Liputan6.com, Jakarta Meski memiliki kenangan pahit sejak kecil, siapa sangka nama Fanny Lara Ambadar semakin tersohor di kalangan profesi baik dalam negeri ataupun Australia, tempat dirinya belajar. Kini dia adalah seseorang yang telah menemukan tujuan hidup sebenarnya yaitu menjadi konselor atau yang dia sebut Life Coach sehingga dapat membantu orang banyak menyelesaikan masalahnya.
Fanny memang bukan siapa-siapa ketika diajak tantenya berlibur ke negeri kangguru. Dia mengaku, saat itu masih berstatus mahasiswi jurusan Ilmu Psikologi di Universitas Mercubuana. Namun keinginannya untuk bertahan hidup di Australia begitu tinggi sampai orangtua tidak dapat mencegahnya.
"Lulus SMA, saya jatuh cinta dengan musik. Saya pikir menyanyi adalah passion, maka itu saya sempat mengeluarkan single dan menciptakan lagu. Saya juga mendapat tawaran menyanyi di kelab. Sambil bekerja, saya kuliah di Universitas Mercu Buana karena ada kelas karyawan. Saat itu, saya diajak tante berlibur," kata Fanny saat Liputan6.com menyambangi rumahnya di The Garden Family Guest House, Ciawi, Bogor.
Baca Juga
Tak ingin melewatkan kesempatannya selama satu bulan liburannya di Australia, Fanny berpikir untuk membuat jejaring pertemanan sebanyak-bayaknya di sana. Hingga terbesit, dia ingin menetap di Australia.
Advertisement
Berbekal dari gaji menyanyi, wanita kelahiran Bogor, 15 Agustus 1987 nekat ke Australia. Kehabisan uang tidak membuat dia kehabisan akal. Dia bahkan sempat menjadi terapis pijat.
"Sebenarnya apapun saya kerjakan karena saya sudah kehabisan bekal. Kerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lagi. Seperti menjadi terapis massage, bantu-bantu di pabrik. Struggle tapi pengalaman yang luar biasa banget," ungkap wanita berdarah Arab ini.
Di saat susah di Australia tersebut, Fanny mengaku semakin memantapkan diri untuk membantu orang banyak dengan mengikuti program Neuro-linguistic programming (NLP), Hipnoterapi, Rapid Change Therapy (RCT) Life Coaching dan Time Line Therapy.
Satu tahun mempelajari tentang cara berpikir manusia, bukanlah hal yang mudah. Fanny dituntut harus bisa mengontrol emosi dan tidak lagi membiarkan emosi mengontrolnya. Itulah yang dia sadari, ada perbedaan antara ilmu psikologi yang dipelajarinya dengan life coaching.
"Kalau dalam ilmu psikologi, kita bisa belajar mengenai bagaimana manusia bersikap dengan cara pikirnya. Sedangkan life coaching, kebanyakan langsung ngomongin inti masalahnya. Jadi ketika konseling, kita harus tahu dulu masalahnya baru bisa problem solving dan solution base," jelasnya.
Dengan bekal pengalaman menangani ratusan klien dari Australia dan Indonesia, Fanny terus 'kebanjiran' konseling mulai dari pengusaha, dokter, guru, wirausaha hingga orangtua yang butuh cara mendidik anaknya agar bisa menemukan true passion.
Sempat terbesit ingin bunuh diri
Menjadi sesukses sekarang, tidak ada yang menyangka kalau CEO the Unconscious Beauty sekaligus pendiri Walk the Walk Life Coaching program dan personal life coaching ini pernah merasa terpuruk saat remaja.
"Dari kecil, saya sudah merasa terbuang karena ayah dan ibu bercerai. Di usia 14 tahun, saya juga terkena tumor payudara. Ada banyak masalah yang menumpuk hingga saya sendiri merasa ingin bunuh diri. Beruntung saya punya orangtua yang membantu memecahkan masalah. Dan ini saya sadari sekarang, bahwa anak-anak yang memiliki masalah butuh orangtua bukan pacar untuk membantunya," katanya.
"Saya suka sedih melihat berita anak-anak kecil yang mencari cinta dari orang lain selain orangtua. Padahal anak 0-7 tahun disebut juga imprint face artinya apa yang dia dengar, lihat dan rasakan belum ada filter-nya dan dia terima mentah-mentah. Kemudian di usia 7-14 tahun disebut juga role model. Dia akan mencari idola. Makanya usia ini rentan, mereka yang labil bukan hanya akan mengumpulkan poster idola tapi juga mencari pacar. Dan pada 14-21 tahun, disebut juga critical factor atau masa seseorang sudah bisa menentukan sesuatu," jelasnya.
Putus cinta demi membangun Indonesia
Kesuksesannya dalam membantu orang banyak di Australia membuatnya semakin ingin membangun karakter orang-orang di Tanah Air. Menurutnya, Australia memiliki Sumber Daya Manusia yang dipersiapkan bukan hanya sehat fisik tapi juga mental.
"Bayangkan, SD di sana memiliki psikolog yang membantu anak-anak untuk curhat. Mereka yang orangtua cerai bahkan harus konseling khusus. Dan itu nggak perlu lama, makanya saya ingin di Indonesia memiliki sistem ini agar pendidikan karakternya juga kuat dan bisa bersaing di negara luar," tukasnya.
Bicara mengenai keinginannya untuk membangun Indonesia, seharusnya wanita yang memiliki 45 sepupu ini menikah pada Desember lalu. Namun keputusannya bulat, dia ingin mengenalkan program life coaching pada masyarakat Indonesia sehingga di waktu liburannya di Indonesia ini, dia sibuk memberika persentasi di sekolah dan universitas serta bimbingan konseling di Rumahnya.
"Kalau dibilang sedih, pasti sedih. Tapi saya berusaha untuk melihat dari perspektif lain. Sebelum saya praktik dan memberi solusi pada orang lain kan, saya telah belajar untuk menyelesaikan masalah saya dulu. Praktis, sebenarnya. Ini keputusan saya dan saya pikir saya masih memiliki impian lain," ungkapnya.