Sukses

Pemerintah Harus Ekstra Peduli pada Kesehatan Perempuan

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Bakornas LKMI PB HMI) menuntut pemerintah lebih peduli pada kesehatan perempuan

Liputan6.com, Jakarta Badan Koordinasi Nasional Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Bakornas LKMI PB HMI) menuntut pemerintah lebih peduli pada kesehatan perempuan. Ini karena kesehatan perempuan terkait langsung dengan pembangunan generasi.

Kesimpulan ini penegasan atas hasil diskusi serial yang dilakukan Bakornas LKMI PB HMI di Graha Dipo Insan Cita dalam rangka Milad LKMI HMI ke-51 dengan tema "Perempuan Sehat Melahirkan Generasi Hebat”.

Beberapa pembicara pada diskusi ini, yaitu Dr. Yenni Patrizia (KOHATI PB HMI), Dr. Dyah Waluyo (PB IDI), Dr. Ardiansyah Bahar (Bakornas LKMI PB HMI), dan Dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc, Sp.GK (Ahli Gizi) dan Ketua Umum PB IDI Dr. Zaenal Abidin, MH.

Pembicaraan mengenai pentingnya menjaga gizi anak sejak 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) menjadi hal utama. Ini terkait dengan perkembangan otak, massa tubuh, dan metabolisme seorang anak. Apabila pada 1.000 HPK seorang anak tidak mendapatkan asupan gizi yang baik dari ibunya, maka akan dipastikan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan si anak. Bahkan sejak remaja putri sebelum menjadi ibu, seorang perempuan harus menjaga asupan gizinya.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa alur gizi dari seorang nenek akan diturunkan sampai cucunya, sehingga apabila seorang perempuan memiliki gizi yang kurang berarti telah terjadi kemunduran pada 3 generasi.

Pentingnya menjaga kesehatan perempuan ternyata tidak serta merta membuat mereka mendapatkan hak untuk sehat dalam hidup bermasyarakat. Sebagian masyarakat masih memandang perempuan sebagai kelas dua di dalam keluarga, sehingga mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Misalnya di sebagian adat dimana perempuan mesti mendahulukan pria di meja makan. Akhirnya seringkali mereka hanya mendapatkan sisa yang tentunya tidak memiliki kandungan gizi yang memadai.

Selain itu, hak untuk menyampaikan pendapat juga seringkali mereka tidak dapatkan. Banyak kasus dimana seorang perempuan tertular HIV AIDS dari suami yang terlebih dahulu tertular, dikarenakan tidak memiliki kemampuan untuk meminta suaminya menggunakan kondom sebagai pelindung.

Perhatian pemerintah dirasa masih kurang terkait hal ini. Sebut saja mengenai kebijakan cuti untuk seorang ibu yang melahirkan dan menyusui. Sangat diharapkan agar seorang ibu bisa memberikan ASI ekslusif kepada anaknya hingga berusia 6 bulan. Hal ini tidak bisa terjadi karena izin cuti sesuai aturan yang berlaku sangatlah singkat. Belum lagi dengan tidak tersedianya fasilitas menyusui di berbagai tempat umum.

Perlu disadari bahwa tidak semua perempuan yang bekerja memiliki waktu luang, mobil, dan penjaga anak yang bisa memudahkannya untuk memberikan ASI ekslusif tadi, misalnya saja para buruh di pabrik.

Pada akhirnya, dibutuhkan perhatian serius dari pemerintah terhadap kesehatan perempuan. Cukuplah kita dibuat tercengang dengan berbagai hasil riset yang menunjukkan tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan juga prevalensi gizi kurang di Indonesia. Begitu setidaknya pencerahan yang muncul selama diskusi.

Sekarang saatnya pemerintah lebih cerdas dan tegas dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kesehatan ibu dan anak, utamanya terkait dengan menjaga pola gizi seimbang dan penyelamatan 1.000 HPK karena kegagalan dalam menjalankannya akan berdampak buruk terhadap beberapa generasi.