Ini kisah tentang seorang pria 'gila' yang memimpikan kehancuran New York.
Di benaknya, ia melihat adegan apokaliptik gedung pencakar langit menyala seperti obor raksasa, bangunan-bangunan yang rubuh, orang-orang ketakutan panik bukan kepalang dengan iman yang terguncang. 'Dewa-dewa' mereka, kapitalisme dan demokrasi, tidak bisa berbuat apapun.
Benar, adegan itu memang sudah terjadi, dalam insiden teror 11 September 2001 atau yang dikenal sebagai 9/11. Kala itu Osama Bin Laden dan gerombolannya melaksanakan aksi serangan bunuh diri Menara Kembar WTC.
Yang tak banyak diketahui publik, lebih dari setengah abad sebelumnya, 56 tahun lalu, seorang pria sudah memimpikannya: Adolf Hitler.
Seperti Liputan6.com kutip dari Daily Mail, Jumat (13/12/2013), sekitar 4.000 mil (6.437 km) dari New York, tepatnya di Berlin, Hitler meminta para ilmuwan dan insinyurnya untuk membuat keinginan itu tercapai. Melalui perantaraan bom.
Skema yang mereka susun di antaranya pesawat kamikaze yang diarahkan ke jantung Manhattan, menabrak target dan menyebabkan kematian massal dan kerusakan -- mirip adegan 9/11.
Meski rencana horor itu tak pernah tercapat, namun ketika akhirnya terkuak ke publik, itu sama sekali tak terduga.
Sebab, selama bertahun-tahun Sang Fuhrer bersikap hati-hati dengan Amerika Serikat, berusaha tidak memprovokasi permusuhan. Di depan publik Hitler mengaku Amerika adalah temannya. Namun itu bukan sikap sesungguhnya.
Pemimpin Nazi itu membenci demokrasi ala AS, penduduknya yang memiliki ras campuran, dan banyaknya bankir Yahudi di Manhattan.
Pada awal 1937, Hitler luar biasa bersemangat ketika Willy Messerschmitt, desainer pesawat yang jenius, meluncurkan desain pesawat bomber jarak jauh yang dikembangkan di pabriknya di Augsburg, Jerman selatan.
Raksasa bermesin empat yang diberi nama Me 264 kepada publik seolah-olah ditujukan untuk mendukung operasi kapal selam Jerman di Lautan Atlantik. Namun, pada Hilter, Messerschmitt mengatakan bombernya berpotensi mencapai perairan AS. Perintah pun dikeluarkan: Laksanakan!
Masalah teknis jadi tantangan utama. Yaitu, bagaimana cara bom seberat 3 ton diangkut dalam penerbangan nonstop ke New York. Insinyur terbaik Messerschmitt dikerahkan untuk mewujudkannya.
Sementara perang bergelora di Eropa, pasukan Jerman dikerahkan ke barat dan timur, mewujudkan ambisi Hitler menguasai dunia. Pada 1941, Prancis kalah, Inggris dan Uni Soviet dikepung. Amerika Serikat tinggal selangkah.
Namun, Me 264 sama sekali tak mudah diwujudkan. Terlalu rumit. Pesawat itu harus ringan untuk melintasi Atlantik tapi cukup kokoh untuk membawa beban berat, dan tangkas untuk mempertahankan diri. Persamaan aerodinamis kala itu tak ada yang cocok.
Salah satu solusinya adalah untuk mempersingkat perjalanan Me 264 dengan mendirikan pos pengisian bahan bakar dan perbaikan. Untuk tujuan ini, Hitler memerintahkan angkatan laut untuk merebut Islandia - yang berada di tengah daratan Eropa dan Amerika .
Namun, pada pertengahan 1941, AS yang masih netral sudah menyadari bahaya mendekat, dan mengambil alih pertahanan Islandia untuk menangkal niat Jerman. Kemudian pada tahun yang sama, menanggapi serangan Jepang atas Pearl Harbour, AS bergabung dalam perang.
Hitler pun murka dan mengeluarkan kebencian terpendamnya, mengecam Presiden Roosevelt dan ' lingkaran setan' orang-orang Yahudi di sekelilingnya sebagai penghasut perang dan pembohong.
Sementara Me 264 belum rampung, ia mencoba cara lain. Pada Mei 1942, sebuah tim beranggotakan empat anggota pasukan komando Jerman naik kapal selam dan mendarat di pantai Long Island, hanya beberapa mil dari New York. Dengan mengenakan pakaian sipil dan membawa dinamit, mereka naik kereta api komuter ke kota dan bersembunyi di sebuah hotel .
FBI yang mendapat laporan dari penjaga pantai gagal menangkap mereka. Namun, pimpinan komando Jerman, John Dasch malah menyerahkan diri ke AS dan membongkar rencana Hilter.
Bos FBI kala itu, J. Edgar Hoover mengumumkan kepada publik Amerika keberhasilan anak buahnya menghentikan niat para penyusup -- yang punya misi menyerang pabrik amunisi.
Namun FBI tak berterus terang agar publik tak panik. Tujuan komando Jerman nyatanya adalah menyerang target sipil seperti Grand Central Station.
Kembali di Jerman, sebuah prototipe Me 264 akhirnya rampung tapi terbukti tidak stabil dan hampir mustahil untuk menjalani tes terbang. Tak cuma itu, ada kecenderungan mesin jatuh. Upaya Willy Messerschmitt membuat senjata untuk membuat AS bertekuk lutut gagal total.
Taktik lain
Ide baru pun dicari. Saat itu, Kolonel Viktor von Lossberg, melangkah maju dengan rencana berani. Ia mengajukan diri untuk menerbangkan pesawat ke tengah Atlantik, di mana ia akan mendarat di atas air dan melakukan kontak dengan kapal selam yang membawa bom dan bahan bakar ekstra yang ia butuhkan untuk sisa penerbangannya ke pantai Amerika .
Setelah membom New York, ia akan bertemu dengan kapal selam di tengah laut lagi untuk mengisi bahan bakar dan kembali membawa kemenangan ke Jerman. Namun, rencana itu juga gagal. AS lebih dulu membatasi gerak armada Jerman di Atlantik.
Cara lain adalah menggunakan pesawat penumpang jarak jauh Condor -- bikinan Focke-Wulf yang pernah menempuh perjalanan Berlin-New York pada 1938 dengan waktu 25 jam. Namun tanpa pengisian bahan bakar, pesawat itu hanya bisa sekali jalan.
Dr Fritz Nallinger dari Daimler-Benz punya ide gila. Bahan peledak diangkut di dalam pesawat Condor dan diterbangkan ke New York. Setelah menyetel pesawat agar jatuh di New York, pilot akan melarikan diri dengan parasut dan selamat-- itu kalau ia beruntung. Namun, Condor terlalu lambat dan terlalu mudah ditembak jatuh oleh tentara AS. Gagal.
Ketika Jerman mengalami kesulitan militer, pilot tempur Luftwaffe yang mulai kehabisan amunisi menggunakan teknik ala kamikaze.
Nallinger menggambar sketsa pesawat perkasa dengan rentang sayap kolosal, yang akan dimuati bom, dan diterbangkan ke Manhattan -- ibukota perdagangan AS -- dalam misi bunuh diri.
Pada 1945, komandan Luftwaffe sekaligus wakil Hitler, Goering menyetujui rencana itu. Tapi terlambat...meski ada banyak tentara yang mau mengorbankan nyawa untuk melakukan misi itu, tak ada waktu untuk mewujudkannya.
Dalam bunker di Berlin, dalam kepungan Rusia dengan bala tentaranya berantakan, Hitler masih bermimpi balas dendam.
Albert Speer, menteri persenjataannya, mengingat bagaimana Hitler minta dia menayangkan film London dan Warsawa berkobar akibat digempur bom. Ia berharap Amerika bernasib sama.
Ini yang di dicatat Speer dalam buku hariannya: "Hitler berharap New York berada di tengah lautan api, gedung pencakar langit berubah menjadi obor raksasa dan runtuh. Kota meledak, membara menerangi langit malam."(Ein/Yus)
Di benaknya, ia melihat adegan apokaliptik gedung pencakar langit menyala seperti obor raksasa, bangunan-bangunan yang rubuh, orang-orang ketakutan panik bukan kepalang dengan iman yang terguncang. 'Dewa-dewa' mereka, kapitalisme dan demokrasi, tidak bisa berbuat apapun.
Benar, adegan itu memang sudah terjadi, dalam insiden teror 11 September 2001 atau yang dikenal sebagai 9/11. Kala itu Osama Bin Laden dan gerombolannya melaksanakan aksi serangan bunuh diri Menara Kembar WTC.
Yang tak banyak diketahui publik, lebih dari setengah abad sebelumnya, 56 tahun lalu, seorang pria sudah memimpikannya: Adolf Hitler.
Seperti Liputan6.com kutip dari Daily Mail, Jumat (13/12/2013), sekitar 4.000 mil (6.437 km) dari New York, tepatnya di Berlin, Hitler meminta para ilmuwan dan insinyurnya untuk membuat keinginan itu tercapai. Melalui perantaraan bom.
Skema yang mereka susun di antaranya pesawat kamikaze yang diarahkan ke jantung Manhattan, menabrak target dan menyebabkan kematian massal dan kerusakan -- mirip adegan 9/11.
Meski rencana horor itu tak pernah tercapat, namun ketika akhirnya terkuak ke publik, itu sama sekali tak terduga.
Sebab, selama bertahun-tahun Sang Fuhrer bersikap hati-hati dengan Amerika Serikat, berusaha tidak memprovokasi permusuhan. Di depan publik Hitler mengaku Amerika adalah temannya. Namun itu bukan sikap sesungguhnya.
Pemimpin Nazi itu membenci demokrasi ala AS, penduduknya yang memiliki ras campuran, dan banyaknya bankir Yahudi di Manhattan.
Pada awal 1937, Hitler luar biasa bersemangat ketika Willy Messerschmitt, desainer pesawat yang jenius, meluncurkan desain pesawat bomber jarak jauh yang dikembangkan di pabriknya di Augsburg, Jerman selatan.
Raksasa bermesin empat yang diberi nama Me 264 kepada publik seolah-olah ditujukan untuk mendukung operasi kapal selam Jerman di Lautan Atlantik. Namun, pada Hilter, Messerschmitt mengatakan bombernya berpotensi mencapai perairan AS. Perintah pun dikeluarkan: Laksanakan!
Masalah teknis jadi tantangan utama. Yaitu, bagaimana cara bom seberat 3 ton diangkut dalam penerbangan nonstop ke New York. Insinyur terbaik Messerschmitt dikerahkan untuk mewujudkannya.
Sementara perang bergelora di Eropa, pasukan Jerman dikerahkan ke barat dan timur, mewujudkan ambisi Hitler menguasai dunia. Pada 1941, Prancis kalah, Inggris dan Uni Soviet dikepung. Amerika Serikat tinggal selangkah.
Namun, Me 264 sama sekali tak mudah diwujudkan. Terlalu rumit. Pesawat itu harus ringan untuk melintasi Atlantik tapi cukup kokoh untuk membawa beban berat, dan tangkas untuk mempertahankan diri. Persamaan aerodinamis kala itu tak ada yang cocok.
Salah satu solusinya adalah untuk mempersingkat perjalanan Me 264 dengan mendirikan pos pengisian bahan bakar dan perbaikan. Untuk tujuan ini, Hitler memerintahkan angkatan laut untuk merebut Islandia - yang berada di tengah daratan Eropa dan Amerika .
Namun, pada pertengahan 1941, AS yang masih netral sudah menyadari bahaya mendekat, dan mengambil alih pertahanan Islandia untuk menangkal niat Jerman. Kemudian pada tahun yang sama, menanggapi serangan Jepang atas Pearl Harbour, AS bergabung dalam perang.
Hitler pun murka dan mengeluarkan kebencian terpendamnya, mengecam Presiden Roosevelt dan ' lingkaran setan' orang-orang Yahudi di sekelilingnya sebagai penghasut perang dan pembohong.
Sementara Me 264 belum rampung, ia mencoba cara lain. Pada Mei 1942, sebuah tim beranggotakan empat anggota pasukan komando Jerman naik kapal selam dan mendarat di pantai Long Island, hanya beberapa mil dari New York. Dengan mengenakan pakaian sipil dan membawa dinamit, mereka naik kereta api komuter ke kota dan bersembunyi di sebuah hotel .
FBI yang mendapat laporan dari penjaga pantai gagal menangkap mereka. Namun, pimpinan komando Jerman, John Dasch malah menyerahkan diri ke AS dan membongkar rencana Hilter.
Bos FBI kala itu, J. Edgar Hoover mengumumkan kepada publik Amerika keberhasilan anak buahnya menghentikan niat para penyusup -- yang punya misi menyerang pabrik amunisi.
Namun FBI tak berterus terang agar publik tak panik. Tujuan komando Jerman nyatanya adalah menyerang target sipil seperti Grand Central Station.
Kembali di Jerman, sebuah prototipe Me 264 akhirnya rampung tapi terbukti tidak stabil dan hampir mustahil untuk menjalani tes terbang. Tak cuma itu, ada kecenderungan mesin jatuh. Upaya Willy Messerschmitt membuat senjata untuk membuat AS bertekuk lutut gagal total.
Taktik lain
Ide baru pun dicari. Saat itu, Kolonel Viktor von Lossberg, melangkah maju dengan rencana berani. Ia mengajukan diri untuk menerbangkan pesawat ke tengah Atlantik, di mana ia akan mendarat di atas air dan melakukan kontak dengan kapal selam yang membawa bom dan bahan bakar ekstra yang ia butuhkan untuk sisa penerbangannya ke pantai Amerika .
Setelah membom New York, ia akan bertemu dengan kapal selam di tengah laut lagi untuk mengisi bahan bakar dan kembali membawa kemenangan ke Jerman. Namun, rencana itu juga gagal. AS lebih dulu membatasi gerak armada Jerman di Atlantik.
Cara lain adalah menggunakan pesawat penumpang jarak jauh Condor -- bikinan Focke-Wulf yang pernah menempuh perjalanan Berlin-New York pada 1938 dengan waktu 25 jam. Namun tanpa pengisian bahan bakar, pesawat itu hanya bisa sekali jalan.
Dr Fritz Nallinger dari Daimler-Benz punya ide gila. Bahan peledak diangkut di dalam pesawat Condor dan diterbangkan ke New York. Setelah menyetel pesawat agar jatuh di New York, pilot akan melarikan diri dengan parasut dan selamat-- itu kalau ia beruntung. Namun, Condor terlalu lambat dan terlalu mudah ditembak jatuh oleh tentara AS. Gagal.
Ketika Jerman mengalami kesulitan militer, pilot tempur Luftwaffe yang mulai kehabisan amunisi menggunakan teknik ala kamikaze.
Nallinger menggambar sketsa pesawat perkasa dengan rentang sayap kolosal, yang akan dimuati bom, dan diterbangkan ke Manhattan -- ibukota perdagangan AS -- dalam misi bunuh diri.
Pada 1945, komandan Luftwaffe sekaligus wakil Hitler, Goering menyetujui rencana itu. Tapi terlambat...meski ada banyak tentara yang mau mengorbankan nyawa untuk melakukan misi itu, tak ada waktu untuk mewujudkannya.
Dalam bunker di Berlin, dalam kepungan Rusia dengan bala tentaranya berantakan, Hitler masih bermimpi balas dendam.
Albert Speer, menteri persenjataannya, mengingat bagaimana Hitler minta dia menayangkan film London dan Warsawa berkobar akibat digempur bom. Ia berharap Amerika bernasib sama.
Ini yang di dicatat Speer dalam buku hariannya: "Hitler berharap New York berada di tengah lautan api, gedung pencakar langit berubah menjadi obor raksasa dan runtuh. Kota meledak, membara menerangi langit malam."(Ein/Yus)