Liputan6.com, Jakarta Menteri Susi Pudjiastuti menjadi sorotan kali ini dengan gayanya yang khas cepat, tangkas, tanpa basa-basi, energik, berani dan pekerja keras. kebanyakan media merasa profil ini bernilai berita tinggi hingga tak pernah lepas menempelnya. Yang tadinya jarang menempati pos di Kementrian Kelautan dan Perikanan, sekarang setiap hari ada wartawan di situ.
Menteri Susi pernah menyebutkan dirinya agak terganggu dengan awak media ini. Ia mau kerja, kerja dan kerja sama seperti bosnya. Namun demikian ia tetap melayani wartawan tanpa membuat mereka merasa disingkirkan.
Baca Juga
Bagia Menteri Susi yang adalah seorang perempuan apalagi single parent, siapa lagi yang bisa menampung curhatannya dengan segudang masalah yang dia punyai. Untung media sosial seperti Facebook bisa digunakannya. Di tempat inilah sang menteri menuliskan celotehannya.
Advertisement
Unek-unek, curhatan, dan segala gundah gulana memang tidak boleh disimpan, dipendam dalam hati berlama-lama. Para pakar psikologi salah satunya Yohanes Heri Widodo, MPsi yang juga dosen Psikologi di Uuniversitas Sanata Dharma menyebutkan, curhat bisa membuat hati kita plong dan meningkatkan kesehatan mental. Segala (pikiran) yang dipendam akan merusak tubuh fisik dimulai dengan munculnya stre. Karena itu, normal dan wajar sekaligus positif bila Menteri Susi curhat di media sosial sambil menyapa orang banyak.
Ini bagian dari upaya mencari dukungan sosial yang positif asal curhatnya tidak berlebihan.
Curhatan Menteri Susi
Berikut curhatan Menteri Susi
”Siapa yang ingin jadi orang tua tunggal? Siapa yang ingin gagal dalam kehidupan dua kali perkawinan? Mengapa media lebih suka menyoroti kehidupan pribadi saya? Tato saya? Kebiasaan merokok? Saya pernah menikah dengan orang asing? Utang bank? Tahu nggak bahwa aset saya, pesawat-pesawat dan pabrik itu lebih besar nilainya? Rentetan pertanyaan itu meluncur dari bibir saya.
Rabu pagi (29/10) pukul 07.00 wib, saya diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) di kabinet Presiden Joko Widodo itu tiba di kantor KKP, di kawasan depan Gambir, Jakarta. Saya menggunakan mobil menteri, sedan Toyota Camry dengan nomor polisi B 39. Tim perias dari sebuah salon terkemuka tengah memasangkan sanggul. Pukul 10.30 wib, saya, menjalani acara serah terima jabatan dengan pendahulu saya, politisi Partai Golkar, Sharif Cicip Sutardjo.
Sebelum acara sertijab, pukul 8.00 wib saya menerima wawancara tim ANTV di ruangan tamu di lantai 7 gedung KKP. Pukul 09.00 wib saya turun ke lobi. Puluhan wartawan sudah menunggu sejak pagi. Kru Metro TV memandu saya untuk melakukan siaran langsung. Oh, ya, disela-sela dua wawancara TV saya menjalani sesi pemotretan resmi untuk dokumentasi kementerian. Saya harus berganti baju hingga tiga kali. Saya sempat mengaduk-aduk koper kecil mencari kerudung saat staf KKP memintanya berfoto dengan kerudung. “Tolong pinjamkan dari karyawan,” ujar saya.
Saya tak mau dipanggil “Ibu Menteri”. “Kalau dipanggil Ibu Menteri, saya nggak nengok. Nggak ngeh. Kalau Ibu Susi, pasti nengok,” . Staf KKP menginformasikan bahwa saya juga harus menggunakan baju batik untuk sesi pemotretan terakhir. Saya membuka lemari, lagi-lagi membongkar koper. Nihil. “Duh, aku nggak punya baju batik,” keluh saya. Wartawan menggoda saya, “perlu menelpon Obin?”. Saya menjawab, “eh, iya, kapan itu Obin janjian mau ketemu aku lho.” Obin adalah nama perancang terkemuka yang dikenal dengan tenun kualitas tinggi, termasuk batik. Sesi pemotretan dengan baju batik ditunda.
Ketika menghadiri pelantikan sebagai menteri di kabinet Presiden Jokowi, saya tampil feminin,menggunakan kebaya. Satu-satunya menteri perempuan yang berkebaya. Tujuh menteri perempuan lain menggunakan blus batik. Waktu itu saya ke Istana ditemani Solichin GP, mantan Gubernur Jawa Barat. Sebelum masa pensiunnya, Mang Ihin, panggilan akrabnya, menjabat sekretaris pengendalian logistik dan pembangunan di kantor Presiden Soeharto.
Ketika bersiap-siap menuju ke Istana, di ruang yang yang saya sewa di Hotel Grand Hyatt, Mang Ihin sempat mengingatkan, “kamu itu jangan merokok. Saya tuh sudah perhatikan, orang yang merokok itu, matinya susah. Pake sakit.” saya tidak menjawab. Saya hanya tersenyum melihat Mang Ihin, sosok yang saya anggap sebagai senior, kawan baik dan yang dituakan. Kata Mang Ihin, ”ketika saya ini mulai merintis usaha saya, dia sering saya marah-marahi. Tapi mungkin karena itu, dia malah jadi menteri. Dan saya sekarang mendapat kehormatan untuk mendampinginya ke istana.”
Seorang wartawan bertanya, ada rekannya beliau berkomentar di Facebook, dia kesulitan menjawab pertanyaan anaknya yang baru berumur 10 tahun, ketika melihat berita TV soal Menteri Susi merokok. Beliau menyampaikan kepada saya. Tanggapan saya, “Smoke is not good. I’ve tried to quit. But not easy. I will try. But, I’ve asked media not to publish that picture.” saya menceritakan suasana sore itu, usai pengumuman kabinet Jokowi. Begitu Presiden meninggalkan lokasi dan mempersilahkan media mewawancarai menteri-menterinya, saya salah satu yang diserbu banyak wartawan. Sejak dua hari sebelum dilantik wartawan sudah memburu saya setelah nama saya muncul dalam daftar yang beredar di masyarakat.
Diburu wartawan, meladeni pertanyaan itu melelahkan. Apalagi para menteri harus berada di istana dua-tiga jam sebelum pengumuman. Sejak dipanggil Jokowi, Kamis (23/10), jadwal saya kian padat. Saya harus menyiapkan perusahaan yang selama ini diurus detil, sebagai direktur utama, untuk diserahkan pengelolaannya ke orang lain yang dia percayai. Presiden meminta semua menterinya berkonsetrasi penuh untuk kerja, kerja, kerja. saya segera melepas jabatan di perusahaan yang meliputi bisnis aviasi, perikanan, sekolah pilot dan survei udara.
“Sore itu rasanya, ….saya ini nggak pernah mimpi menjadi menteri. Jadi, sesudah pengumuman di istana, after that big moment, saya cuma ingin sendiri. Saya cari tempat agak mojok, di sudut. Lelah, ingin merokok. Beberapa media mengikuti. Saya sudah minta media jangan diambil gambar dong. Saya nggak mau kasi contoh merokok. Just give me a break. Sebentar. Jangan dimuat ya. Eh dimuat. Rame kan. Media nakal-nakal ya? “ saya melanjutkan, “mengapa yang dikorek-korek selalu masalah pribadi saya? Tolong disampaikan, media please help me, instead of bullying me. Help me to do my job.”
Meski tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, wartawan banyak mengatakan bahasa inggris saya bagus. Saya belajar bahasa asing dengan banyak membaca buku. Juga karena harus berkomunikasi dengan mantan suami yang warga negara asing, Daniel Kaiser. Dari pernikahan dengan Daniel Kaiser yang kini tinggal di Swiss, Saya dikaruniai seorang putri, Nadine. Saya memiliki tiga anak dan satu cucu dari dua pernikahan. Daniel Kaiser mantan suami saya sengaja terbang dari Swiss untuk memberikan selamat kepada saya yang diangkat menjadi menteri.
Bagaimana reaksi anak-anak mengetahui Ibunya menjadi menteri? “My kids are proud to me. Cucu saya, si Arman, komentarnya, “Wow, Uti, you got a very significant job. Significant? Saya katakan kepada Mbak Uni (Wartawan yang meliput saya), anak umur delapan tahun menggunakan kata-kata yang sophisticated. Hebat nggak? ” tutur saya. Mata saya berbinar saat menceritakan anak dan cucu.
Advertisement