Pemerintah Belanda menyatakan telah memberi kompensasi 10 janda korban pembantaian tentara Belanda yang dipimpin Raymond Pierre Paul Westerling di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 1946-1947.
Dalam pernyataan yang dirilis di Den Haag Kamis lalu, Belanda juga mengatakan akan meminta maaf secara terbuka atas kejahatan tersebut.
"10 janda telah menerima kompensasi atas eksekusi yang dilakukan pada suami mereka oleh militer Belanda," demikian pernyataan Pemerintah Belanda seperti dimuat New Straits Times, 9 Agustus 2013. "Duta Besar Belanda, atas nama pemerintah, juga akan menyampaikan maaf secara terbuka."
Ini adalah akhir dari perjuangan keluarga korban. Pada 20 Desember 2011 lalu, pengacara HAM, Liesbeth Zegveld mengatakan, para janda korban mencari keadilan atas kematian suami mereka. Menyusul vonis Pengadilan Den Haag yang memenangkan korban pembantaian Rawagede.
Gugatan perdata dilayangkan, sebab tak mungkin untuk mengajukan tuntutan pidana pada kasus yang terjadi jauh di masa lalu.
"Kami sangat gembira dengan keputusan tersebut. Tapi ini hanya langkah awal dari sebuah proses besar: Belanda harus minta maaf atas segala pembantaian dan eksekusi tak sah yang dilakukan di Indonesia," kata Liesbeth Zegveld. "Tak segampang itu, hanya meminta maaf kasus per kasus."
"Para janda telah menerima uang, jumlah yang sama yang diberikan dalam kasus Rawaged," tambah Zegveld.
Kekejian Pasukan Westerling
Darah pernah tumpah di Makassar dan sekitarnya. Hanya setahun -- 1946 sampai 1947 -- tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000 . Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Westerling sendiri pernah mengakui perbuatannya itu. Pengakuan itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara di sebuah program televisi di stasiun NCRV. "Akulah yang bertanggung jawab, bukan tentara di bawah komandoku. Aku sendiri, secara personal yang memutuskannya," kata dia dalam sebuah wawancara di tahun 1969, seperti dimuat situs Volkskrant, 14 Agustus 2012. (Ein)
Dalam pernyataan yang dirilis di Den Haag Kamis lalu, Belanda juga mengatakan akan meminta maaf secara terbuka atas kejahatan tersebut.
"10 janda telah menerima kompensasi atas eksekusi yang dilakukan pada suami mereka oleh militer Belanda," demikian pernyataan Pemerintah Belanda seperti dimuat New Straits Times, 9 Agustus 2013. "Duta Besar Belanda, atas nama pemerintah, juga akan menyampaikan maaf secara terbuka."
Ini adalah akhir dari perjuangan keluarga korban. Pada 20 Desember 2011 lalu, pengacara HAM, Liesbeth Zegveld mengatakan, para janda korban mencari keadilan atas kematian suami mereka. Menyusul vonis Pengadilan Den Haag yang memenangkan korban pembantaian Rawagede.
Gugatan perdata dilayangkan, sebab tak mungkin untuk mengajukan tuntutan pidana pada kasus yang terjadi jauh di masa lalu.
"Kami sangat gembira dengan keputusan tersebut. Tapi ini hanya langkah awal dari sebuah proses besar: Belanda harus minta maaf atas segala pembantaian dan eksekusi tak sah yang dilakukan di Indonesia," kata Liesbeth Zegveld. "Tak segampang itu, hanya meminta maaf kasus per kasus."
"Para janda telah menerima uang, jumlah yang sama yang diberikan dalam kasus Rawaged," tambah Zegveld.
Kekejian Pasukan Westerling
Darah pernah tumpah di Makassar dan sekitarnya. Hanya setahun -- 1946 sampai 1947 -- tapi perilaku beringas Westerling dan para serdadunya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Sulsel. Sebanyak 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000 . Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Westerling sendiri pernah mengakui perbuatannya itu. Pengakuan itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara di sebuah program televisi di stasiun NCRV. "Akulah yang bertanggung jawab, bukan tentara di bawah komandoku. Aku sendiri, secara personal yang memutuskannya," kata dia dalam sebuah wawancara di tahun 1969, seperti dimuat situs Volkskrant, 14 Agustus 2012. (Ein)