Menjadi lumpuh tak pernah jadi pilihan bagi Baraka Kanaan. Kecelakaan mobil di tahun 2000 merenggut kemampuannya untuk berjalan. Tapi siapa sangka, keterbatasan fisik pria asal Hawaii membuatnya mengalami hal yang sangat mengerikan: merangkak naik dan turun dari pesawat. Ia pun balas menggugat maskapai yang mengangkutnya.
Pengalaman buruknya diawali ketika mantan dosen filsafat yang kini mengepalai sebuah LSM tersebut diundang untuk menghadiri sebuah konferensi Juli lalu. Ia dijadwalkan terbang dari kampung halamannya di Hawaii ke Nantucket Island di Massachusetts. Menggunakan maskapai Delta Airlines.
Beberapa minggu sebelum terbang, Baraka sudah menghubungi pihak maskapai, mengabarkan soal kondisinya. Seperti dikabarkan Huffington Post, Baraka mengaku staf Delta meyakinkan, "Ia akan mendapatkan bantuan semestinya."
Namun, saat roda pesawat menyentuh landasan di Massachusetts, ternyata tak tersedia peralatan yang membantunya turun. Saat menanyakan bagaimana caranya turun, seorang pramugari diduga berkata, "Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, kami tak bisa membantu Anda turun dari pesawat," demikian isi gugatan yang dimuat dalam News.com.au, 28 Juli 2013.
Juga tertera dalam gugatan yang diajukan bulan ini, Baraka tak punya pilihan lain selain merangkak.
Ironisnya, ia saat itu memakai stelan jas terbaiknya. Tangannya terulur, bertumpu pada kursi-kursi kabin, Baraka memindahkan tubuhnya. Setelah ke luar dari kabin, pria berambut panjang tersebut kembali merangkak untuk menuruni tangga pesawat yang sempit dan terjal. Tangan dan lututnya pun bersentuhan langsung dengan aspal landasan. Rasanya tak terbayangkan, sakit juga terhina.
Baraka juga harus merasakan pengalaman mengerikan itu saat terbang kembali ke Hawaii. Kali ini, pihak maskapai menawarkan alas kardus agar pakaiannya tak kotor.
Setelah mengajukan keberatan pada pihak maskapai, Baraka mengaku ditawari voucher US$ 100 dan 25.000 poin SkyMiles.
Belum ada tanggapan soal insiden itu dari pihak Delta Airlines. Maskapai tersebut masih mempelajari duduk soal dalam insiden ini.
Jika benar apa yang disampaikan Baraka. Tindakan maskapai bisa dikategorikan pelanggaran atas UU Akses Penerbangan Komersial di Amerika Serikat atau Air Carrier Access Act.
Aturan itu tegas menyebut, pihak bandara dan maskapai, "Diminta menyediakan bantuan pada individu yang memiliki keterbatasan fisik, menggunakan lift mekanik, tangga yang landai, atau peralatan yang sesuai -- jika garbarata tak tersedia." Aturan itu berlaku bagi pesawat dengan kapasitas tempat duduk 31 penumpang atau lebih. (Ein/Yus)
Pengalaman buruknya diawali ketika mantan dosen filsafat yang kini mengepalai sebuah LSM tersebut diundang untuk menghadiri sebuah konferensi Juli lalu. Ia dijadwalkan terbang dari kampung halamannya di Hawaii ke Nantucket Island di Massachusetts. Menggunakan maskapai Delta Airlines.
Beberapa minggu sebelum terbang, Baraka sudah menghubungi pihak maskapai, mengabarkan soal kondisinya. Seperti dikabarkan Huffington Post, Baraka mengaku staf Delta meyakinkan, "Ia akan mendapatkan bantuan semestinya."
Namun, saat roda pesawat menyentuh landasan di Massachusetts, ternyata tak tersedia peralatan yang membantunya turun. Saat menanyakan bagaimana caranya turun, seorang pramugari diduga berkata, "Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, kami tak bisa membantu Anda turun dari pesawat," demikian isi gugatan yang dimuat dalam News.com.au, 28 Juli 2013.
Juga tertera dalam gugatan yang diajukan bulan ini, Baraka tak punya pilihan lain selain merangkak.
Ironisnya, ia saat itu memakai stelan jas terbaiknya. Tangannya terulur, bertumpu pada kursi-kursi kabin, Baraka memindahkan tubuhnya. Setelah ke luar dari kabin, pria berambut panjang tersebut kembali merangkak untuk menuruni tangga pesawat yang sempit dan terjal. Tangan dan lututnya pun bersentuhan langsung dengan aspal landasan. Rasanya tak terbayangkan, sakit juga terhina.
Baraka juga harus merasakan pengalaman mengerikan itu saat terbang kembali ke Hawaii. Kali ini, pihak maskapai menawarkan alas kardus agar pakaiannya tak kotor.
Setelah mengajukan keberatan pada pihak maskapai, Baraka mengaku ditawari voucher US$ 100 dan 25.000 poin SkyMiles.
Belum ada tanggapan soal insiden itu dari pihak Delta Airlines. Maskapai tersebut masih mempelajari duduk soal dalam insiden ini.
Jika benar apa yang disampaikan Baraka. Tindakan maskapai bisa dikategorikan pelanggaran atas UU Akses Penerbangan Komersial di Amerika Serikat atau Air Carrier Access Act.
Aturan itu tegas menyebut, pihak bandara dan maskapai, "Diminta menyediakan bantuan pada individu yang memiliki keterbatasan fisik, menggunakan lift mekanik, tangga yang landai, atau peralatan yang sesuai -- jika garbarata tak tersedia." Aturan itu berlaku bagi pesawat dengan kapasitas tempat duduk 31 penumpang atau lebih. (Ein/Yus)