Sukses

Akhir Hidup `Prajurit Jepang Terakhir yang Menolak Menyerah`

Saat Jepang menyerah pada 1945, Hiroo Onoda tak percaya perang telah berakhir. Ia hidup di pedalaman hutan Filipina selama 30 tahun.

Hiroo Onoda meninggal dunia akibat gagal jantung pada Kamis 16 Januari 2014 di Tokyo. Pada usia 91 tahun. Sejarah Jepang akan mencatat namanya sebagai 'tentara terakhir yang menolak untuk menyerah'.

Saat Jepang kalah di penghujung Perang Dunia II, Onoda menolak untuk menyerah. Ia juga tak mau mengikuti langkah serdadu lain: hidup menanggung malu atau melakukan hal ekstrem, bunuh diri alias harakiri.

Onoda tetap memilih tinggal di pedalaman hutan di Pulau Lubang, dekat Luzon, Filipina selama 29 tahun, hingga 1974. Ia tak percaya perang sudah berakhir.

Kala itu, saat Perang Dunia II hampir usai, prajurit Onoda tersudut di Pulau Lubang oleh pasukan Amerika Serikat yang merangsek ke utara.

Prajurit muda itu terdesak. Tapi ia diperintahkan untuk tidak menyerah. Perintah yang ia patuhi selama 3 dekade.

"Setiap prajurit Jepang bersiap untuk mati. Namun, sebagai seorang perwira intelijen, aku diperintahkan untuk meneruskan perang gerilya. Dan tak boleh mati," kata Onoda dalam wawancara dengan ABC tahun 2010 silam, seperti dimuat BBC, Jumat 17 Januari 2014.

"Aku adalah perwira dan tugasku adalah menjalankan perintah. Jika aku tak melakukannya aku akan merasa malu. Aku orang yang kompetitif."

Di Lubang, Onoda tidak bersembunyi. Ia terus melakukan survei fasilitas militer dan terlibat dalam bentrokan sporadis. Saat itu, dia keliru membunuh 30 warga yang ia kira tentara musuh.



Dunia telah mengetahui keberadaannya sejak tahun 1950 ketika salah satu rekannya sesama tentara, muncul dari dalam hutan dan akhirnya kembali ke Jepang. Teman Onoda terakhir tewas dalam baku tembak dengan tentara Filipina pada tahun 1972 .

Perintah untuk menyerah berkali-kali ia tampik. Onoda mengira informasi soal Jepang kalah perang, termasuk dari selebaran yang disebar pemerintah Negeri Sakura, sebagai tipuan.

"Ada banyak kesalahan (penulisan) dalam selebaran yang mereka jatuhkan. Jadi kupikir itu plot Amerika," kata dia.

Pengasingannya berakhir saat komandannya yang sudah sepuh jauh-jauh terbang dari Jepang khusus untuk menemuinya pada Maret 1974. Sang komandan membatalkan perintah yang ia berikan sendiri pada Onoda -- yang kala itu menyambutnya dengan tangisan hebat.

Onoda lalu menghormat ke bendera Jepang, bersiap menyerahkan samurainya, dengan mengenakan baju tentara lawasnya yang sudah lusuh.

Pada 11 Maret 1974, Onoda secara resmi menyerahkan pedang samurainya pada Presiden Ferdinand Marcos di Istana Malacanang, Manila.



Pemerintah Filipina memberinya pengampunan. Meski, sejumlah warga Pulau Lubang tak pernah memaafkannya atas nyawa 30 orang yang ia bunuh selama pertempuran di sana.

Onoda akhirnya bisa pulang ke Tanah Airnya. Ia disambut sebagai pahlawan. Namun, tak lama kemudian ia pindah ke Brasil, menjalankan ranch atau peternakan di Brasil. Ia belakangan juga membuka sejumlah pelatihan bertahan hidup di Jepang.

Juru bicara Pemerintah Jepang, Yoshihide Suga, memuji semangat Onoda untuk bertahan hidup.

Selain Onoda, ada juga prajurit Teruo Nakamura, pria Taiwan yang menjadi serdadu Jepang. Ia ditemukan sedang bertanam sendirian di Pulau Morotao di Indonesia pada 1974. Ia kemudian direpatriasi ke Taiwan -- di mana ia akhirnya meninggal pada 1979.

Soal tentara Jepang di Indonesia. Ada sosok eks tentara Jepang yang tak boleh dilupakan.

Nama aslinya Sakari Ono. Pada tahun 1942, Ono masuk ke Indonesia dan berdinas di markas besar di Bandung pada tahun 1943. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Rahmat Sakari Ono memutuskan lari ke pasukan Indonesia dan dia pindah tugas ke divisi Jawa Timur.

Pada tahun 1948 Sakari Ono menjadi Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) dan mengganti namanya dengan Rahmat Shigeru Ono. (Ein/Ali)

Baca juga:

Terkuak, Misteri Tulang Belulang di `Danau Tengkorak` India
Kontroversial! Politisi Jepang Dukung Perbudakan Seks PD II
Hilang 40 Tahun, Bapak-Anak Ditemukan di Hutan Belantara