Liputan6.com, Kinshasha: Boleh jadi, masyarakat Kongo kini kebingungan dengan kabar yang beredar di negaranya. Sebab, baru-baru ini, Presiden Republik Demokratik Kongo Laurent Kabila dikabarkan tewas dalam sebuah insiden tembak-menembak di Kinshasha, tempat kediamannya. Kendati begitu, kondisi Kota Kinshasha masih dalam keadaan aman.
Kabar duka ini berawal dari sebuah laporan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Belgia dan Prancis. Dalam laporan itu tertulis: Kabila telah dibunuh oleh seorang pengawalnya. Saat itu, selama 30 menit, telah terjadi insiden tembak-menembak di kediaman Kabila. Ia dikabarkan ditembak di bagian punggung dan kaki kanan. Walau begitu, saat itu Kabila masih hidup dan langsung dirawat oleh tim dokter. Kabar ini jelas membingungkan. Karena itu, Kementerian Luar Negeri Belgia langsung mencari kejelasan atas informasi ini. Namun, di saat bersamaan, intelijen resmi Rwanda yang kerap mendukung kaum pemberontak di Kongo menyatakan, Kabila jelas-jelas telah tewas.
Seorang saksi mata lain menceritakan, tidak lama setelah kejadian, sebuah helikopter kepresidenan mendarat di atas Rumah Sakit Utama Kinshasha. Pesawat itu langsung membawa anak Kabila yang bernama Joshep Kabila karena mengalami luka-luka.
Menanggapi berita tersebut, Eddy Kapend, seorang ajudan Kabila, memberi keterangan di sebuah televisi nasional. Namun, ia tak menjelaskan kondisi terakhir Kabila. Hanya Eddy meminta agar masyarakat tetap tenang dan bandara udara agar segera ditutup. Sekarang ini, aparat keamanan Kongo masih melakukan patroli dengan mengunakan kendaraan tempur di seluruh Kota Kinshasha.
Sementara itu, Kabila menjadi orang nomor satu di Kongo setelah mengulingkan mantan diktator Mobutu Sese Seko, tahun 1997. Ketika itu, Konggo masih bernama Republik Zaire. Sese Seko adalah pemimpin Zaire selama 32 tahun dan hidup bagaikan seorang raja.
Masyarakat yang bosan atas kepemimpinan Sese Seko menganggap Kabila sebagai sosok pemimpin yang pantas menahkodai Zaire. Mendapat dukungan seperti itu, selama lebih dari 30 tahun, Kabila terus melancarkan pemeberontakan terhadap Sese Seko dari perbatasan Uganda dan Rwanda, tempat persembunyian Kabila.
Pada tahun 1997, Kabila akhirnya berhasil menumbangkan rezim Sese Seko dan mengubah nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo. Namun, naiknya Kabila menjadi Presiden ternyata tak memuaskan para pendukungnya. Mereka menuduh Kabila telah melakukan praktek kolusi, korupsi, nepotisme dan melakukan berbagai kesalahan manajemen dalam mengelola negara.
Tuduhan para pendukungnya itu bukan tidak beralasan. Menurut mereka, semenjak Kabila menjadi Presiden, masalah ekonomi di Kongo tak kunjung membaik dan korupsi terus merajalela. Hal ini dikarenakan Kabila kerap mengangkat para pembantu dekatnya dari suku yang sama.
Kabila juga dianggap sering bertindak dengan tangan besi dan memenjarakan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Bahkan, pekan silam, Kabila memenjarakan tiga orang jenderal senior yang diduga akan melakukan makar terhadap dirinya.
Dalam waktu singkat, Kabila langsung kehilangan kepercayaan dari para pendukungnya. Selama tiga tahun pemerintahannya, ia terus diganggu oleh kelompok pemberontak yang dulu menjadi rekan-rekan seperjuangannya ketika menumbangkan Sese Seko. Perseteruan itu kian sengit ketika kawan-kawan itu membangun jaringan perlawanan dengan Rwanda dan Uganda.
Tersiar kabar, sejumlah pemimpin Afrika, seperti mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah mengupayakan perdamaian di Kongo. Namun, upaya ini belum menampakkan hasil dan justru berujung pada berita terbunuhnya Kabila. Seharusnya Kabila mengerti bahwa tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam dunia politik.(ULF/Rka)
Kabar duka ini berawal dari sebuah laporan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Belgia dan Prancis. Dalam laporan itu tertulis: Kabila telah dibunuh oleh seorang pengawalnya. Saat itu, selama 30 menit, telah terjadi insiden tembak-menembak di kediaman Kabila. Ia dikabarkan ditembak di bagian punggung dan kaki kanan. Walau begitu, saat itu Kabila masih hidup dan langsung dirawat oleh tim dokter. Kabar ini jelas membingungkan. Karena itu, Kementerian Luar Negeri Belgia langsung mencari kejelasan atas informasi ini. Namun, di saat bersamaan, intelijen resmi Rwanda yang kerap mendukung kaum pemberontak di Kongo menyatakan, Kabila jelas-jelas telah tewas.
Seorang saksi mata lain menceritakan, tidak lama setelah kejadian, sebuah helikopter kepresidenan mendarat di atas Rumah Sakit Utama Kinshasha. Pesawat itu langsung membawa anak Kabila yang bernama Joshep Kabila karena mengalami luka-luka.
Menanggapi berita tersebut, Eddy Kapend, seorang ajudan Kabila, memberi keterangan di sebuah televisi nasional. Namun, ia tak menjelaskan kondisi terakhir Kabila. Hanya Eddy meminta agar masyarakat tetap tenang dan bandara udara agar segera ditutup. Sekarang ini, aparat keamanan Kongo masih melakukan patroli dengan mengunakan kendaraan tempur di seluruh Kota Kinshasha.
Sementara itu, Kabila menjadi orang nomor satu di Kongo setelah mengulingkan mantan diktator Mobutu Sese Seko, tahun 1997. Ketika itu, Konggo masih bernama Republik Zaire. Sese Seko adalah pemimpin Zaire selama 32 tahun dan hidup bagaikan seorang raja.
Masyarakat yang bosan atas kepemimpinan Sese Seko menganggap Kabila sebagai sosok pemimpin yang pantas menahkodai Zaire. Mendapat dukungan seperti itu, selama lebih dari 30 tahun, Kabila terus melancarkan pemeberontakan terhadap Sese Seko dari perbatasan Uganda dan Rwanda, tempat persembunyian Kabila.
Pada tahun 1997, Kabila akhirnya berhasil menumbangkan rezim Sese Seko dan mengubah nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo. Namun, naiknya Kabila menjadi Presiden ternyata tak memuaskan para pendukungnya. Mereka menuduh Kabila telah melakukan praktek kolusi, korupsi, nepotisme dan melakukan berbagai kesalahan manajemen dalam mengelola negara.
Tuduhan para pendukungnya itu bukan tidak beralasan. Menurut mereka, semenjak Kabila menjadi Presiden, masalah ekonomi di Kongo tak kunjung membaik dan korupsi terus merajalela. Hal ini dikarenakan Kabila kerap mengangkat para pembantu dekatnya dari suku yang sama.
Kabila juga dianggap sering bertindak dengan tangan besi dan memenjarakan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Bahkan, pekan silam, Kabila memenjarakan tiga orang jenderal senior yang diduga akan melakukan makar terhadap dirinya.
Dalam waktu singkat, Kabila langsung kehilangan kepercayaan dari para pendukungnya. Selama tiga tahun pemerintahannya, ia terus diganggu oleh kelompok pemberontak yang dulu menjadi rekan-rekan seperjuangannya ketika menumbangkan Sese Seko. Perseteruan itu kian sengit ketika kawan-kawan itu membangun jaringan perlawanan dengan Rwanda dan Uganda.
Tersiar kabar, sejumlah pemimpin Afrika, seperti mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah mengupayakan perdamaian di Kongo. Namun, upaya ini belum menampakkan hasil dan justru berujung pada berita terbunuhnya Kabila. Seharusnya Kabila mengerti bahwa tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam dunia politik.(ULF/Rka)