Setelah membuat Meksiko dan Brasil meradang, bocoran Edward Snowden membuat negara sekutu Amerika Serikat, Prancis resah. Sebab, dikatakan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) memonitor dari merekam 70 juta panggilan telepon warganya.
Kini bantahan muncul dari pejabat senior intelijen AS. Ia menyebut informasi tersebut 'bohong'. "Artikel terbaru yang dipublikasikan surat kabar Prancis Le Monde mengandung informasi yang tak akurat dan menyesatkan mengenai kegiatan intelijen luar negeri AS," kata Direktur Intelijen Nasional, James Clapper, seperti dimuat BBC, Rabu (23/10/2013).
"Dugaan bahwa Badan Keamanan Nasional (NSA) mengumpulkan lebih dari 70 juta rekaman data telepon rakyat Prancis, adalah bohong," tambah Clapper.
Namun, Clapper menolak untuk menjelaskan secara detil aktivitas intelijen AS. Ia hanya menekankan, "AS mengumpulkan data intelijen dengan cara dan jenis yang sama yang dikumpulkan oleh semua negara".
Mata-mata 'implan'
James Clapper juga menolak menjelaskan secara khusus dugaan bahwa NSA memata-matai diplomat Prancis di Washington dan PBB.
Pernyataannya juga dikeluarkan menanggapi terbitnya laporan Le Monde terkait Genie, yang diduga merupakan program mata-mata NSA berupa implan spyware yang dimasukkan di sejumlah komputer di luar negeri, juga di kedubes asing.
Detil artikel tersebut didasarkan dari memo internal NSA yang didapat dari mantan kontraktornya, Edward Snowden. Informasi soal itu muncul saat Menlu AS, John Kerry berada di London, menemui para koleganya untuk mendiskusikan persoalan Suriah.
Laporan tersebut mengklaim, bug --kesalahan desain pada suatu perangkat keras komputer atau perangkat lunak komputer yang menyebabkan peralatan atau program tidak berfungsi semestinya -- yang dimasukkan ke komputer di Kedubes Prancis di Washington diberi kode "Wabash". Sementara dalam komputer delegasi Prancis di PBB diberi kode "Blackfoot".
Artikel tersebut juga menyebut, pada 2011, AS mengalokasikan dana US$ 652 juta untuk membiayai program "mata-mata implan". Puluhan juta komputer dilaporkan dibajak tahun itu.
Sebuah dokumen tertanggal Agustus 2010 menunjukkan bahwa data yang dicuri dari komputer kedubes asing dipakai AS untuk mengetahui posisi anggota Dewan Keamanan lainnya, sebelum PBB melakukan voting resolusi sanksi baru untuk Iran. Kala itu, AS menduga Prancis bergeser ke kubu Brasil --yang menentang penerapan sanksi.
Sementara, terkait informasi terakhir soal dugaan penyadapan puluhan juta telepon warganya, Menlu Prancis Laurent Fabius telah memanggil Dubes AS untuk negara itu. Prancis meradang dan menyebut hal yang dilakukan sekutunya itu "tak bisa diterima".
Menteri Dalam Negeri Prancis, Manuel Valls mengatakan, dugaan tersebut sangat mengejutkan. "Jika negara sekutu memata-matai Prancis itu sama sekali tak bisa diterima," tegas dia.
Presiden AS Barack Obama pun turun tangan dengan menelepon Presiden Prancis Francois Hollande untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Obama menindaklanjuti sikap AS yang menegaskan bahwa tudingan mata-mata merupakan kabar yang telah terdistorsi. (Ein/Mut)
Kini bantahan muncul dari pejabat senior intelijen AS. Ia menyebut informasi tersebut 'bohong'. "Artikel terbaru yang dipublikasikan surat kabar Prancis Le Monde mengandung informasi yang tak akurat dan menyesatkan mengenai kegiatan intelijen luar negeri AS," kata Direktur Intelijen Nasional, James Clapper, seperti dimuat BBC, Rabu (23/10/2013).
"Dugaan bahwa Badan Keamanan Nasional (NSA) mengumpulkan lebih dari 70 juta rekaman data telepon rakyat Prancis, adalah bohong," tambah Clapper.
Namun, Clapper menolak untuk menjelaskan secara detil aktivitas intelijen AS. Ia hanya menekankan, "AS mengumpulkan data intelijen dengan cara dan jenis yang sama yang dikumpulkan oleh semua negara".
Mata-mata 'implan'
James Clapper juga menolak menjelaskan secara khusus dugaan bahwa NSA memata-matai diplomat Prancis di Washington dan PBB.
Pernyataannya juga dikeluarkan menanggapi terbitnya laporan Le Monde terkait Genie, yang diduga merupakan program mata-mata NSA berupa implan spyware yang dimasukkan di sejumlah komputer di luar negeri, juga di kedubes asing.
Detil artikel tersebut didasarkan dari memo internal NSA yang didapat dari mantan kontraktornya, Edward Snowden. Informasi soal itu muncul saat Menlu AS, John Kerry berada di London, menemui para koleganya untuk mendiskusikan persoalan Suriah.
Laporan tersebut mengklaim, bug --kesalahan desain pada suatu perangkat keras komputer atau perangkat lunak komputer yang menyebabkan peralatan atau program tidak berfungsi semestinya -- yang dimasukkan ke komputer di Kedubes Prancis di Washington diberi kode "Wabash". Sementara dalam komputer delegasi Prancis di PBB diberi kode "Blackfoot".
Artikel tersebut juga menyebut, pada 2011, AS mengalokasikan dana US$ 652 juta untuk membiayai program "mata-mata implan". Puluhan juta komputer dilaporkan dibajak tahun itu.
Sebuah dokumen tertanggal Agustus 2010 menunjukkan bahwa data yang dicuri dari komputer kedubes asing dipakai AS untuk mengetahui posisi anggota Dewan Keamanan lainnya, sebelum PBB melakukan voting resolusi sanksi baru untuk Iran. Kala itu, AS menduga Prancis bergeser ke kubu Brasil --yang menentang penerapan sanksi.
Sementara, terkait informasi terakhir soal dugaan penyadapan puluhan juta telepon warganya, Menlu Prancis Laurent Fabius telah memanggil Dubes AS untuk negara itu. Prancis meradang dan menyebut hal yang dilakukan sekutunya itu "tak bisa diterima".
Menteri Dalam Negeri Prancis, Manuel Valls mengatakan, dugaan tersebut sangat mengejutkan. "Jika negara sekutu memata-matai Prancis itu sama sekali tak bisa diterima," tegas dia.
Presiden AS Barack Obama pun turun tangan dengan menelepon Presiden Prancis Francois Hollande untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Obama menindaklanjuti sikap AS yang menegaskan bahwa tudingan mata-mata merupakan kabar yang telah terdistorsi. (Ein/Mut)