Sukses

UGM Temukan Cara Stop Perkembangan Virus Dengue di Aedes aegypti

Para ilmuwan UGM menemukan cara menghambat perkembangan virus Dengue dengan menggunakan bakteri Wolbachia

Liputan6.com, Jakarta Universitas Gadjah Mada menemukan cara mengurangi penularan virus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia yaitu dengan menggunakan nyamuk Aedes aegypti yang sudah mengandung bakteri Wolbachia untuk menghambat perkembangan replikasi virus Dengue pada nyamuk.

Diketahui Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat pada sel tubuh serangga dan ditemukan di 60 persen spesies serangga seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang hingga nyamuk. Namun bakteri ini tidak ada pada nyamuk Aedes aegypti yang selama ini dikenal sebagai vektor penular virus Dengue, sehingga virus Dengue tidak dapat ditularkan kepada manusia.

Peneliti Eliminate Dengeu Project (EDP) UGM, dr. Riris Andono Ahmad MPH, Ph.D mengatakan nyamuk yang mengandung Wolbachia tersebut nantinya akan kawin dengan nyamuk biasa. Sehingga bisa dipastikan Wolbachia akan diturunkan dari induk betina ke generasi selanjutnya.

Menurut Riris, pihaknya telah melepaskan ribuan nyamuk ber-wolbachia di dua padukuhan, Kronggahan dan Nogotirto, Sleman. Masing-masing rumah disebar 8-10 ekor nyamuk.

Selama 9 bulan pasca pelepasan awal tahun 2014, di dua wilayah penelitian tersebut diketahui ada peningkatan populasi nyamuk ber-Wolbachia hingga 60-80 persen. Peneliti mengklaim wolbachia terus menyebar dalam populasi nyamuk setempat.

“Pelepasan nyamuk setiap pekan ini akan kita lanjutkan hingga nantinya 100 persen nyamuk di sana memiliki Wolbachia,” kata Riris Andono Ahmad, di kantor EDP, Sekip N-14, Kampus UGM, Kamis (25/9/2014).

Doni panggilan akrab Andono mengatakan, pelepasan nyamuk ber-wolbachia ini akan diperluas di masa mendatang setelah mendapatkan hasil dari penelitian dan pengamatan dari hasil dua padukuhan sebelumnya.

Rencananya dalam waktu dekat, UGM akan melepas nyamuk ber-Wolbachia di empat lokasi penelitian di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sementara pelepasan nyamuk Aedes aegypti di Krongahan dan Nogotirto sudah dimulai sejak awal Januari lalu.

Doni menjelaskan kemampuan bakteri wolbachia dapat menghambat dan menekan replikasi Dengue, disebabkan kemampuan bakteri ini dalam berkompetisi dengan virus Dengue merebut makanan di sel tubuh nyamuk.

“Adanya wolbachia justru meningkatkan ketahanan tubuh nyamuk dari virus dengue. Jadi virus dengue akan mati,” katanya.

2 dari 2 halaman

Tak bisa tertular

Tak bisa tertular Wolbachia

Hal yang sama diungkapkan Peneliti EDP lainnya, dr. Eggi Arguni, Sp.A(K). Menurut Eggi, orang tidak bisa tertular bakteri Wolbachia lewat gigitan nyamuk ber-wolbachia itu. Pasalnya diameter Wolbachia melebihi probosis (belalainya) atau bagian dari mulut nyamuk untuk mengisap darah dan menembus kulit manusia. Sehingga bakteri tersebut tidak bisa keluar malalui probosis.

“Diameter wolbachia lebih besar dari probosis nyamuk. Secara terori tidak mungkin menular apalagi wolbachia tidak bisa hidup di sel mamalia,” jelasnya.

Eggi menambahkan, setiap nyamuk yang dilepas di rumah-rumah penduduk sebelumnya telah diskrining agar bebas dari virus dengue dan chikungunya. Kekhawatiran dan penolakan kelompok masyarakat sebelumnya bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia memperbesar risiko penularan DBD ternyata tidak terbukti.

Kendati selama 9 bulan pasca pelepasan nyamuk, hanya 9 kasus DBD yang ditemukan. Itupun masih disangsikan apakah korban DBD tersebut terkena gigitan di daerah tempat tinggalnya atau di tempat lain.

“Kemungkinan tertular di tempat yang lain sangat besar. Tapi yang perlu kita tegaskan, tidak ada penularan lokal di kedua wilayah tersebut, tidak ada indikasi yang kita temukan,” ungkapnya.

Penelitian ini juga dilakukan di negara lain seperti Australia, Vietnam, Brasil dan Kolombia. Jika nantinya terbukti efektif, tidak menutup kemungkinan pemanfaatan nyamuk ber-Wolbachia bisa menjadi alternatif untuk mengatasi penyebaran virus dengue di Indonesia.

Berdasarkan data dari Kementerian kesehatan, penderita DBD di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, meski angka kematian terus menurun. Sepanjang 2012, Kemenkes mencatat 90.245 penderita dan angka kematian mencapai 816 orang. (Fathi mahmud)