Indonesia diduga jadi target intelijen asing. Informasi mengagetkan ini dikabarkan Fairfax Media Limited, yang membawahi sejumlah media di Australia, di antaranya Sydney Morning Herald dan The Age yang mengutip sumber intelijen. Penyadapan diduga dilakukan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam KTT G20 di London, Inggris pada April 2009 lalu. Negeri Kanguru juga disebut sebagai pihak yang memanfaatkan informasi itu.
Terkait itu, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, penyadapan tidak diperkenankan dalam hukum internasional. "Masalahnya, ini kan hanya laporan dari wartawan, yang jadi masalah adalah verifikasi. Apalagi, biasanya yang menyadap tak bakal mau terbuka," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (29/7/2013).
Hikmahanto menambahkan, terkait informasi ini, agak sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk bereaksi. Namun, "Pemerintah bisa 'marah' tanpa menunjuk hidung negara tertentu, tanpa minta pertanggungjawaban. Seperti halnya Eropa yang pernah marah pada Pemerintahan Obama," tambah dia.
Terkait laporan Australia memanfaatkan informasi tersebut, Hikmahanto mengatakan, itu bisa jadi karena posisi Indonesia yang strategis buat Negeri Kanguru.
"Dalam konteks G20, ada 3 hal terkait Indonesia. Sebagai patner, dalam hal perekonomian mengantisipasi pemikiran Indonesia, dan untuk membaca strategi awal kita," kata dia.
Apalagi Indonesia saat ini sudah jadi atensi dunia, baik sebagai patner negara lain juga aktor politik internasional. "Soal sapi saja Australia berkepentingan."
Hati-hati Cara Pak Harto
Dugaan penyadapan intelijen asing sulit untuk dibuktikan apalagi dimintai pertanggungjawaban, salah satu solusi mengatasinya adalah melakukan pencegahan.
Menurut Hikmahanto, ada dua instrumen yang bisa dilakukan untuk pencegahan. Yakni, memperketat protap dan melalui alat deteksi. "Pasukan Paspampres harus mendeteksi alat-alat, meski harus siap menghadapi teknologi penyadapan yang makin canggih," kata dia.
Tak kalah penting adalah, hati-hati dan waspada. "Menurut saya, ke depan pemerintah harus hati-hati, jangan anggap remeh," kata dia. "Di era Pak Harto (Presiden Soeharto) amat berhati-hati. Sementara zaman sekarang kan terbuka. Konflik antar menteri saja terbuka di pers," kata Hikmahanto.
"Jangan sampai informasi yang didapatkan secara tak sah digunakan untuk adu domba pihak yang ingin mendapatkan keuntungan. Terutama pihak asing."
Sebelumnya, laporan intelijen menyebut hasil penyadapan itu digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk pula dukungan untuk memenangkan kursi jabatan di Dewan Keamanan PBB.
KTT G20 di London juga disebut-sebut dalam bocoran rahasia mantan karyawan kontraktor pertahanan AS, Edward Snowden. Seperti dimuat CNN, Senin (17/6/2013), dokumen tersebut menunjukan, Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris menggunakan kemampuan intelijennya untuk mencegat panggilan yang dilakukan anggota delegasi G20 dalam pertemuan di London.
GCHQ juga membuat kafe internet untuk para delegasi, dalam rangka membajak surat elektronik (email) dan menangkap kata-kata kunci -- yang membuat agen intelijen bisa membaca email para delegasi dan memonitor penggunaan komputer mereka dengan key-logging software. "Lalu, menyediakan pilihan aksi terhadap mereka bahkan setelah konferensi berakhir."
GCHQ di Amerika Serikat setara dengan Badan Keamanan Nasional (NSA), dinas intelijen komunikasi yang kerjanya sangat rapi dan punya kerahasiaan tingkat tinggi.
Guardian juga melaporkan NSA berusaha menguping pembicaraan Presiden Rusia saat itu, Dmitry Medvedev selama konferensi, saat panggilan teleponnya melewati hubungan satelit ke Moskow. (Ein/Ism)
Terkait itu, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, penyadapan tidak diperkenankan dalam hukum internasional. "Masalahnya, ini kan hanya laporan dari wartawan, yang jadi masalah adalah verifikasi. Apalagi, biasanya yang menyadap tak bakal mau terbuka," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (29/7/2013).
Hikmahanto menambahkan, terkait informasi ini, agak sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk bereaksi. Namun, "Pemerintah bisa 'marah' tanpa menunjuk hidung negara tertentu, tanpa minta pertanggungjawaban. Seperti halnya Eropa yang pernah marah pada Pemerintahan Obama," tambah dia.
Terkait laporan Australia memanfaatkan informasi tersebut, Hikmahanto mengatakan, itu bisa jadi karena posisi Indonesia yang strategis buat Negeri Kanguru.
"Dalam konteks G20, ada 3 hal terkait Indonesia. Sebagai patner, dalam hal perekonomian mengantisipasi pemikiran Indonesia, dan untuk membaca strategi awal kita," kata dia.
Apalagi Indonesia saat ini sudah jadi atensi dunia, baik sebagai patner negara lain juga aktor politik internasional. "Soal sapi saja Australia berkepentingan."
Hati-hati Cara Pak Harto
Dugaan penyadapan intelijen asing sulit untuk dibuktikan apalagi dimintai pertanggungjawaban, salah satu solusi mengatasinya adalah melakukan pencegahan.
Menurut Hikmahanto, ada dua instrumen yang bisa dilakukan untuk pencegahan. Yakni, memperketat protap dan melalui alat deteksi. "Pasukan Paspampres harus mendeteksi alat-alat, meski harus siap menghadapi teknologi penyadapan yang makin canggih," kata dia.
Tak kalah penting adalah, hati-hati dan waspada. "Menurut saya, ke depan pemerintah harus hati-hati, jangan anggap remeh," kata dia. "Di era Pak Harto (Presiden Soeharto) amat berhati-hati. Sementara zaman sekarang kan terbuka. Konflik antar menteri saja terbuka di pers," kata Hikmahanto.
"Jangan sampai informasi yang didapatkan secara tak sah digunakan untuk adu domba pihak yang ingin mendapatkan keuntungan. Terutama pihak asing."
Sebelumnya, laporan intelijen menyebut hasil penyadapan itu digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk pula dukungan untuk memenangkan kursi jabatan di Dewan Keamanan PBB.
KTT G20 di London juga disebut-sebut dalam bocoran rahasia mantan karyawan kontraktor pertahanan AS, Edward Snowden. Seperti dimuat CNN, Senin (17/6/2013), dokumen tersebut menunjukan, Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris menggunakan kemampuan intelijennya untuk mencegat panggilan yang dilakukan anggota delegasi G20 dalam pertemuan di London.
GCHQ juga membuat kafe internet untuk para delegasi, dalam rangka membajak surat elektronik (email) dan menangkap kata-kata kunci -- yang membuat agen intelijen bisa membaca email para delegasi dan memonitor penggunaan komputer mereka dengan key-logging software. "Lalu, menyediakan pilihan aksi terhadap mereka bahkan setelah konferensi berakhir."
GCHQ di Amerika Serikat setara dengan Badan Keamanan Nasional (NSA), dinas intelijen komunikasi yang kerjanya sangat rapi dan punya kerahasiaan tingkat tinggi.
Guardian juga melaporkan NSA berusaha menguping pembicaraan Presiden Rusia saat itu, Dmitry Medvedev selama konferensi, saat panggilan teleponnya melewati hubungan satelit ke Moskow. (Ein/Ism)