Selain gunung api yang ditandai dengan bentuknya yang mengerucut, Bumi juga memiliki sejumlah gunung api raksasa (supervolkano) yang bisa menghasilkan letusan vulkanis dengan ejekta lebih besar dari 1.000 kilometer kubik.
Kini ada 20 supervulkano yang diketahui di muka Bumi -- termasuk Danau Toba di Indonesia, Danau Taupo di Selandia Baru, Kaldera Yellowatone di Amerika Serikat, dan yang ukurannya lebih kecil --Â Phlegraean Fields di Naples, Italia. Para 'raksasa tidur'.
(Foto: Danau Toba Indonesia)
Meski jumlahnya segelintir, letusan gunung monster itu bisa menyebabkan perubahan iklim yang drastis, yang dapat mengancam spesies di dunia. Termasuk manusia.
Supervolkano dan dampaknya yang luar biasa itu terus jadi obyek penelitian para ilmuwan. Baru-baru ini, para ahli menemukan bahwa gunung 'monster' seperti Yellowstone bisa meletus tanpa gempa bumi atau pemicu eksternal lainnya.
Volume tipis magma cairnya cukup untuk menyebabkan letusan super katastropik, yang menimbulkan malapetaka. Demikian ditunjukkan sebuah eksperimen European Synchrotron Radiation Facility (ESRF) di Grenoble. Studi yang dilakukan tim Swiss dari ETH Zurich itu dimuat di jurnal ilmiah Nature Geoscience.
Kepala penulis studi, Wim Malfait dari ETH Zurich mengatakan, belum banyak misteri yang terungkap dari supervolkano. "Kita mengetahui jam terus berdetak, namun sama sekali tak punya petunjuk seberapa cepat. Dan apa yang dibutuhkan untuk memicu letusan super," kata dia, seperti dikutip dari BBC, Minggu 5 Januari 2014.
"Dan kini kami tahu, tak butuh faktor luar -- sebuah supervulkano bisa meletus karena ukuran raksasanya itu sendiri," tambah Malfait. "Sekali punya cukup lelehan (magma), ia bisa mulai meletus. Hanya itu."
Erupsi raksasa jarang terjadi -- mungkin hanya sekali dalam 100 ribu tahun. Namun sekali terjadi, dampaknya bakal luar biasa pada ekologi dan iklim Bumi.
Saat supervulkano meletus 600 ribu tahun di Wyoming -- yang saat ini menjadi Taman Nasional Yellowstone, ia melontarkan 1.000 kilometer kubik abu dan lava ke atmosfer. Cukup untuk mengubur sebuah kota besar hingga kedalaman beberapa kilometer. Terhapus dari peta untuk selamanya.
Letusannya 100 kali lipat lebih dahsyat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1992, bahkan 'mengerdilkan' letusan bersejarah seperti Krakatau pada 1883.
"Itu adalah sesuatu yang bakal kita hadapi di masa depan," kata Dr Malfait.
"Anda bisa membandingkannya dengan tabrakan asteroid -- secara jangka waktu risikonya kecil, namun sekali terjadi, dampaknya katastropik."
Itu mengapa, kemampuan memprediksi bencana menjadi sangat penting. Namun, dalam kasus gunung raksasa, faktor pemicu tetap sulit dipahami, karena prosesnya berbeda dari gunung api biasa.
Salah satu mekanisme yang dipahami sejauh ini adalah tekanan berlebihan pada kamar magma yang dipicu perbedaan antara magma yang meleleh atau cair secara parsial dan batuan di sekitarnya yang lebih padat.
"Efeknya seperti memegang bola di bawah air. Saat dilepas, bola berisi udara dipaksa ke atas oleh air padat di sekitarnya," kata Wim Malfait, dari ETH Zurich.
Namun, apakah efek daya apung tersebut cukup, belum diketahui. Sebab, bisa jadi ada pemicu tambahan yang dibutuhkan-- seperti injeksi magma tiba-tiba, masuknya uap air, atau gempa.
Pertanda Penting
Untuk mensimulasi tekanan intensif dan panas di kaldera supervolcano, para ilmuan mendatangi ESRF di Grenoble, di mana mereka menggunakan stasiun eksperimental yang disebut high pressure beamline.
Mereka mengisikan magma sintetis ke dalam kapsul berlian dan menembakkan sinar-X berenergi tinggi ke dalamnya -- untuk menyelidiki perubahan saat campuran itu mencapai tekanan tinggi yang kritis.
"Jika kita mengukur perbedaan kepadatan dari padat menjadi magma cair, kita dapat menghitung tekanan yang dibutuhkan untuk memicu letusan spontan," kata Mohamed Mezouar, ilmuwan ESRF, seperti Liputan6.com kutip dari BBC News.
"Untuk menciptakan kembali kondisi di kerak Bumi bukan persoalan sepele, namun dengan perangkat yang tepat kita bisa menjaga tekanan magma cair stabil hingga 1.700 C dan 36.000 atmosfer."
Penelitian menunjukkan bahwa transisi dari padat ke magma cair menciptakan tekanan yang bisa memecahkan kerak bumi sejauh lebih dari 10 kilometer di atas kamar gunung berapi.
"Magma menembus ke celah-celahnya, dan pada akhirnya akan mencapai permukaan Bumi. Saat naik, ia akan mengembang tanpa kendali. Menyebabkan ledakan," kata Carmen Sanchez - Valle, juga dari ETH Zurich.
Namun, jika Yellowstone kebetulan berada di ambang letusan, kabar baiknya, manusia bisa melihat pertandanya.
"Tanah mungkin akan naik ratusan meter, jauh lebih banyak ketimbang sekarang," kata Dr Malfait kepada BBC News.
Saat ini, dia menambahkan, Yellowstone saat ini memiliki 10-30% lelehan magma parsial. Sementara, agar tekanan bisa memicu letusan, setidaknya magma cair harus mencapai 50 persen.
Dalam studi terpisah di jurnal yang sama, sebuah tim yang dipimpin oleh Luca Caricchi dari University of Geneva menggunakan model matematis untuk menjelaskan perbedaan antara supervolcano dan gunung api konvensional .
Salah satu temuannya, gunung api biasa yang kini 'hiperaktif', dengan berlalunya waktu, bisa menjadi gunung api super yang 'tidur'. (Ein/Yus)
Baca juga:
Temuan Anyar Supervolkano yang Bisa Picu Malapetaka di AS
Ditemukan! Gunung Super yang Pernah Meledak Dahsyat di Mars
Terlacak! Ledakan Dahsyat Misterius pada 1257 Berasal dari Lombok
Kini ada 20 supervulkano yang diketahui di muka Bumi -- termasuk Danau Toba di Indonesia, Danau Taupo di Selandia Baru, Kaldera Yellowatone di Amerika Serikat, dan yang ukurannya lebih kecil --Â Phlegraean Fields di Naples, Italia. Para 'raksasa tidur'.
(Foto: Danau Toba Indonesia)
Meski jumlahnya segelintir, letusan gunung monster itu bisa menyebabkan perubahan iklim yang drastis, yang dapat mengancam spesies di dunia. Termasuk manusia.
Supervolkano dan dampaknya yang luar biasa itu terus jadi obyek penelitian para ilmuwan. Baru-baru ini, para ahli menemukan bahwa gunung 'monster' seperti Yellowstone bisa meletus tanpa gempa bumi atau pemicu eksternal lainnya.
Volume tipis magma cairnya cukup untuk menyebabkan letusan super katastropik, yang menimbulkan malapetaka. Demikian ditunjukkan sebuah eksperimen European Synchrotron Radiation Facility (ESRF) di Grenoble. Studi yang dilakukan tim Swiss dari ETH Zurich itu dimuat di jurnal ilmiah Nature Geoscience.
Kepala penulis studi, Wim Malfait dari ETH Zurich mengatakan, belum banyak misteri yang terungkap dari supervolkano. "Kita mengetahui jam terus berdetak, namun sama sekali tak punya petunjuk seberapa cepat. Dan apa yang dibutuhkan untuk memicu letusan super," kata dia, seperti dikutip dari BBC, Minggu 5 Januari 2014.
"Dan kini kami tahu, tak butuh faktor luar -- sebuah supervulkano bisa meletus karena ukuran raksasanya itu sendiri," tambah Malfait. "Sekali punya cukup lelehan (magma), ia bisa mulai meletus. Hanya itu."
Erupsi raksasa jarang terjadi -- mungkin hanya sekali dalam 100 ribu tahun. Namun sekali terjadi, dampaknya bakal luar biasa pada ekologi dan iklim Bumi.
Saat supervulkano meletus 600 ribu tahun di Wyoming -- yang saat ini menjadi Taman Nasional Yellowstone, ia melontarkan 1.000 kilometer kubik abu dan lava ke atmosfer. Cukup untuk mengubur sebuah kota besar hingga kedalaman beberapa kilometer. Terhapus dari peta untuk selamanya.
Letusannya 100 kali lipat lebih dahsyat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1992, bahkan 'mengerdilkan' letusan bersejarah seperti Krakatau pada 1883.
"Itu adalah sesuatu yang bakal kita hadapi di masa depan," kata Dr Malfait.
"Anda bisa membandingkannya dengan tabrakan asteroid -- secara jangka waktu risikonya kecil, namun sekali terjadi, dampaknya katastropik."
Itu mengapa, kemampuan memprediksi bencana menjadi sangat penting. Namun, dalam kasus gunung raksasa, faktor pemicu tetap sulit dipahami, karena prosesnya berbeda dari gunung api biasa.
Salah satu mekanisme yang dipahami sejauh ini adalah tekanan berlebihan pada kamar magma yang dipicu perbedaan antara magma yang meleleh atau cair secara parsial dan batuan di sekitarnya yang lebih padat.
"Efeknya seperti memegang bola di bawah air. Saat dilepas, bola berisi udara dipaksa ke atas oleh air padat di sekitarnya," kata Wim Malfait, dari ETH Zurich.
Namun, apakah efek daya apung tersebut cukup, belum diketahui. Sebab, bisa jadi ada pemicu tambahan yang dibutuhkan-- seperti injeksi magma tiba-tiba, masuknya uap air, atau gempa.
Pertanda Penting
Untuk mensimulasi tekanan intensif dan panas di kaldera supervolcano, para ilmuan mendatangi ESRF di Grenoble, di mana mereka menggunakan stasiun eksperimental yang disebut high pressure beamline.
Mereka mengisikan magma sintetis ke dalam kapsul berlian dan menembakkan sinar-X berenergi tinggi ke dalamnya -- untuk menyelidiki perubahan saat campuran itu mencapai tekanan tinggi yang kritis.
"Jika kita mengukur perbedaan kepadatan dari padat menjadi magma cair, kita dapat menghitung tekanan yang dibutuhkan untuk memicu letusan spontan," kata Mohamed Mezouar, ilmuwan ESRF, seperti Liputan6.com kutip dari BBC News.
"Untuk menciptakan kembali kondisi di kerak Bumi bukan persoalan sepele, namun dengan perangkat yang tepat kita bisa menjaga tekanan magma cair stabil hingga 1.700 C dan 36.000 atmosfer."
Penelitian menunjukkan bahwa transisi dari padat ke magma cair menciptakan tekanan yang bisa memecahkan kerak bumi sejauh lebih dari 10 kilometer di atas kamar gunung berapi.
"Magma menembus ke celah-celahnya, dan pada akhirnya akan mencapai permukaan Bumi. Saat naik, ia akan mengembang tanpa kendali. Menyebabkan ledakan," kata Carmen Sanchez - Valle, juga dari ETH Zurich.
Namun, jika Yellowstone kebetulan berada di ambang letusan, kabar baiknya, manusia bisa melihat pertandanya.
"Tanah mungkin akan naik ratusan meter, jauh lebih banyak ketimbang sekarang," kata Dr Malfait kepada BBC News.
Saat ini, dia menambahkan, Yellowstone saat ini memiliki 10-30% lelehan magma parsial. Sementara, agar tekanan bisa memicu letusan, setidaknya magma cair harus mencapai 50 persen.
Dalam studi terpisah di jurnal yang sama, sebuah tim yang dipimpin oleh Luca Caricchi dari University of Geneva menggunakan model matematis untuk menjelaskan perbedaan antara supervolcano dan gunung api konvensional .
Salah satu temuannya, gunung api biasa yang kini 'hiperaktif', dengan berlalunya waktu, bisa menjadi gunung api super yang 'tidur'. (Ein/Yus)
Baca juga:
Temuan Anyar Supervolkano yang Bisa Picu Malapetaka di AS
Ditemukan! Gunung Super yang Pernah Meledak Dahsyat di Mars
Terlacak! Ledakan Dahsyat Misterius pada 1257 Berasal dari Lombok