelumnya, pada masa-masa penantian, media AS mengupas tuntas peristiwa tersebut dari berbagai sudut. Situs The Daily Beast bahkan fokus membahas efek stimulus dari peristiwa itu.
The New York Times tampil dengan nada lebih skeptis. Mengomentari secara rasional tetek bengek "protokoler ketat" seputar peristiwa kelahiran. Memperlakukannya sebagai bagian dari masa lalu, serupa obyek dalam museum.
Pengumuman kelahiran calon raja Inggris juga terpampang di Times Square, jantung kota New York. Beberapa orang berteriak kegirangan. "Ya Tuhan! Luar biasa," demikian dimuat BBC, Selasa (23/7/2013).
Lainnya biasa-biasa saja, tak peduli.
Di pojokan Greenwich Village, atau biasa disebut Little Britain, bendera Inggris berkibar. Juga poster bertuliskan "It's a Boy". Orang-orang menghirup sampanye gratis yang dihidangkan di cangkir-cangkir china.
Presiden AS Barack Obama dan istrinya, Michelle pun cepat merespons kabar bahagia itu, mengirimkan ucapan selamat.
"Semoga mereka semua bahagia dan dianugerahi berkah sebagai orangtua," ucap Obama dan istri.
"Mengingat hubungan khusus antara kita, rakyat Amerika dengan senang hati bergabung dengan rakyat Inggris untuk merayakan kelahiran sang pangeran muda."
"Efek Diana"
Hubungan khusus 2 negara memang bisa menjelaskan fenomena maraknya pemberitaan soal kelahiran pangeran cilik. Bahkan penobatan Ratu Victoria menjadi berita menarik pada masanya.
Ada lagi ikatan khusus baru -- yakni perkawinan antara tradisi Kerajaan Inggris dengan budaya selebriti -- yang terwujud pada 1985, saat Putri Diana berdansa dengan John Travolta di sebuah gala makan malam di Gedung Putih.
Putri Diana, nenek Pangeran Cambridge, juga menjadi model sampul favorit majalah Vanity Fair. Kematiannya yang tragis tak hanya ditangisi warga Inggris, tapi juga menimbulkan gejolak emosional di dada masyarakat AS.
Bahkan hingga kini, nama Diana tak pernah lekang. "Bagaimana dengan nenek yang tak akan pernah ia temui?" tanya pembaca berita ABC News, dengan nada sedih.
Kepopuleran William dan Harry di AS juga diyakini akibat dari "efek Diana". Saat berkunjung ke AS Mei lalu, Harry disambut gegap gempita, yang oleh media lokal disebut "Harrymania".
Duchess of Cambridge atau Kate Middleton juga populer di AS, dan jadi ikon fashion. Mereka telah menjadi selebriti A-list dalam hirarki budaya AS, dengan kekuatan sorot bintang yang bahkan bisa menenggelamkan nama-nama besar Hollywood.
Reaksi heboh AS mungkin sebuah bukti, para bangsawan Inggris Raya telah menjadi sebuah cabang dari industri hiburan AS. (Ein/Sss)
Tapi 3 minggu kemudian, bangsa ini ikut larut merayakan kelahiran Prince of Cambridge -- putra Pangeran William dan Kate Middleton, sekaligus penerus takhta ketiga monarki Dinasti Windsor, peristiwa yang terjadi di seberang dunia.
Ini adalah salah satu paradoks terbesar AS, sebuah negara yang menyingkirkan monarki pada tahun 1776, tapi memberikan perhatian besar pada Keluarga Kerajaan Inggris. Berlebihan pula.
Salah satunya, para pengunjung Air Terjun Niagara mengetahui jenis kelamin bayi kerajaan "royal baby" bukan dari televisi, melainkan warna air yang berubah menjadi biru -- disorot cahaya.
Acara televisi dan kolom surat kabar juga habis-habisan mengupas tuntas soal kelahiran sang bayi, calon raja Ingris. Situs New York Post bahkan mengubah desain laman depannya, khusus menayangkan breaking news kelahiran Pangeran Cambridge.
Tayangan berita juga dipenuhi para "pengamat kerajaan". CNN bahkan mengundang khusus Dubes Inggris di Washington, Sir Peter Westmacott, yang tampil dengan dasi meriah -- merah, putih, biru -- warna bendera Inggris.
Sebelumnya, pada masa-masa penantian, media AS mengupas tuntas peristiwa tersebut dari berbagai sudut. Situs The Daily Beast bahkan fokus membahas efek stimulus dari peristiwa itu.
The New York Times tampil dengan nada lebih skeptis. Mengomentari secara rasional tetek bengek "protokoler ketat" seputar peristiwa kelahiran. Memperlakukannya sebagai bagian dari masa lalu, serupa obyek dalam museum.
Pengumuman kelahiran calon raja Inggris juga terpampang di Times Square, jantung kota New York. Beberapa orang berteriak kegirangan. "Ya Tuhan! Luar biasa," demikian dimuat BBC, Selasa (23/7/2013).
Lainnya biasa-biasa saja, tak peduli.
Di pojokan Greenwich Village, atau biasa disebut Little Britain, bendera Inggris berkibar. Juga poster bertuliskan "It's a Boy". Orang-orang menghirup sampanye gratis yang dihidangkan di cangkir-cangkir china.
Presiden AS Barack Obama dan istrinya, Michelle pun cepat merespons kabar bahagia itu, mengirimkan ucapan selamat.
"Semoga mereka semua bahagia dan dianugerahi berkah sebagai orangtua," ucap Obama dan istri.
"Mengingat hubungan khusus antara kita, rakyat Amerika dengan senang hati bergabung dengan rakyat Inggris untuk merayakan kelahiran sang pangeran muda."
"Efek Diana"
Hubungan khusus 2 negara memang bisa menjelaskan fenomena maraknya pemberitaan soal kelahiran pangeran cilik. Bahkan penobatan Ratu Victoria menjadi berita menarik pada masanya.
Ada lagi ikatan khusus baru -- yakni perkawinan antara tradisi Kerajaan Inggris dengan budaya selebriti -- yang terwujud pada 1985, saat Putri Diana berdansa dengan John Travolta di sebuah gala makan malam di Gedung Putih.
Putri Diana, nenek Pangeran Cambridge, juga menjadi model sampul favorit majalah Vanity Fair. Kematiannya yang tragis tak hanya ditangisi warga Inggris, tapi juga menimbulkan gejolak emosional di dada masyarakat AS.
Bahkan hingga kini, nama Diana tak pernah lekang. "Bagaimana dengan nenek yang tak akan pernah ia temui?" tanya pembaca berita ABC News, dengan nada sedih.
Kepopuleran William dan Harry di AS juga diyakini akibat dari "efek Diana". Saat berkunjung ke AS Mei lalu, Harry disambut gegap gempita, yang oleh media lokal disebut "Harrymania".
Duchess of Cambridge atau Kate Middleton juga populer di AS, dan jadi ikon fashion. Mereka telah menjadi selebriti A-list dalam hirarki budaya AS, dengan kekuatan sorot bintang yang bahkan bisa menenggelamkan nama-nama besar Hollywood.
Reaksi heboh AS mungkin sebuah bukti, para bangsawan Inggris Raya telah menjadi sebuah cabang dari industri hiburan AS. (Ein/Sss)