Meski tak berteriak lantang, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan, Indonesia tidak lembek dalam menghadapi isu penyadapan yang diduga dilakukan Australia dan Amerika Serikat.
"Tidak ada yang lembek dalam menyatakan menentang menolak, menganggap tak acceptable (soal penyadapan). Tak ada yang lembek dalam menyatakan protes keras," kata Marty usai menutup secara resmi Bali Democracry Forum VI di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11/2013).
Ketegasan Indonesia mengkaji ulang kerja sama intelijen dengan AS dan Australia, lanjut dia, juga bukanlah sikap yang lembek. "Tak ada yang lembek saat kita sponsori resolusi PBB -- bersama Jerman dan Brasil -- untuk membatasi aksi-aksi seperti itu (penyadapan)," kata dia. "Sikap kita tidak bisa dikatakan lembek."
"Dalam bahasa diplomasi, 'mengkaji ulang' itu sangat penuh makna dan arti. Proses terus bergulir sampai kita merasa ada titik penyelesaian. Kita juga berkomunikasi dengan negara yang lain yang menghadapi situasi serupa. Ini proses yang terus-menerus."
Namun, meski telah mengeluarkan pernyataan keras, mengapa AS dan Australia belum mengakui aksi intelijen mereka yang tak sah?
Menurut Marty, jawaban kedua negara kepada sekitar 90 negara -- yang diduga disadap -- sama saja. Tak mengaku, juga tak menyangkal.
Kini, jelas Marty, "Yang tak kalah penting adalah memastikan sistem informasi dan komunikasi Indonesia makin diamankan, sehingga tak rentan terhadap gangguan."
Dugaan penyadapan berasal dari dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan kontraktor untuk Badan Keamanan Nasional AS (NSA).
Dokumen tersebut diterbitkan oleh majalah Jerman, Der Spiegel, yang membahas secara rinci program intelijen sinyal bernama Stateroom. Disebutkan, Kedubes AS, Inggris, Australia dan Kanada menyimpan perangkat penyadapan untuk mengumpulkan komunikasi elektronik.
Seperti dimuat BBC, negara-negara itu, bersama Selandia Baru, juga memiliki perjanjian berbagi intelijen yang dikenal dengan Five Eyes.
Kedubes Australia di Jakarta diklaim sebagai salah satu kedubes yang terlibat seperti dilaporkan media Fairfax Australia. Selain itu Kedubes Australia di Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur serta Port Moresby, Papua Nugini, juga disebut terlibat. (Ein/Sss)
"Tidak ada yang lembek dalam menyatakan menentang menolak, menganggap tak acceptable (soal penyadapan). Tak ada yang lembek dalam menyatakan protes keras," kata Marty usai menutup secara resmi Bali Democracry Forum VI di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11/2013).
Ketegasan Indonesia mengkaji ulang kerja sama intelijen dengan AS dan Australia, lanjut dia, juga bukanlah sikap yang lembek. "Tak ada yang lembek saat kita sponsori resolusi PBB -- bersama Jerman dan Brasil -- untuk membatasi aksi-aksi seperti itu (penyadapan)," kata dia. "Sikap kita tidak bisa dikatakan lembek."
"Dalam bahasa diplomasi, 'mengkaji ulang' itu sangat penuh makna dan arti. Proses terus bergulir sampai kita merasa ada titik penyelesaian. Kita juga berkomunikasi dengan negara yang lain yang menghadapi situasi serupa. Ini proses yang terus-menerus."
Namun, meski telah mengeluarkan pernyataan keras, mengapa AS dan Australia belum mengakui aksi intelijen mereka yang tak sah?
Menurut Marty, jawaban kedua negara kepada sekitar 90 negara -- yang diduga disadap -- sama saja. Tak mengaku, juga tak menyangkal.
Kini, jelas Marty, "Yang tak kalah penting adalah memastikan sistem informasi dan komunikasi Indonesia makin diamankan, sehingga tak rentan terhadap gangguan."
Dugaan penyadapan berasal dari dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan kontraktor untuk Badan Keamanan Nasional AS (NSA).
Dokumen tersebut diterbitkan oleh majalah Jerman, Der Spiegel, yang membahas secara rinci program intelijen sinyal bernama Stateroom. Disebutkan, Kedubes AS, Inggris, Australia dan Kanada menyimpan perangkat penyadapan untuk mengumpulkan komunikasi elektronik.
Seperti dimuat BBC, negara-negara itu, bersama Selandia Baru, juga memiliki perjanjian berbagi intelijen yang dikenal dengan Five Eyes.
Kedubes Australia di Jakarta diklaim sebagai salah satu kedubes yang terlibat seperti dilaporkan media Fairfax Australia. Selain itu Kedubes Australia di Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur serta Port Moresby, Papua Nugini, juga disebut terlibat. (Ein/Sss)