Sukses

Di Era Komputer Canggih, Anak-anak Jepang Kembali ke Sempoa

Penggunaan sempoa diyakini membantu mengembangkan kapasitas berpikir anak, dan membantu memerangi demensia atau pikun pada orang tua.

Di era komputer yang sedemikian canggih, sekolah-sekolah di Jepang justru mengembalikan sempoa ke kelas.

Seperti dimuat BBC, 21 Agustus 2013, sejumlah guru kembali memperkenalkan alat hitung tradisional sampoa -- yang dalam Bahasa Jepang disebut soroban. Bukannya tanpa alasan, penggunaan sempoa diyakini membantu mengembangkan kapasitas berpikir anak, dan membantu memerangi demensia atau pikun pada orang tua.

Di kelas soroban di Nerima Ward Tokyo, anak-anak SD mempraktikkan kalkulasi berhitung yang dikenal sebagai 'anzan', atau menghitung buta. Siswa diajarkan untuk memvisualisasikan soroban di kepala mereka saat menghitung. Komputer tetap digunakan, hanya sebagai instrumen pembantu -- pengganti alat sempoa atau soroban dari kayu.

"Soroban membantu anak-anak, tak hanya meningkatkan kemampuan berhitung, tapi kemampuan konsentrasi dan mengingat. Sebab, ia mengharuskan para murid untuk menggunakan mata, telinga, dan ujung jari di saat bersamaan," kata Kazuo Kayama, guru soroban, seperti dimuat Japan Times.

Salah satu organisasi nirlaba, IM Soroban, mempromosikan soroban dengan tujuan memungkinkan anak-anak untuk meningkatkan kemampuan berhitung mereka dan berpikir secara mandiri.

Hiroya Araki, pemimpin organisasi yang mempromosikan soroban di dalam dan luar negeri, pelajaran hitung tradisional didesain untuk meningkatkan kemampuan berhitung yang akhir-akhir ini "kalah menarik akibat penggunaan komputer yang meluas".

Sejarah mencatat, soroban diajarkan secara luas di Era Edo (1603-1868), agar para murid bisa berpikir mandiri dan memecahkan masalah mereka sendiri.

Tak hanya anak-anak. Soroban juga diminati para lanjut usia. Di Otona no Gakkou, sekolah untuk orang sepuh, soroban, digabung dengan aritmetika dan kelas lainnya, diajarkan untuk membantu mengatasi demensia.

Sachiko Suzuki (88) menjadi salah satu muridnya. Nenek sepuh tersebut 3 kali sehari mengikuti pelajaran. Ia mengaku tak masalah. "Jemariku bergerak wajar," kata dia, bersemangat. (Ein/Mut)