Liputan6.com, Jakarta Tidak bisa dipungkiri bahwa komponen biaya obat-obatan menjadi komponen biaya yang dominan ketika seseorang mengidap sebuah penyakit. Hal ini disebabkan karena masih semrawutnya regulasi perdagangan obat sehingga harga obat di Indonesia tergolong sebagai harga yang tertinggi dibanding negara di kawasan ASEAN.
Mulai dari antibiotiok, obat kanker, obat jantung sampai dengan obat HIV harga obat di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara lain. Hal ini diperparah dengan masih minimnya obat generik yang beredar di Indonesia sehingga pasien penyakit tertentu harus dihadapkan pada obat versi patent yang tentu saja harganya lebih murah.
Baca Juga
LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) mencatat bahwa harga obat Anti Retroviral (ARV) yang digunakan untuk terapi HIV buatan dalam negeri jauh lebih mahal daripada obat sejenis walaupun sama-sama generic. Untuk obat jantung juga dicatat bahwa ketersediaan obat generic masih langka sehingga pasien harus membeli yang patent.
Advertisement
“Obat ARV generik produksi Indonesia itu 200-700% lebih mahal daripada obat generik import. Untuk obat jantung, contohnya Sildenafil untuk pasien hipertensi paru, pasien harus membeli obat versi patent dengan harga 125 ribu rupiah perbutir sementara di Thailand pasien bisa mendapatkan versi generiknya dengan harga 22 ribu rupiah. Padahal, obat patent dan obat generic ini kandungannya sama.”, kata Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif dari LSM Indonesia AIDS Coalition.
Berdasarkan data LSM IAC, obat ARV jenis Duviral generic lokal dijual seharga 205 ribu rupiah sementara harga duviral generic import hanya 89 ribu rupiah untuk konsumsi satu bulannya. Sementara obat sildenafil patent di Indonesia dijual dengan harga 125 ribu per butir sementara di Thailand bisa didapatkan dengan harga 22 ribu rupiah untuk versi generiknya
Ada banyak alasan mengapa obat generik jarang beredar dan mengapa harga obat di Indonesia relatif jauh lebih mahal dibanding negara lain.
Yang pertama adalah ganjalan kebijakan patent. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan patent telah menguntungkan korporasi produsen obat dengan cara menaruh harga mahal bagi obat temuannya. Padahal kadangkala obat itu kerap kali bukan tergolong obat baru. Contohnya seperti obat hepatitis c Sofosbufir yang patentnya dimiliki oleh Gilead dan dijual dengan harga US$ 1000/butir sehingga total terapi membutuhkan biaya US$ 86.000. Dalam kasus ini, semestinya pemerintah bisa menggunakan mekanisme Government use of patent sehingga pemerintah bisa menunjuk produsen farmasi local untuk memproduksi versi generiknya. Jika pemilik patent tetap bersikeras menjual dengan harga mahal, maka pemerintah perlu bertindak tegas dengan mengambil alih hak patentnya.
“Jika harga obat Sofosbufir itu US$ 86.000 untuk satu pasien, mana ada pasien Hepatitis C yang sanggup membelinya di Indonesia? Sedangkan obat ini dibutuhkan oleh lebih dari 7 juta pasien Hepatitis C di Indonesia” kata Aditya.
Persoalan kedua adalah masih dikenakan pajak yang tinggi bagi komponen obat. Mayoritas bahan aktif obat (API/Active Pharmaceutical Ingredients) dari obat generic yang diproduksi di Indonesia masih import sehingga ditambah komponen pajaknya membuat harga obat jauh lebih mahal dari obat sejenis di luar negeri. “Pemerintah seharusnya menghapuskan pajak ini dan juga memberikan insentif agar produsen obat lokal mau dan mampu memproduksi bahan aktif obat sendiri.” kata Aditya.
Persoalan ketiga yang mencuat adalah terkait dengan praktek kick back money antara dokter dan sales obat yang sudah menjamur dan menjadi praktek yang nyata meskipun selalu disangkal. Praktek ini menjadikan harga jual obat menjadi membumbung tinggi. Hal ini mestinya disikapi dengan tegas dimana pemerintah membuat kebijakan yang memberikan sanksi jika mendapati praktek kick back money antara dokter dan sales obat.
Pemerintah sendiri juga diharapkan membuat regulasi yang tegas untuk mengatur harga obat yang masuk dipasaran Indonesia sehingga produsen obat tidak semena-mena menaruh harga bagi obat dagangannya.
Poin terakhir yang diharapkan IAC adalah pemerintah harus gencar mempromosikan obat generik yang sebenarnya secara kualitas sama dengan obat versi patent sehingga pasien bisa berdaya dalam menentukan obat yang akan dikonsumsinya dan mendapatkan obat berkualitas dengan harga murah.
LSM IAC sangat berharap Presiden Jokowi mau mengambil langkah tegas mengatur ulang tata regulasi perdagangan obat ini sehingga dana yang ada di JKN bisa dihemat dan dialokasikan untuk layanan lainnya dan juga pasien bisa mendapatkan obat yang berkualitas dengan harga murah.