Sukses

Bapak Bangsa Singapura, Patung Raffles, dan Komunisme (1)

Pada Senin (16/9/2013), Lee Kuan Yew genap 90 tahun--sebuah perjalanan hidup yang tak bisa dibilang singkat.

Liputan6.com, Jakarta - "Saya bisa merasakan merosotnya energi dan vitalitas secara bertahap," kata Lee Kuan Yew kepada Seth Mydans dari The New York Times, tiga tahun silam. "Setiap tahun, Anda akan tahu bahwa diri Anda tak sama dengan tahun lalu. Tapi, itulah hidup."

Saat itu, Bapak Bangsa Singapura tersebut berusia 87. Pada Senin (16/9/2013) ini, ia genap 90 tahun--sebuah perjalanan hidup yang tak bisa dibilang singkat.
 
Lee bukan sekadar pengacara berpendidikan Inggris dan menjadi Perdana Menteri Singapura selama tiga dekade. Ia adalah sosok yang sukses mengubah Singapura dari desa nelayan menjadi sentral keuangan dan industri. Negeri miskin sumber daya alam itu 'disulapnya' menjadi barometer kesejahteraan.

Terletaknya di Asia tapi tingkat kesejahteraan hidup rakyat Singapura setara dengan negara-negara dunia pertama. Pendapatan per kapita tumbuh dari US$ 400 pada 1959 -saat Lee mulai menjadi orang nomor satu di Singapura- menjadi US$ 12.200 ketika ia mundur dari jabatan perdana menteri pada 1990.

Pada 1950, Lee pulang dengan gelar sarjana hukum di tangan dari Fitzwilliam College, Cambridge, Inggris. Hanya sejenak ia berkecimpung di dunia hukum sebagai pengacara. Ia lebih memilih berpolitik dengan mendirikan People's Action Party (PAP) pada 1954.

Lee bersua Albert Winsemius, ekonom Belanda yang pernah memimpin tim United Nations Development Programme (UNDP) untuk meminta nasihat soal cara membangun perekonomian Singapura. Pada 1961 itu, Winsemius mengajukan dua syarat bagi kesuksesan Singapura: menghapus komunisme dan tak menggusur patung Thomas Stamford Raffles.

Syarat pertama bisa dengan segera disetujui. Lee memang seorang antikomunis garis keras. Komunisme diyakini menjadi penghambat laju perekonomian.

Tapi syarat kedua? Winsemius beralasan, Singapura membutuhkan dukungan teknis, manajerial, serta hal-hal lain dari Amerika dan Eropa. Investor akan memantau. Membiarkan patung Raffles tetap berdiri bakal menjadi sinyal bahwa Singapura menerima warisan Inggris.

"Saya dan rekan-rekan memang tak punya keinginan untuk menulis ulang sejarah dan mengabadikan diri kami dengan mengubah nama jalan atau bangunan," kata Lee saat mengenang Winsemius yang meninggal dunia pada 1996.

Pada Januari 1819, Raffles mendirikan sebuah pelabuhan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari menjadi Singapura. Banyak orang percaya: tak ada Raffles, tak ada Singapura.

Sempat bergabung dengan Malaysia, Singapura akhirnya benar-benar independen pada 1965. Lee berdiri paling depan dalam menghela pembangunan negara-kota itu.

Kerja sama ekonomi dengan banyak negara dirintis. Pintu investasi dibuka lebar-lebar. Ketika China menjadi ingar-bingar dengan Revolusi Kebudayaan yang digelorakan Mao Zedong, pebisnis di Hongkong dan Taiwan cemas dan memindahkan usaha mereka ke Singapura.




Memasuki dekade 70-an, General Electric datang dan membangun enam pabrik perakitan di Singapura. Dalam bisnis perminyakan, kendati tak punya sumur, Singapura menawarkan fasilitas kilang minyak yang mumpuni. Kilang-kilang mereka mampu menghasilkan satu juta barel minyak per hari.

Sejak bertahun-tahun silam, Singapura banyak mendulang devisa dari peran sebagai "surga belanja." Termasuk, buat kalangan kaya Indonesia. Berjalan-jalanlah di Orchard Road, Anda bisa dengan gampang menemukan orang-orang berbahasa Indonesia sambil menenteng produk-produk mahal.

Di bidang hukum, Lee Kuan Yew mendesain Singapura menjadi negara yang tak ramah pada para koruptor. Hukuman berat disiapkan. Tapi, gaji tinggi juga dihadirkan untuk para pegawai pemerintah sebagai langkah preventif.


Keras terhadap Korupsi, Keras terhadap Oposisi

Hasilnya, dari tahun ke tahun, sampai kini Indeks Persepsi Korupsi Singapura selalu menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Untuk level dunia, Singapura juga membukukan prestasi gemilang. Pada 2012, misalnya, ada di urutan ke-5. Lee boleh mundur tapi sistem telah kadung terbangun.

Dalam bidang politik, Lee terbilang keras dan dianggap otoriter. Ia tak mau perekonomian terganggu oleh pertikaian politik. Maka, ia pun menekan kaum oposisi. Sejumlah aturan hukum disiapkan untuk mereka yang dianggap mengganggu ketenteraman dan kewibawaan pemerintah. Ia tak percaya demokrasi ala Barat.

"Di antara dicintai atau ditakuti, saya selalu percaya bahwa Machiavelli benar. Jika tak seorang pun takut pada saya, saya tak bermakna," kata Lee dalam memoarnya, The Singapore Story.

Dalam kondisi sakit-sakitan, pada awal September lalu, Lee menerima buku yang didedikasikan kepadanya oleh kelompok media Straits Times. Isinya, ratusan foto kegiatan Lee sebagai politisi, negarawan, dan manusia biasa.

Singapura akan selalu berterima kasih padanya. (Yus)