Liputan6.com, Jakarta Anak putus sekolah dan memilih bekerja di Kabupaten Cirebon, Jabar, karena mahalnya biaya pedidikan meski dana bantuan operasional sekolah cukup tinggi.
Anwar, salah seorang pengusaha rotan di Cirebon, kepada wartawan, seperti dikutip dari Antara Jumat (2/5/2014) mengatakan, sebanyak 1300 buruh harian di pabriknya rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, mereka memilih bekerja karena tidak ada biaya akibat mahalnya biaya sekolah.
Anak-anak usia mulai dari 15 tahun hingga 17 tahun, kata dia, terpaksa menjadi buruh anyam karena berpendidikan rendah, alasan mereka tidak mampu melanjutkan sekolah karena mahalnya biaya.
Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, mereka belajar ngayam dan kerja buruh lainnya untuk membantu biaya keluarga, semestinya melanjutkannya ke Sekolah Menengah Umum.
Wartanto pengusaha makanan ringan mengaku, ratusan buruh harian di pabriknya hanya enam orang lulus Sekolah Menengah Umum, sisanya mereka hanya keluar SD dan SMP.
Mereka tidak bisa melanjutkan sekolah, kata dia, terpaksa memilih bekerja sebagai buruh harian lepas tanpa ikatan kerja, karena bekerja di perusahaan resmi hanya berijazah.
Sementara itu Sukron salah seorang buruh harian lepas mengaku, sudah tiga tahun menjadi buruh harian lepas di pabrik rotan, penghasilan tidak menentu karena bukan karyawan tetap.
Ia mengaku hanya lulus SD, karena biaya sekolah di Kabupaten Cirebon mahal, sehingga keluarga berpenghasilan rendah sulit melanjutkan.
Ad, pegawai Dinas Pendidikan Kota Cirebon menuturkan, biaya pendidikan untuk Cirebon, sekitar Rp700 miliar per tahun untuk tingkat SMU terpaksa harus membayar iuran sekolah karena mengandalkan dana BOS tidak cukup.
Biaya Mahal, Anak-anak Sekolah Ini Pilih Jadi Buruh
Anak putus sekolah dan memilih bekerja di Kabupaten Cirebon, Jabar, karena mahalnya biaya pedidikan
Advertisement