Liputan6.com, Jakarta Hidup itu berharga dan bernilai, maka harus dijaga, dipelihara dan dibela. Sejak awal kehidupan, Allah sendirilah yang menciptakan manusia seperti ditulis dalam Kitab Mazmur 139:13 yang berbunyi ”Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”.
"Karena Allah sendiri yang menghendaki karya penciptaan ini, manusia tidak berhak untuk menghentikan Karya Agung Allah ini dengan menyingkirkannya. Apalagi, perintah Allah begitu tegas: Jangan membunuh! (Keluaran 2,30) yang tidak hanya berlaku bagi manusia yang sudah lahir namun juga mereka yang masih berada dalam kandungan,"demikian disampaikan Ketua Presidium konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Monsinyur (Mgr) Ignatius Suharyo dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Jumat (12/9/2014).
Baca Juga
Suharyo menyebutkan bahwa gereja mengakui bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan dan hidup itu harus dibela dan dihormati. Segala bentuk tindakan yang mengancam sejak awal kehidupan ini secara langsung, tidak dibenarkan.
Advertisement
Nilai hidup manusia, menurut Suharyo adalah intrinsik yang ada dalam dirinya, dia bernilai oleh karena dirinya sendiri tanpa ada relasinya dengan pihak lain.
Kecacatan atau penyakit yang dialami seseorang tidak mengurangi nilai dan martabat manusia. Oleh karena itu, aborsi dengan alasan kecacatan atau penyakit, tidak bisa dibenarkan.
Bela rasa
Bela rasa
Tindak pemerkosaan, kata Suharyo memang dapat menyebabkan trauma psikologis, spiritual dan sosial bagi korbannya. Yang diperlukan adalah sikap belarasa terhadap korban dan memberi bantuan dalam pelbagai hal agar yang bersangkutan bisa bangkit dari penderitaannya dan menghilangkan traumanya sehingga bisa kembali hidup bahagia. Namun keinginan untuk bahagia tidak memberikan hak kepadanya untuk membunuh orang lain.
Melakukan aborsi demi mencapai kebahagiaan ibu yang mengandung akibat perkosaan sama artinya dengan menggunakan orang lain (janin) sebagai alat dan tidak menghormatinya sebagai subyek. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia yang adalah Gambar dan Citra Allah.
Janin adalah makluk yang “lemah, tidak dapat membela diri, bahkan sampai tidak memiliki bentuk minimal pembelaan, yakni dengan kekuatan tangis dan air mata bayi yang dimiliki oleh bayi yang baru lahir, yang menyentuh hati..” (Evangelium Vitae no. 58). Padahal Allah adalah pembela kehidupan, terutama mereka yang lemah, miskin dan tidak mempunyai pembela.
Di sinilah muncul prinsip vulnerability, dimana orang yang kuat harus membela dan melindungi yang lemah. Selaras dengan hati Allah yang membela yang kecil, lemah dan tidak bisa membela dirinya, maka Gereja memilih untuk berpihak pada mereka dan menegaskan untuk membela kehidupan yang sudah diyakini ada sejak pembuahan.
Suharyo menegaskan bahwa dalam Kitab Hukum Kanonik / KHK (Codex Iuris Canonici – CIC) ditegaskan: “Bagi mereka yang menganjurkan, mendorong dan melakukan tindakan aborsi, sesuai dengan Hukum Gereja, mereka terkena ekskomunikasi latae sententiae” (KHK 1398). Ekskomunikasi langsung atau otomatis.
"Karena itu, kami menolak pemberlakuan pasal 31 dan 34 yang menguraikan tentang pengecualian aborsi yang diakibatkan oleh indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan,"kata Suharyo mewakili Presidium KWI.
Advertisement