Sukses

Mungkinkah Virus Baru Ada Kaitannya dengan Virus 1918?

Penelitian pandemi flu 1918 atau lebih dikenal dengan flu Spanyol sepertinya mulai menemui titik terang

Liputan6.com, Jakarta Penelitian terhadap wabah yang paling terkenal dan mematikan, pandemi flu 1918 atau lebih dikenal dengan flu Spanyol sepertinya mulai menemukan titik terang. 

Mengutip laman Medical News Today, Rabu (30/4/2014) dalam studi terbaru, penelitian yang dipimpin oleh University of Arizona (UA) menemukan bahwa virus 1918 berasal dari H1 virus manusia yang selama ini beredar diantara manusia sejak 1900.

Untuk memahami ini, peneliti mengaku mengembangkan teknik dengan menganalisa tingkat mutasi di bagian tertentu dari DNA. Seorang profesor dari Departemen Ekologi dan Evolusi Biologi, UA College of Science's di National Academy of Sciences, Michael Worobey mengungkapkan, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan strategi dalam vaksinasi dan pencegahan pandemi.

"Jika model kita benar, maka intervensi medis saat ini terutama pada antibiotik dan vaksin bisa digunkan terhadap beberapa bakteri penyebab pneumonia. Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi angka kematian," ujarnya.

Menurut peneliti, beberapa strain virus memang menawarkan beberapa perlindungan terhadap strain baru. Artinya, virus baru dapat membentuk kekebalan tubuh yang bereaksi terhadap protein virus sehingga membentuk antibodi yang serupa dengan virus yang menginfeksi tubuh. Tapi lebih jauh strain baru secara genetik kurang efektif membentuk antibodi dan kemungkinan besar, infeksi akan memegang peranan.

Prof Worobey mencatat, ketidaksesuaian antara antibodi dilatih untuk protein virus H3 dan protein H1 dari virus 1918. Inilah yang mengakibatkan kematian tinggi pada kelompok usia 20-an selama pandemi. Dia mengatakan, temuan mereka juga dapat membantu menjelaskan perbedaan dalam pola kematian antara flu musiman dan H5N1 yang mematikan dan H7N9 flu burung virus.

Para penulis menyarankan mungkin strategi imunisasi adalah hal yang tepat. Karena anak usia dini yang diimunisasi memberikan dampak yang cukup besar dalam mengurangi kematian dari strain flu musiman atau virus baru.

Sebelumnya, pada Februari 2014, Prof Worobey dan rekan menantang kebijaksanaan konvensional tentang wabah flu. Ketika itu, ia menentang pandangan bahwa burung liar merupakan reservoir utama virus flu burung. Alih-alih dari burung liar ke unggas domestik, mereka mengatakan skenario yang paling mungkin justru sebaliknya- bahwa strain baru melompat dari dalam negeri ke burung liar.

Pandemi flu 1918

Pusat Pengendalian dam Pencegahan Penyakit  (CDC) mencatat, pandemik flu menjadi bencana global pada 1918 - 1919. Virus ini mulai menyebar di Amerika Serikat, Afrika Barat dan Perancis, lalu menyebar hampir ke seluruh dunia saat Perang Dunia I termasuk Eropa, Asia, Afrika, Brazil dan Pasifik Selatan (Taubenberger). Di India, angka kematian sangat tinggi, yaitu sekitar 50 kematian akibat influenza per 1.000 orang (Brown).

Beberapa sekutu berpikir epidemi ini merupakan alat perang biologis dari Jerman. Namun banyak ahli menganggap itu adalah akibat dari penggunaan alat atau mesin perang. Peneliti juga percaya, penyakit ini disebabkan oleh virus Influenza A subtipe H1N1 yang membuat penderitanya mengalami demam disertai sakit kepala dan sakit pada tulang sendi. 

Dalam dua tahun bencana ini melanda bumi, seperlima dari penduduk dunia terinfeksi. Virus 1918 kala itu menjadi penyakit paling mematikan bagi orang-orang berusia 20 sampai 40 tahun. 

Efek dari epidemi influenza 1918 begitu parah sehingga rentang hidup sangat rendah selama 10 tahun. Dan pandemi mulai memengaruhi semua orang. Bahkan Presiden Amerika saat itu, Woodrow Wilson menderita flu berinisiatif untuk melakukan perjanjian penting dari Versailles untuk mengakhiri Perang Dunia.

Departemen kesehatan di tiap negara mulai mendistribusikan masker kain kasa untuk dikenakan di depan umum. Tapi toko tidak bisa menahan permintaan penjualan, pemakaman penuh dan untuk masuk ke beberapa kota atau negara harus memperlihatkan sertifikat khusus. Mereka yang mengabaikan tata flu harus membayar denda.

 

Untungnya, Juni 2010, sekelompok peneliti dari Mount Sinai School of Medicine, Amerika Serikat melaporkan bahwa vaksin yang diberikan untuk meredakan pandemik flu tahun 2009 mampu menyediakan perlindungan terhadap virus flu 1918.