Bali Democracy Forum VI rampung digelar di Nusa Dua, Bali. Forum yang berlangsung selama 2 hari, 7-8 November 2013, berlangsung nyaris tanpa kejutan.
Tak seperti pada BDF 2012, ketika kehadiran Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad melecut kontroversi. Acara tahun lalu juga dihadiri nama-nama besar lain di panggung politik global seperti PM Australia Julia Gillard, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, Kepala Pemerintahan Afghanistan Hamid Karsai dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip-Erdogan.
Kali ini, selain Presiden SBY, hanya dua kepala negara yang hadir. Yakni Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah dan Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao.
Sembari memuji SBY, isi pidato Xanana menyerang keras demokrasi ala Barat. Yang ia sebut bertanggung jawab atas pecahnya sejumlah negara di Afrika, juga 'Arab Spring' -- proses demokratisasi di Jazirah Arab yang hingga kini masih menciptakan gejolak.
"Demokrasi Barat telah membantu menghancurkan sejarah ribuan tahun masyarakat di sana. Dan yang kita saksikan saat ini adalah sebuah proses penghancuran dari dalam," kata Xanana, Kamis 7 November kemarin.
Xanana juga mengatakan, negara-negara maju selama ini sering memaksakan aturan mereka ke seluruh dunia, dengan konvensi maupun perjanjian. Padahal mereka sendiri tak mampu memenuhi dan menuruti apa yang diinginkan negara lain.
Di Eropa, kata dia, demokrasi hanya mampu memenuhi hak warga untuk mengadakan protes massal atau demonstrasi. "Tanpa disertai kemampuan untuk mengubah kondisi untuk mengatasi kesengsaraan warganya," kata dia. Tak mampu memberikan makanan bagi mereka yang rentan.
Pun dengan Amerika Serikat. "Di AS jutaan rumah tangga tak punya makanan dan orang-orang jarus antre untuk mendapatkan makanan dari jaminan sosial."
Meski bisa menjamin kebebasan individu dan hak-hak sipil, "Demokrasi tak bisa mengatasi semua masalah," kata Xanana.
Pemimpin Timor Leste itu juga menyinggung soal penyadapan yang diduga dilakukan AS dan Australia. Yang nyata-nyata mencederai demokrasi. "Ini bukan saja perkara privasi dan kebebasan personal. Namun juga soal kedaulatan," kata dia.
Wartawan Diusir
Di saat Xanana sedang berpidato, terjadilah insiden tidak menyenangkan. Seorang jurnalis Era Baru dan The Epoch Times, Wayan Manuh, diamankan anggota Pasukan Pengamanan Kepresidenan (Paspampres) dari area pembukaan BDF.
"Selama 4 jam dari pukul 11.25 sampai pukul 16.55 tanpa alasan jelas pihak keamanan telah menahan saya," kata Wayan dalam surat elektroniknya yang disebar di kalangan wartawan.
Ia mengaku digiring 9 Paspampres dan diajak keluar gedung BNDCC, menuju Polsek Nusa Dua. "Padahal saya resmi menjadi wartawan peliput dengan identitas lengkap yang dikeluarkan Kemenlu."
Wayan menduga, ia dicekal dari forum demokrasi atas permintaan delegasi China.
Sementara, pihak Kemenlu membantah ada permintaan dari salah satu delegasi untuk mengamankan Wayan. "Kartu ID Saudara Wayan Manuh ditarik sementara atas dasar SOP pengamanan VVIP," demikian pernyataan pihak Kemenlu. "Tidak ada permintaan dari pihak Kedubes asing."
Isu Penyadapan Mengemuka
'Bintang' dalam penyelenggaraan BDF VI adalah Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop dan Menlu RI Marty Natalegawa. Keduanya menjadi incaran wartawan yang ingin mengonfirmasi terkait isu penyadapan yang diduga dilakukan AS dan Australia.
Menlu Bishop mengaku, pihaknya menanggapi dengan serius isu dugaan kegiatan mata-mata di Indonesia. "Kami menangani isu tersebut dengan sangat serius," kata dia.
"Saya memastikan pada Menlu Marty Natalegawa bahwa pemerintahan PM Abbott tidak akan melakukan apapun yang akan merusak hubungan baik dengan Indonesia," tambah Bu Menlu berparas ayu itu.
Namun, Menlu Bishop tak menanggapi saat ditanya apakah pihaknya dapat memastikan bahwa tindakan mata-mata tak akan dilakukan di masa depan. "Kami tidak berwenang mengomentari masalah intelijen."
Sementara, Menlu Marty menegaskan, Indonesia tak lembek menganggapi isu penyadapan. "Tidak ada yang lembek dalam menyatakan menentang menolak, menganggap tak acceptable (soal penyadapan). Tak ada yang lembek dalam menyatakan protes keras," kata Marty usai menutup secara resmi Bali Democracry Forum VI di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11/2013).
Ketegasan Indonesia mengkaji ulang kerja sama intelijen dengan AS dan Australia, lanjut dia, juga bukanlah sikap yang lembek. "Tak ada yang lembek saat kita sponsori resolusi PBB -- bersama Jerman dan Brasil -- untuk membatasi aksi-aksi seperti itu (penyadapan)," kata dia. "Sikap kita tidak bisa dikatakan lembek."
"Dalam bahasa diplomasi, 'mengkaji ulang' itu sangat penuh makna dan arti. Proses terus bergulir sampai kita merasa ada titik penyelesaian. Kita juga berkomunikasi dengan negara yang lain yang menghadapi situasi serupa. Ini proses yang terus-menerus." (Ein/Yus)
Tak seperti pada BDF 2012, ketika kehadiran Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad melecut kontroversi. Acara tahun lalu juga dihadiri nama-nama besar lain di panggung politik global seperti PM Australia Julia Gillard, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, Kepala Pemerintahan Afghanistan Hamid Karsai dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip-Erdogan.
Kali ini, selain Presiden SBY, hanya dua kepala negara yang hadir. Yakni Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah dan Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao.
Sembari memuji SBY, isi pidato Xanana menyerang keras demokrasi ala Barat. Yang ia sebut bertanggung jawab atas pecahnya sejumlah negara di Afrika, juga 'Arab Spring' -- proses demokratisasi di Jazirah Arab yang hingga kini masih menciptakan gejolak.
"Demokrasi Barat telah membantu menghancurkan sejarah ribuan tahun masyarakat di sana. Dan yang kita saksikan saat ini adalah sebuah proses penghancuran dari dalam," kata Xanana, Kamis 7 November kemarin.
Xanana juga mengatakan, negara-negara maju selama ini sering memaksakan aturan mereka ke seluruh dunia, dengan konvensi maupun perjanjian. Padahal mereka sendiri tak mampu memenuhi dan menuruti apa yang diinginkan negara lain.
Di Eropa, kata dia, demokrasi hanya mampu memenuhi hak warga untuk mengadakan protes massal atau demonstrasi. "Tanpa disertai kemampuan untuk mengubah kondisi untuk mengatasi kesengsaraan warganya," kata dia. Tak mampu memberikan makanan bagi mereka yang rentan.
Pun dengan Amerika Serikat. "Di AS jutaan rumah tangga tak punya makanan dan orang-orang jarus antre untuk mendapatkan makanan dari jaminan sosial."
Meski bisa menjamin kebebasan individu dan hak-hak sipil, "Demokrasi tak bisa mengatasi semua masalah," kata Xanana.
Pemimpin Timor Leste itu juga menyinggung soal penyadapan yang diduga dilakukan AS dan Australia. Yang nyata-nyata mencederai demokrasi. "Ini bukan saja perkara privasi dan kebebasan personal. Namun juga soal kedaulatan," kata dia.
Wartawan Diusir
Di saat Xanana sedang berpidato, terjadilah insiden tidak menyenangkan. Seorang jurnalis Era Baru dan The Epoch Times, Wayan Manuh, diamankan anggota Pasukan Pengamanan Kepresidenan (Paspampres) dari area pembukaan BDF.
"Selama 4 jam dari pukul 11.25 sampai pukul 16.55 tanpa alasan jelas pihak keamanan telah menahan saya," kata Wayan dalam surat elektroniknya yang disebar di kalangan wartawan.
Ia mengaku digiring 9 Paspampres dan diajak keluar gedung BNDCC, menuju Polsek Nusa Dua. "Padahal saya resmi menjadi wartawan peliput dengan identitas lengkap yang dikeluarkan Kemenlu."
Wayan menduga, ia dicekal dari forum demokrasi atas permintaan delegasi China.
Sementara, pihak Kemenlu membantah ada permintaan dari salah satu delegasi untuk mengamankan Wayan. "Kartu ID Saudara Wayan Manuh ditarik sementara atas dasar SOP pengamanan VVIP," demikian pernyataan pihak Kemenlu. "Tidak ada permintaan dari pihak Kedubes asing."
Isu Penyadapan Mengemuka
'Bintang' dalam penyelenggaraan BDF VI adalah Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop dan Menlu RI Marty Natalegawa. Keduanya menjadi incaran wartawan yang ingin mengonfirmasi terkait isu penyadapan yang diduga dilakukan AS dan Australia.
Menlu Bishop mengaku, pihaknya menanggapi dengan serius isu dugaan kegiatan mata-mata di Indonesia. "Kami menangani isu tersebut dengan sangat serius," kata dia.
"Saya memastikan pada Menlu Marty Natalegawa bahwa pemerintahan PM Abbott tidak akan melakukan apapun yang akan merusak hubungan baik dengan Indonesia," tambah Bu Menlu berparas ayu itu.
Namun, Menlu Bishop tak menanggapi saat ditanya apakah pihaknya dapat memastikan bahwa tindakan mata-mata tak akan dilakukan di masa depan. "Kami tidak berwenang mengomentari masalah intelijen."
Sementara, Menlu Marty menegaskan, Indonesia tak lembek menganggapi isu penyadapan. "Tidak ada yang lembek dalam menyatakan menentang menolak, menganggap tak acceptable (soal penyadapan). Tak ada yang lembek dalam menyatakan protes keras," kata Marty usai menutup secara resmi Bali Democracry Forum VI di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11/2013).
Ketegasan Indonesia mengkaji ulang kerja sama intelijen dengan AS dan Australia, lanjut dia, juga bukanlah sikap yang lembek. "Tak ada yang lembek saat kita sponsori resolusi PBB -- bersama Jerman dan Brasil -- untuk membatasi aksi-aksi seperti itu (penyadapan)," kata dia. "Sikap kita tidak bisa dikatakan lembek."
"Dalam bahasa diplomasi, 'mengkaji ulang' itu sangat penuh makna dan arti. Proses terus bergulir sampai kita merasa ada titik penyelesaian. Kita juga berkomunikasi dengan negara yang lain yang menghadapi situasi serupa. Ini proses yang terus-menerus." (Ein/Yus)