Awal Januari 2014 lalu, musim dingin ekstrem melanda Amerika Serikat. 'Polar vortex' atau pusaran kutub membuat suhu udara mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Bahkan mencapai minus 37 derajat Celsius di Embarrass, kota kecil di Minnesota -- yang bisa mendingin hingga 43 derajat Celsius, jika angin dingin berhembus.
Namun, musim dingin yang menimpa Bumi akhir-akhir ini tak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi 1.500 tahun lalu. Saat itu dunia nyaris 'jungkir balik' dilanda musim beku yang digambarkan sejumlah saksi mata 'tak pernah berakhir'.
Kejadian musim dingin 1 dekade tersebut awalnya dicatat para sarjana di Eropa dan Asia. Mereka menyebut pada 536 Masehi dan bertahun-tahun setelahnya, dunia beku. Saat itu gelap, mirip kondisi saat gerhana. Matahari terlihat 'kecil', es melapisi permukaan setiap tanaman bahkan saat musim panas.
Tahun tersebut, lalu berlanjut ke dekade selanjutnya, adalah saat kelaparan besar melanda, disertai wabah, dan perang -- yang diduga berkaitan dengan gagalnya panen yang membuat orang-orang kelaparan, marah, dan mengembara serta berebut mencari tanah yang lebih subur.
Kini, para ilmuwan menemukan bukti ilmiah bahwa mulai tahun itu memang telah terjadi dekade musim dingin tak berkesudahan.
Seperti dimuat situs sains New Scientist, selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah mempelajari cincin pohon dan inti es, untuk mencari tahu apakah perubahan ekstrem tersebut disebabkan oleh supervulkano alias gunung raksasa -- yang diketahui punya kemampuan untuk mendinginkan iklim bumi secara drastis.
Beberapa bukti mengarahkan pada erupsi super di El Salvador yang menjelaskan mengapa permukim Maya di dekatnya, secara misterius berhenti memproduksi catatan tertulis selama beberapa tahun. Namun, itu tak menjelaskan mengapa Bumi terus dingin selama bertahun-tahun. Sebab, biasanya, supervulkano hanya memengaruhi cuaca paling lama setahun.
Tersangka Baru: Komet
Kini seorang geolog, Dallas Abbott mengajukan teori baru. 'Tersangka utamanya' adalah Komet Halley.
Ia mengatakan, Halley mungkin pecah dalam perjalanannya melewati matahari, dan melepaskan potongan terbesarnya ke Bumi. Peristiwa itu, dikombinasikan dengan ekornya --yang tak biasa-- makin tebal, bisa jadi mengakibatkan gangguan cuaca ekstrem.
Dallas Abbott, ahli geologi dari Columbia University di Palisades, New York beserta timnya meneliti inti es dari Greenland dan menemukan lingkaran logam yang berasal dari masa sekitar 536 Masehi. Mereka juga menemukan konsentrasi tinggi nikel dan timah.
Seperti diketahui, kandungan nikel melimpah di puing benda luar angkasa, sementara temuan timah mengarah pada komet.
Temuan Abbott menegaskan pada hipotesis komet. Yang merujuk ke Halley. "Kita tahu bahwa Komet Halley melintasi Bumi pada tahun 530," kata dia. "Dan catatan China menunjukkan, ia sangat terang," kata dia, seperti dimuat situs io9, Selasa (21/1/2014).
Setiap tahun, Bumi mengalami 2 hujan meteor yang dihasilkan oleh fragmen berdebu komet Halley. Sepanjang tahun 530-an sampai 540 Masehi, hujan meteor ini mungkin luar biasa deras, dan terus membombardir atmosfer bumi dengan debu yang menutupi masuknya cahaya Matahari.
Ada petunjuk mengejutkan lainnya dalam es. Inti dari sekitar awal 536 berisi sisa-sisa beku mikroorganisme yang biasanya ditemukan di laut tropis yang dangkal. Sementara, sampel dari tahun 538 juga mengandung fosil lebih banyak mikroorganisme laut kuno.
Bagaimana mikroorganisme laut bisa berakhir di lapisan es Greenland?
Abbott dan timnya menduga, Komet Halley mungkin telah menumpahkan beberapa fragmen besar ke Bumi -- khususnya selama perjalanan melalui tata surya bagian dalam. Kemudian, fragmen tersebut menabrak lautan, menimbulkan ombak raksasa yang memercikkan air laut yang mengandung mikroba dan fosil batuan di dalamnya, ke atmosfer.
Tim Abbot bahkan menemukan salah satu lokasi di mana salah satu dari tabrakan tersebut terjadi. Yakni di Teluk Carpentaria Australia -- yang terjadi di milenium pertama Masehi.
Ini adalah teori yang menarik, meski masih membutuhkan lebih banyak bukti meyakinkan. Namun, hal tersebut layak dieksplorasi. Apalagi, bukan tak mungkin, kejadian serupa terjadi pada masa depan.
Nestapa Letusan Tambora
Sementara, gambaran musim dingin akibat letusan supervulkano bisa ditelaah dari apa yang terjadi pasca-erupsi Gunung Tambora -- yang terjadi pada 11 dan 12 April 1815.
Gunung besar itu meletus, getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil, memuntahkan lava dan batuan gunung.
Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Akibatnya sungguh dahsyat, tak hanya kehancuran dan kematian massal yang terjadi wilayah Hindia Belanda, efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara.
Sebuah koran lokal di Amerika Serikat, The Saratogian, 15 Agustus 2010 memuat cerita sejarawan, Maurice Morley tentang nestapa yang disebabkan meletusnya Gunung Tambora.
Menurut Morley, kala itu terjadi 'The Year Without Summer' atau 'tahun tanpa musim panas', ketika suhu sangat dingin, manusia dan hewan membeku, panen gagal, dan orang-orang ketakutan mengira saat itu akhir dunia akan segera tiba.
Menurut sebuah artikel surat kabar lama, tumpukan salju hampir setinggi satu kaki turun di Ballston Spa, AS selama. Penduduk membundel tubuhnya dari kepala sampai kaki.
Meski demikian, ada saja yang tewas membeku. Beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena yakin Matahari sedang membeku dan Bumi akan segera hancur.
Meski suhu sempat menghangat di bulan September, rasa takut tetap mendera, bahkan di hati orang beriman sekalipun.
Seorang pria tua, James Gooding, teramat sangat putus harapan. Dia membunuh semua sapinya, lalu menggantungkan diri. Dia bahkan menganjurkan hal yang sama pada istrinya. Alasannya, menghindari kematian karena dingin dan kelaparan, yang ia yakini tak terelakkan. (Ein/Sss)
Baca juga:
Temuan Anyar Supervulkano yang Bisa Picu Malapetaka di AS
NASA Abadikan Foto Gunung Sinabung Saat `Tidur` 400 Tahun
Letusan Gunung Api Raksasa Musnahkan Setengah Spesies Bumi
Namun, musim dingin yang menimpa Bumi akhir-akhir ini tak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi 1.500 tahun lalu. Saat itu dunia nyaris 'jungkir balik' dilanda musim beku yang digambarkan sejumlah saksi mata 'tak pernah berakhir'.
Kejadian musim dingin 1 dekade tersebut awalnya dicatat para sarjana di Eropa dan Asia. Mereka menyebut pada 536 Masehi dan bertahun-tahun setelahnya, dunia beku. Saat itu gelap, mirip kondisi saat gerhana. Matahari terlihat 'kecil', es melapisi permukaan setiap tanaman bahkan saat musim panas.
Tahun tersebut, lalu berlanjut ke dekade selanjutnya, adalah saat kelaparan besar melanda, disertai wabah, dan perang -- yang diduga berkaitan dengan gagalnya panen yang membuat orang-orang kelaparan, marah, dan mengembara serta berebut mencari tanah yang lebih subur.
Kini, para ilmuwan menemukan bukti ilmiah bahwa mulai tahun itu memang telah terjadi dekade musim dingin tak berkesudahan.
Seperti dimuat situs sains New Scientist, selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah mempelajari cincin pohon dan inti es, untuk mencari tahu apakah perubahan ekstrem tersebut disebabkan oleh supervulkano alias gunung raksasa -- yang diketahui punya kemampuan untuk mendinginkan iklim bumi secara drastis.
Beberapa bukti mengarahkan pada erupsi super di El Salvador yang menjelaskan mengapa permukim Maya di dekatnya, secara misterius berhenti memproduksi catatan tertulis selama beberapa tahun. Namun, itu tak menjelaskan mengapa Bumi terus dingin selama bertahun-tahun. Sebab, biasanya, supervulkano hanya memengaruhi cuaca paling lama setahun.
Tersangka Baru: Komet
Kini seorang geolog, Dallas Abbott mengajukan teori baru. 'Tersangka utamanya' adalah Komet Halley.
Ia mengatakan, Halley mungkin pecah dalam perjalanannya melewati matahari, dan melepaskan potongan terbesarnya ke Bumi. Peristiwa itu, dikombinasikan dengan ekornya --yang tak biasa-- makin tebal, bisa jadi mengakibatkan gangguan cuaca ekstrem.
Dallas Abbott, ahli geologi dari Columbia University di Palisades, New York beserta timnya meneliti inti es dari Greenland dan menemukan lingkaran logam yang berasal dari masa sekitar 536 Masehi. Mereka juga menemukan konsentrasi tinggi nikel dan timah.
Seperti diketahui, kandungan nikel melimpah di puing benda luar angkasa, sementara temuan timah mengarah pada komet.
Temuan Abbott menegaskan pada hipotesis komet. Yang merujuk ke Halley. "Kita tahu bahwa Komet Halley melintasi Bumi pada tahun 530," kata dia. "Dan catatan China menunjukkan, ia sangat terang," kata dia, seperti dimuat situs io9, Selasa (21/1/2014).
Setiap tahun, Bumi mengalami 2 hujan meteor yang dihasilkan oleh fragmen berdebu komet Halley. Sepanjang tahun 530-an sampai 540 Masehi, hujan meteor ini mungkin luar biasa deras, dan terus membombardir atmosfer bumi dengan debu yang menutupi masuknya cahaya Matahari.
Ada petunjuk mengejutkan lainnya dalam es. Inti dari sekitar awal 536 berisi sisa-sisa beku mikroorganisme yang biasanya ditemukan di laut tropis yang dangkal. Sementara, sampel dari tahun 538 juga mengandung fosil lebih banyak mikroorganisme laut kuno.
Bagaimana mikroorganisme laut bisa berakhir di lapisan es Greenland?
Abbott dan timnya menduga, Komet Halley mungkin telah menumpahkan beberapa fragmen besar ke Bumi -- khususnya selama perjalanan melalui tata surya bagian dalam. Kemudian, fragmen tersebut menabrak lautan, menimbulkan ombak raksasa yang memercikkan air laut yang mengandung mikroba dan fosil batuan di dalamnya, ke atmosfer.
Tim Abbot bahkan menemukan salah satu lokasi di mana salah satu dari tabrakan tersebut terjadi. Yakni di Teluk Carpentaria Australia -- yang terjadi di milenium pertama Masehi.
Ini adalah teori yang menarik, meski masih membutuhkan lebih banyak bukti meyakinkan. Namun, hal tersebut layak dieksplorasi. Apalagi, bukan tak mungkin, kejadian serupa terjadi pada masa depan.
Nestapa Letusan Tambora
Sementara, gambaran musim dingin akibat letusan supervulkano bisa ditelaah dari apa yang terjadi pasca-erupsi Gunung Tambora -- yang terjadi pada 11 dan 12 April 1815.
Gunung besar itu meletus, getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil, memuntahkan lava dan batuan gunung.
Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Akibatnya sungguh dahsyat, tak hanya kehancuran dan kematian massal yang terjadi wilayah Hindia Belanda, efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara.
Sebuah koran lokal di Amerika Serikat, The Saratogian, 15 Agustus 2010 memuat cerita sejarawan, Maurice Morley tentang nestapa yang disebabkan meletusnya Gunung Tambora.
Menurut Morley, kala itu terjadi 'The Year Without Summer' atau 'tahun tanpa musim panas', ketika suhu sangat dingin, manusia dan hewan membeku, panen gagal, dan orang-orang ketakutan mengira saat itu akhir dunia akan segera tiba.
Menurut sebuah artikel surat kabar lama, tumpukan salju hampir setinggi satu kaki turun di Ballston Spa, AS selama. Penduduk membundel tubuhnya dari kepala sampai kaki.
Meski demikian, ada saja yang tewas membeku. Beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena yakin Matahari sedang membeku dan Bumi akan segera hancur.
Meski suhu sempat menghangat di bulan September, rasa takut tetap mendera, bahkan di hati orang beriman sekalipun.
Seorang pria tua, James Gooding, teramat sangat putus harapan. Dia membunuh semua sapinya, lalu menggantungkan diri. Dia bahkan menganjurkan hal yang sama pada istrinya. Alasannya, menghindari kematian karena dingin dan kelaparan, yang ia yakini tak terelakkan. (Ein/Sss)
Baca juga:
Temuan Anyar Supervulkano yang Bisa Picu Malapetaka di AS
NASA Abadikan Foto Gunung Sinabung Saat `Tidur` 400 Tahun
Letusan Gunung Api Raksasa Musnahkan Setengah Spesies Bumi