Makhluk mistis yang disebut Yeti diyakini menghuni wilayah pegunungan Himalaya. Ia kali pertama dilaporkan muncul sebelum abad ke-19.
Yeti digambarkan mirip primata, mengerikan, kerap membawa batu besar sebagai senjata untuk melumpuhkan manusia, dan membuat suara mirip siulan. Benarkah Yeti sejatinya ada atau sekedar mitos?
Baru-baru ini para peneliti Inggris mengatakan, mereka mungkin telah memecahkan misteri Yeti, lewat sampel bulu yang diduga makhluk itu.
Temuan tersebut dijelaskan dalam serial dokumenter "Bigfoot Files" yang disiarkan stasiun televisi Inggris, Channel 4 TV. Dokumenter itu mengetengahkan hasil kerja tim yang dipimpin Bryan Sykes, ahli genetika manusia dari Universitas Oxford.
Penelitian Sykes fokus pada dua sampel bulu dari kawasan Himalaya namun ditemukan terpisah 800 mil: satu dari kawasan Ladakh di Himalaya Barat, dan satu lainnya dari Bhutan.
Yang mengejutkan, hasil pengujian menunjukkan kecocokkan 100 persen dengan sampel rahang beruang purbakala dari kawasan Svalbard Norwegia, yang diduga hidup 40.000 atau bahkan 120.000 tahun lalu -- saat beruang kutub dan beruang coklat terpisah sebagai spesies berbeda.
"Ini hasil yang menarik dan tak diduga sebelumnya, memberikan pemahaman baru terhadap legenda yeti. Meski tak bakal memuaskan legiun "Bigfootologists" -- mereka yang percaya keberadaan Bigfoot -- di seluruh dunia," kata dia seperti dimuat CNN, 17 Oktober 2013.
Namun, masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan para ahli. Untuk menginterpretasikan temuan yang dihasilkan. "Sebab, aku tak yakin ini berarti beruang kuno berkeliaran di sekitar Himalaya," kata Sykes.
Kesimpulan yang ada sekarang baru sebatas spekulasi. "Bahwa mungkin ada subspesies beruang coklat di ketinggian Himalaya yang merupakan keturunan beruang yang juga jadi nenek moyang beruang kutub. Atau bisa jadi telah terjadi hibridasi (campuran) yang lebih baru antara beruang coklat dan keturunan dari beruang kutub kuno."
Karena gerak-gerik hewan ini berbeda dengan beruang biasa, seperti yang dilaporkan para saksi mata, "Saya rasa dari sinilah sumber misteri dan sumber legenda (yeti)," kata Sykes.
Tes DNA
Tes DNA yang dilakukan Sykes dan timnya adalah bagian dari Oxford-Lausanne Collateral Hominid Project -- yang juga bertujuan mencari bukti genetika sejumlah makhluk misterius lainnya, para 'kembaran' yeti, seperti Sasquatch atau Bigfoot di wilayah Amerika Utara, juga Almasty di Rusia. Untuk mempelajari kemungkinan ada kaitannya mereka dengan spesies manusia.
Analisis, yang termasuk pengujian DNA canggih dan perbandingan temuan dengan database genome hewan lain, sama sekali tak murah. Untuk 1 rambut, para peneliti harus mengeluarkan dana sebesar US$ 2.000 atau Rp 22,6 juta.
Namun, hasilnya tak sia-sia. Akhirnya hasil analisis bisa membuka peluang bagi para ilmuwan untuk menjabarkan, apakah penampakan Yeti atau Bigfoot selama bertahun-tahun, yang sering diabadikan dalam foto yang kabur atau rekaman video yang tak jelas -- didasarkan pada fakta atau berita bohong alias hoax semata.
"Para 'Bigfootologists' dan mereka yang antusias sering menuduh bahwa keyakinan mereka ditolak oleh ilmu pengetahuan," kata Sykes. "Sains tidak menerima atau menolak sesuatu. Yang utama adalah meneliti bukti-bukti yang ada. Dan itu yang sekarang kami lakukan."
Jejak Yeti di Himalaya
Seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Foto jejak 'Yeti' atau sering disebut Kaki Besar, diambil oleh pendaki Inggris Eric Shipton di kaki Everest pada tahun 1951.
Sementara, pendaki legendaris Reinhold Messner, yang menjadi pendaki pertama di Everest tanpa oksigen, mempelajari Yeti sejak ia melihat makhluk misterius itu di Tibet tahun 1986.
Temuan Messner mendukung teori Sykes. Ia menemukan gambar di manuskrip Tibet yang berusia 300 tahun yang menyebutkan "chemo" sebutan lokal untuk yeti, dengan keterangan, "Yeti adalah jenis beruang yang hidup di kawasan pegunungan." (Ein)
Baca juga: Tim Peneliti AS Beber Keberadaan `Monster` Bigfoot
Yeti digambarkan mirip primata, mengerikan, kerap membawa batu besar sebagai senjata untuk melumpuhkan manusia, dan membuat suara mirip siulan. Benarkah Yeti sejatinya ada atau sekedar mitos?
Baru-baru ini para peneliti Inggris mengatakan, mereka mungkin telah memecahkan misteri Yeti, lewat sampel bulu yang diduga makhluk itu.
Temuan tersebut dijelaskan dalam serial dokumenter "Bigfoot Files" yang disiarkan stasiun televisi Inggris, Channel 4 TV. Dokumenter itu mengetengahkan hasil kerja tim yang dipimpin Bryan Sykes, ahli genetika manusia dari Universitas Oxford.
Penelitian Sykes fokus pada dua sampel bulu dari kawasan Himalaya namun ditemukan terpisah 800 mil: satu dari kawasan Ladakh di Himalaya Barat, dan satu lainnya dari Bhutan.
Yang mengejutkan, hasil pengujian menunjukkan kecocokkan 100 persen dengan sampel rahang beruang purbakala dari kawasan Svalbard Norwegia, yang diduga hidup 40.000 atau bahkan 120.000 tahun lalu -- saat beruang kutub dan beruang coklat terpisah sebagai spesies berbeda.
"Ini hasil yang menarik dan tak diduga sebelumnya, memberikan pemahaman baru terhadap legenda yeti. Meski tak bakal memuaskan legiun "Bigfootologists" -- mereka yang percaya keberadaan Bigfoot -- di seluruh dunia," kata dia seperti dimuat CNN, 17 Oktober 2013.
Namun, masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan para ahli. Untuk menginterpretasikan temuan yang dihasilkan. "Sebab, aku tak yakin ini berarti beruang kuno berkeliaran di sekitar Himalaya," kata Sykes.
Kesimpulan yang ada sekarang baru sebatas spekulasi. "Bahwa mungkin ada subspesies beruang coklat di ketinggian Himalaya yang merupakan keturunan beruang yang juga jadi nenek moyang beruang kutub. Atau bisa jadi telah terjadi hibridasi (campuran) yang lebih baru antara beruang coklat dan keturunan dari beruang kutub kuno."
Karena gerak-gerik hewan ini berbeda dengan beruang biasa, seperti yang dilaporkan para saksi mata, "Saya rasa dari sinilah sumber misteri dan sumber legenda (yeti)," kata Sykes.
Tes DNA
Tes DNA yang dilakukan Sykes dan timnya adalah bagian dari Oxford-Lausanne Collateral Hominid Project -- yang juga bertujuan mencari bukti genetika sejumlah makhluk misterius lainnya, para 'kembaran' yeti, seperti Sasquatch atau Bigfoot di wilayah Amerika Utara, juga Almasty di Rusia. Untuk mempelajari kemungkinan ada kaitannya mereka dengan spesies manusia.
Analisis, yang termasuk pengujian DNA canggih dan perbandingan temuan dengan database genome hewan lain, sama sekali tak murah. Untuk 1 rambut, para peneliti harus mengeluarkan dana sebesar US$ 2.000 atau Rp 22,6 juta.
Namun, hasilnya tak sia-sia. Akhirnya hasil analisis bisa membuka peluang bagi para ilmuwan untuk menjabarkan, apakah penampakan Yeti atau Bigfoot selama bertahun-tahun, yang sering diabadikan dalam foto yang kabur atau rekaman video yang tak jelas -- didasarkan pada fakta atau berita bohong alias hoax semata.
"Para 'Bigfootologists' dan mereka yang antusias sering menuduh bahwa keyakinan mereka ditolak oleh ilmu pengetahuan," kata Sykes. "Sains tidak menerima atau menolak sesuatu. Yang utama adalah meneliti bukti-bukti yang ada. Dan itu yang sekarang kami lakukan."
Jejak Yeti di Himalaya
Seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Foto jejak 'Yeti' atau sering disebut Kaki Besar, diambil oleh pendaki Inggris Eric Shipton di kaki Everest pada tahun 1951.
Sementara, pendaki legendaris Reinhold Messner, yang menjadi pendaki pertama di Everest tanpa oksigen, mempelajari Yeti sejak ia melihat makhluk misterius itu di Tibet tahun 1986.
Temuan Messner mendukung teori Sykes. Ia menemukan gambar di manuskrip Tibet yang berusia 300 tahun yang menyebutkan "chemo" sebutan lokal untuk yeti, dengan keterangan, "Yeti adalah jenis beruang yang hidup di kawasan pegunungan." (Ein)
Baca juga: Tim Peneliti AS Beber Keberadaan `Monster` Bigfoot