Sukses

Bahaya Pasang Kawat Gigi di Tukang Gigi

Pemasangan kawat gigi tak bisa sembarangan. Pasien sebaiknya berpikir dua kali sebelum ke tukang gigi.

Liputan6.com, Jakarta Pemasangan kawat gigi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Berkisar antara Rp 6-20 juta, tergantung dari dokter, bahan, dan kliniknya. Biaya semahal itu, menjadi peluang bagi tukang gigi untuk menarik pasien yang ingin memasang kawat gigi dengan biaya lebih murah.

Sebagai orang yang kerap melihat dampak dari pemasangan kawat gigi di tukang gigi, Spesialis Gigi Palsu drg. Andy Wirahadikusumah, Sp.Pros., menyarankan agar pasien berpikir dua kali sebelum ke tukang gigi.

"Para tukang gigi tidak mengerti kalau pasang kawat gigi tidak bisa sembarangan. Dalam prosesnya, banyak tukang gigi yang tidak memahami betul bagaimana caranya," kata Andy kepada Health-Liputan6.com ditulis Senin (26/1/2015)

Tipe dari kawat gigi yang akan digunakan bermacam-macam. Penggunaannya tergantung dari kasus yang dialami oleh si pasien. "Dan harus bagaimana terhadap kondisi semacam ini pun tukang gigi tidak memahaminya. Sebab mereka tidak memiliki basic kedokteran giginya," kata Andy menambahkan.

2 dari 3 halaman

Gigi palsu

Ahli gigi palsu

Sebenarnya, lanjut Andy, dahulu itu tukang gigi hanya berhak membuat gigi palsu, bukan mengaplikasikannya ke dalam mulut pasien. Namun seiring berjalannya waktu, tidak sedikit dari mereka yang justru menawarkan jasa untuk tambal dan pasang kawat gigi.

"Berhubung saya spesialis pemalsuan gigi, sering kali pasien yang datang ke saya setelah dari tukang gigi itu gigi mereka banyak yang hancur," kata Andy.

Bahkan, ada tukang gigi yang nekat memasang kawat gigi yang seharusnya lepasan menjadi permanen."Ditempel permanen sama mereka menggunakan bahan semacam lem. Awalnya memang kuat, tapi tak lama setelah itu goyang," kata Andy menerangkan.

Efeknya, jaringan gigi yang tertutup itu rusak semua. Dan aroma yang tercium dari mulut pasien sangatlah bau.

"Baunya luar biasa. Nggak kalah, deh," kata Andy sembari bercanda.

Menemukan kasus semacam ini, menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi seorang dokter gigi. Apalagi kebanyakan yang datang sudah mengalami kondisi yang cukup parah, yang membuat dokter harus membongkar, membor supaya dapat diperbaiki.

drg. Andy menceritakan bahwa pernah mendapatkan satu orang pasien seorang ibu berusia 60 tahun yang terlebih dulu ke tukang gigi. Tak lama setelah itu, si ibu merasakan keseluruhan giginya goyang. Parahnya, mau berwudhu saja susahnya minta ampun. Sebab bila mulut si ibu kena air dan harus dikumur, giginya pun akan ngilu-ngilu.

"Pas saya tangani, mau tidak mau harus dibongkar, dan ada beberapa gigi yang dikorbankan lalu dicabut. Selanjutnya bikin yang baru. Syukurlah sekarang sudah tidak apa-apa," kata Andy.

3 dari 3 halaman

Bukan Takut Penghasilan

Bukan Takut Penghasilan Berkurang


Anjuran yang diberikan dokter gigi kepada pasien untuk tidak melakukan perawatan gigi apa pun di tukang gigi, semata-mata karena mereka takut pasien menerima dampak yang justru berisiko bagi kesehatan mulut dan giginya sendiri. Bukan takut pemasukannya berkurang, seperti `tuduhan` yang diberikan selama ini.

"Kita sudah melihat sendiri akibatnya itu seperti apa. Dan kita juga nggak mau yang sudah pernah terjadi, kembali terjadi," kata drg. Andy.

Diakui Andy, memang tidak semua tukang gigi itu buruk, ada juga yang bagus. Tapi, jumlahnya sangatlah sedikit dan bisa dihitung dengan jari. "Kebanyakan tukang gigi itu turun temurun. Dari si bapak mewarisin ke anak, anak lalu mewariskannya lagi ke generasi berikutnya. Tukang gigi zaman dahulu banyaklah yang bagus," kata Andy menerangkan.

Andy mengungkapkan bahwa tukang gigi pun ada sekolah khususnya, tapi untuk membuat gigi palsu, bukan mengaplikasikannya ke mulut pasien. Biasanya, mereka hanya improvisasi sendiri ketika melakukan tindakan di mulut pasien.

"Masyarakat harus lebih aware. Bukan, bukan karena para dokter takut penghasilannya berkurang. Tapi sudah ada akibatnya terjadi di masyarakat, makanya kami anjurkan untuk tidak ke tukang gigi," kata Andy.