Upaya banding sebuah maskapai penerbangan Inggris ke pengadilan justru berujung hukuman lebih besar. EasyJet -- nama maskapai tersebut -- didenda sepuluh kali lebih besar dibanding putusan pengadilan tingkat pertama.
Sebuah pengadilan tinggi di Prancis, melipatgandakan denda yang harus dibayar EasyJet menjadi 50 ribu euro atau setara dengan Rp 821 juta pada Selasa 12 Februari lalu. Masih untung, hakim banding menolak permintaan jaksa penuntut untuk meningkatkan denda menjadi 70 ribu euro (Rp 1,1 miliar).
EasyJet diperkarakan atas tuduhan memaksa penumpang perempuan, yang disable dan harus bergantung pada kursi roda, keluar dari pesawat.
Pihak maskapai mengajukan putusan pengadilan tingkat pertama pada Mei 2012 lalu, yang menyatakan pihak tergugat melanggar hak penumpang berkursi roda, atas nama Marie-Patricia Hoarau dengan memintanya untuk tidak ikut dalam penerbangan. Kala itu pengadilan menjatuhkan denda 5.000 euro.
Pihak EasyJet bersikeras, adalah hak mereka untuk menghapus nama Marie dalam penerbangan rute Paris-Nice karena bepergian tanpa ditemani.
Kala itu, awak kabin mengatakan pada Marie-Patricia Hoarau (39) bahwa ia tak bisa bepergian sendirian karena tak mampu menuju pintu darurat tanpa bantuan, kalau-kalau terjadi insiden.
Seperti yang dimuat News.com.au, Kamis (13/2/2014), padahal, saat di bandara, Marie diizinkan untuk naik ke pesawat sendirian. Dia pun akhirnya diperintahkan untuk turun dari pesawat, meski saat itu ada seorang pilot yang menawarkan untuk menjadi pendampingnya selama penerbangan.
Alasan lain pengadilan tinggi menaikkan jumlah denda yakni karena Marie-Patricia Hoarau, yang lumpuh karena kecelakaan bersepeda 20 tahun lalu itu, mengaku tidak memiliki masalah saat melakukan perjalanan sendirian pada penerbangan sebelumnya dari Nice ke Paris.
Pengadilan banding juga memenangkan gugatan simbolis sebesar 1 euro kepada asosiasi disable Orancis, APF.
Pengacara EasyJet Philippe Van Der Meulen mengecam putusan itu sebagai hasil dari pertimbangan emosional.
Sementara, Marie mengatakan, EasyJet membuatnya merasa seperti 'gelandangan' ketika mereka memaksanya turun dari pesawat. Hingga kini, dia masih menunggu permintaan maaf resmi dari pihak maskapi atas insiden 4 tahun lalu itu
"Diperintahkan turun seperti itu di depan penumpang lainnya seperti sebuah tamparan di wajah. Aku merasa dipermalukan dan seperti sampah masyarakat yang tidak memiliki tempat di mana pun," kata Marie.
Padahal, menjadi disable atau cacat, serta bergantung pada kursi roda bukan pilihannya. Bukan pilihan siapapun. (Ris/Ein)
Sebuah pengadilan tinggi di Prancis, melipatgandakan denda yang harus dibayar EasyJet menjadi 50 ribu euro atau setara dengan Rp 821 juta pada Selasa 12 Februari lalu. Masih untung, hakim banding menolak permintaan jaksa penuntut untuk meningkatkan denda menjadi 70 ribu euro (Rp 1,1 miliar).
EasyJet diperkarakan atas tuduhan memaksa penumpang perempuan, yang disable dan harus bergantung pada kursi roda, keluar dari pesawat.
Pihak maskapai mengajukan putusan pengadilan tingkat pertama pada Mei 2012 lalu, yang menyatakan pihak tergugat melanggar hak penumpang berkursi roda, atas nama Marie-Patricia Hoarau dengan memintanya untuk tidak ikut dalam penerbangan. Kala itu pengadilan menjatuhkan denda 5.000 euro.
Pihak EasyJet bersikeras, adalah hak mereka untuk menghapus nama Marie dalam penerbangan rute Paris-Nice karena bepergian tanpa ditemani.
Kala itu, awak kabin mengatakan pada Marie-Patricia Hoarau (39) bahwa ia tak bisa bepergian sendirian karena tak mampu menuju pintu darurat tanpa bantuan, kalau-kalau terjadi insiden.
Seperti yang dimuat News.com.au, Kamis (13/2/2014), padahal, saat di bandara, Marie diizinkan untuk naik ke pesawat sendirian. Dia pun akhirnya diperintahkan untuk turun dari pesawat, meski saat itu ada seorang pilot yang menawarkan untuk menjadi pendampingnya selama penerbangan.
Alasan lain pengadilan tinggi menaikkan jumlah denda yakni karena Marie-Patricia Hoarau, yang lumpuh karena kecelakaan bersepeda 20 tahun lalu itu, mengaku tidak memiliki masalah saat melakukan perjalanan sendirian pada penerbangan sebelumnya dari Nice ke Paris.
Pengadilan banding juga memenangkan gugatan simbolis sebesar 1 euro kepada asosiasi disable Orancis, APF.
Pengacara EasyJet Philippe Van Der Meulen mengecam putusan itu sebagai hasil dari pertimbangan emosional.
Sementara, Marie mengatakan, EasyJet membuatnya merasa seperti 'gelandangan' ketika mereka memaksanya turun dari pesawat. Hingga kini, dia masih menunggu permintaan maaf resmi dari pihak maskapi atas insiden 4 tahun lalu itu
"Diperintahkan turun seperti itu di depan penumpang lainnya seperti sebuah tamparan di wajah. Aku merasa dipermalukan dan seperti sampah masyarakat yang tidak memiliki tempat di mana pun," kata Marie.
Padahal, menjadi disable atau cacat, serta bergantung pada kursi roda bukan pilihannya. Bukan pilihan siapapun. (Ris/Ein)