Sukses

Sidang UNEP Memberikan Keuntungan-Tantangan bagi Indonesia

Keputusan sidang di antaranya menyangkut restrukturisasi wilayah yang terkena Tsunami. Juga soal penerapan Bali Strategic Plan yang difokuskan pada transfer teknologi untuk negara-negara berkembang.

Liputan6.com, Nairobi: United Nation Environment Programme (UNEP) baru saja melangsungkan sidang ke-23 di Nairobi, Kenya, baru-baru ini. Sidang difokuskan pada penerapan kesepakatan internasional tentang lingkungan hidup dan juga isu-isu internasional, seperti isu jender. Bagi Indonesia, beberapa keputusan sidang, selain menguntungkan juga menjadi tantangan di bidang lingkungan.

Salah satu keputusan sidang itu antara lain menyangkut restrukturisasi wilayah yang terkena bencana Tsunami. UNEP merekomendasikan 12 poin penting untuk pembangunan pasca-Tsunami, seperti program sistem peringatan dini terjadinya bencana alam dan penghutanan kembali wilayah pantai. Selain itu, UNEP juga akan memberikan bantuan sebesar US$ 1 juta untuk setiap negara yang terkena Tsunami [baca: Pasca-Tsunami Limbah Nuklir Diyakini Meracuni Warga Somalia].

Keputusan penting dari sidang ke-23 UNEP adalah kesepakatan pengurangan dampak logam berat dalam dua tahun mendatang. Pengurangan dampak logam berat terutama merkuri akan difokuskan pada pengkajian pengelolaan limbah merkuri.

Selain itu juga disepakati penerapan Bali Strategic Plan yang telah diputuskan di Bali, awal Desember 2004. Bali Strategic Plan difokuskan pada peningkatan kapasitas dan transfer teknologi untuk negara-negara berkembang. Penerapan Bali Strategic Plan menguntungkan negara berkembang. Pasalnya negara maju berkewajiban membantu negara berkembang dalam bidang teknologi.

Secara garis besar sidang membuahkan berbagai keputusan yang banyak berpihak kepada negara berkembang. Namun keputusan ini masih bersifat dalam kerangka strategis dan belum menyentuh hal-hal yang bersifat implementasi.

Di sela-sela sidang, delegasi Indonesia melakukan pertemuan dengan sejumlah delegasi negara lain. Dalam pertemuan delegasi Indonesia dengan pihak Republik Rakyat Cina, Wakil Perdana Menteri Zeng Peiyan menegaskan kesediaannya membantu pembangunan kembali Nanggroe Aceh Darussalam pasca-Tsunami.

Delegasi Indonesia juga bertemu dengan pihak Amerika Serikat yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup John Turner. Pada kesempatan itu, Turner menegaskan pihaknya akan memberikan bantuan untuk pembangunan program Early Warning System atau sistem peringatan dini untuk bencana alam. Sistem itu dibuat untuk mengurangi dampak bencana alam yang dilakukan dengan memberikan peringatan terlebih dahulu kepada masyarakat akan datangnya sebuah bencana alam, seperti Tsunami.

Pertemuan penting lainnya di luar sidang yaitu penandatanganan kerja sama pembelian sertifikat reduksi emisi secara bilateral. Hal ini sebagai tindak lanjut kerja sama Clean Development Mechanism atau mekanisme pembangunan bersih sebagai penerapan dari Protokol Kyoto. Untuk periode pertama Belanda sepakat membeli sertifikat reduksi emisi dari Indonesia sebanyak dua juta ton dengan nilai sekitar US$ 20 juta.

Patut diketahui, Protokol Kyoto hanya mewajibkan negara maju (negara Annex I) untuk mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca mereka. Sedangkan negara berkembang (non-Annex I, termasuk Indonesia), tidak diwajibkan. Meski begitu, Indonesia sudah menyetujui ratifikasi. Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya [baca: Majelis Rendah Rusia Meratifikasi Protokol Kyoto].

Pertama, Implementasi Bersama atau Joint Implementation antarnegara-negara Annex I. Kedua, Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih. Pada fase ini, negara Annex I berinvestasi di negara non-Annex I untuk proyek-proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang Tersertifikasi. Terakhir, Perdagangan Emisi di mana negara maju menjual gas rumah kaca yang tak diemisikan ke negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajiban.(DEN/Teguh Dwihartono)