Sukses

Kolumnis Australia: Canberra Tidak Percaya Jakarta

Kolumnis Australia Philip Dorling mengungkap alasan kenapa Kanguru menyadap Garuda.

Indonesia geram. Australia kelimpungan. Hal itu yang tengah terjadi saat ini setelah beredarnya informasi dari mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) Edward Snowden bahwa Australia menyadap ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan 8 pejabat tinggi RI lainnya. (Baca: Ani Yudhoyono dan Pejabat Indonesia yang Disadap)

Lewat tulisan berjudul "Canberra doesn't trust Jakarta", Kolumnis Australia, Philip Dorling menyatakan kabar penyadapan terhadap ponsel Presiden SBY tidaklah mengejutkan bagi ratusan, bahkan ribuan, agen rahasia, diplomat, birokrat dan politisi Australia. Ia mengungkap alasan kenapa Negeri Kanguru menyadap Garuda: Canberra tak percaya Jakarta.

"Mengapa kita (Australia) melakukan itu? Di balik segala pernyataan persahabatan dan bertetangga baik dari Pemerintah Australia, tapi Canberra sebenarnya memang tak mempercayai Jakarta," tulis Dorling di Sydney Morning Herald, Selasa (19/11/2013).

"Kita (Australia) bekerjasama erat dengan Indonesia, termasuk dalam bidang keamanan dan intelijen, tapi kita tidak mempercayai mereka (Indonesia). Kita tidak akan percaya dan mungkin tak akan pernah bisa percaya," sebut Dorling.

Di mata Australia, kata dia, Indonesia tidak seperti Australia memandang Selandia Baru yang dianggap sekutunya. Selandia Baru dianggap sebagai salah satu dari program mitra "Five Eyes" atau lima sekutu terpercaya Australia.

Australia, lanjut Dorling, selalu merasa khawatir bahwa suatu saat Indonesia bakal menjadi ancaman. Sejak tahun 1950-an, kata dia, Australia rutin memata-matai Indonesia. "Kita telah memata-matai Jakarta sejak lama," ungkap Dorling.

Mata-mata Sejak 1950-an

Lebih lanjut, Dorling juga menuliskan bahwa Kedubes Australia di Jakarta yang dibangun pada 1954 merupakan pos mata-mata dinas intelijen Australia (Australian Secret Intelligence Service, ASIS). Pos itu bahkan merupakan pos ASIS yang pertama di luar negeri. "ASIS senantiasa menjadikan Indonesia sebagai prioritas utama," sebut Dorling.

Kolumnis yang juga koresponden The Canberra Times itu menguak catatan harian mantan duta besar Australia untuk Indonesia, Sir Walter Crocker yang tak pernah dipublikasikan. Dalam catatan Crocker, disebutkan Badan Keamanan Australia (Defence Signals Directorate/DSD) rutin mematai-matai Indonesia sejak pertengahan 1950-an.

"Pada 1960-an, GCHQ (Dinas Intelijen Inggris) membantu Defence Signals Directorate memecahkan mesin sandi buatan perusahaan Swedia Hagelin yang digunakan Kedubes Indonesia di Canberra," tulis Dorling.

GCHQ atau Government Communications Headquarters adalah dinas intelijen Inggris yang bertanggungjawab dalam menyediakan intelijen sinyal (SIGINT) dan jaminan informasi kepada pemerintah dan angkatan bersenjata Inggris.

Pada 1970-an, jelas Dorling, fasilitas radio Defense Signals di Shoal Bay luar Kota Darwin memonitor komunikasi militer Indonesia dan memberi informasi dini soal keinginan Indonesia menduduki Timor Timur.

Kemudian pada 1999, Dalam laporan Defence Intelligence soal Indonesia dan Timor Timur yang bocor ke publik disebutkan, bahwa intelijen Australia memiliki akses luar biasa terhadap komunikasi militer dan sipil Indonesia.

"Setiap Perdana Menteri (PM) Australia sejak Robert Menzies (PM Australia 1949-1966) mendapat pengarahan mendalam mengenai jangkauan penetrasi terus menerus oleh Defence Signals Directorate terhadap komunikasi diplomatik, militer dan sipil Indonesia yang terus meningkat," sebut Dorling.

Mata-matai Soeharto

Dorling menulis, Australia juga memata-matai Soeharto. Saat menyadap Soeharto, kata dia, Perdana Menteri yang saat itu menjabat, Paul Keating berusaha mencari tahu bagaimana pola pikir Soeharto soal diplomasi regional dan hubungan dengan Australia. Kini, DSD berusaha mendapatkan gambaran lebih mendalam soal hubungan politik dan pribadi SBY.

"Operasi penyadapan ini adalah bagian dari program "Five Eyes" dengan nama sandi "STATEROOM". Lokasi utama penyadapan adalah Kedubes Australia di Jakarta, tepatnya daerah Kuningan, Jakarta Selatan," papar Dolring.

Kata dia, aksi spionase ini sebenarnya ditujukan untuk perang melawan terorisme. Tapi menurut pengakuan seorang mantan agen rahasia Australia kepada koran Fairfax Media, fokus utama penyadapan adalah intelijen politik, diplomatik dan ekonomi.

"Pertumbuhan jejaring telepon mobile yang besar merupakan anugerah besar (bagi Australia). Dan elite politik Jakarta merupakan gerombolan orang yang banyak bicara. Bahkan saat mereka (elite Indonesia) tahu dinas intelijennya sedang mencari tahu (aktivitas mata-mata), mereka terus saja ngomong," kata mantan agen rahasia Australia itu, yang ditulis Dorling.

Pada akhir tulisannya, Dorling menilai kasus penyadapan terhadap SBY bakal sangat mempermalukan Australia. Namun, menurut dia, Negeri Kangguru tidak akan berhenti memata-matai Indonesia. (Riz/Ism)