Liputan6.com, Jakarta Meski prevalensi penyakit kusta telah menurun hingga 1 per 10 ribu penduduk, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai kasus baru di tiap negara masih ada. Di Kawasan Asia Tenggara saja, ada sekitar 1.000 kasus baru yang dilaporkan setiap tahunnya. Mirisnya, satu dari setiap sepuluh penderita kusta baru adalah anak-anak.
Seperti disampaikan Direktur Regional WHO untuk `Hari Kusta Sedunia`, Dr Poonam Khetrapal Singh, kusta pada anak perlu perhatian yang lebih besar, karena menyebabkan cacat masa kanak-kanak.
"Secara global, terdapat 19.796 kasus baru kusta ditemukan pada anak-anak. Angka-angka ini benar-benar tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, kita perlu fokus pada sisa prevalensi kusta yang tinggi atau disebut hotspot kusta melalui upaya baru. Sebuah pengobatan yang efisien untuk kusta juga diperkenalkan oleh WHO pada awal 1980-an. Jadi tidak ada alasan mengapa seseorang harus menderita cacat dan menerima stigma kusta hari ini," kata Singh melalui pesan elektronik yang diterima Liputan6.com, Senin (26/1/2015).
Advertisement
Singh juga menekankan pada upaya penghapusan kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat di tingkat global pada tahun 2000 adalah tonggak penting dalam sejarah. Karena meskipun prevalensi telah turun menjadi kurang dari satu kasus per 10.000 penduduk dunia, namun kasus baru terus dilaporkan dari lebih 100 negara.
"Sesuai data statistik kusta yang diterbitkan oleh WHO pada 2014 disebutkan bahwa terdapat 215.656 kasus kusta baru terdeteksi di seluruh dunia. Kawasan Asia Tenggara sendiri menyumbang 155.385 kasus, 72 persennya dari jumlah kasus kusta dunia," ujar Singh.
Kasus kusta sendiri tidak merata di seluruh dunia, 96 persen kasus kusta terbatas pada 15 negara yang melaporkan lebih dari 1.000 kasus baru setiap tahunnya.
Sebagian kecil pasien mengalami kelainan bentuk pada tangan, kaki, dan mata karena telat melakukan pemeriksaan. Sedangkan stigma cenderung berhubungan dengan kecacatan. Faktanya secara global, 13.289 kasus baru mengalami cacat pada tahun 2013.
"Salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia, kusta masih dikaitkan dengan kutukan Tuhan dan dosa masa lalu dan sebagainya. Hal ini juga ternyata masih menjadi mitos dan kesalahpahaman banyak orang. Pada akhirnya, mereka yang terkena dampak kusta akan merasa harus terpisah dari keluarga dan terisolasi di tempat terpencil atau sebuah pulau di beberapa negara," jelasnya.
Stigma yang melekat pada penyakit dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat ini juga membuat kurangnya deteksi dini dan pengobatan kusta. Untuk benar-benar mengurangi kasus kusta hingga 'nol', seorang pasien yang menjadi sumber infeksi harus diobati.
Kusta menular kepada individu yang sehat melalui udara atau kontak kulit ke kulit dengan orang yang terinfeksi. Dibutuhkan beberapa tahun untuk orang rentan untuk mendapatkan penyakit. Gejala awal kusta adalah mati rasa dan bercak putih. Dengan gejala ini saja, banyak orang merasa tidak hal tersebut tidak berbahaya.
WHO sendiri telah memperkenalkan terapi multidrug (MDT) pada awal tahun 1980 sebagai pengobatan utama. MDT memiliki beberapa keuntungan seperti mengurangi risiko cacat dan stigma konsekuen. MDT akhirnya mengurangi biaya pengobatan pada sistem kesehatan. Lebih dari 16 juta pasien dari 125 negara di seluruh dunia telah diobati dengan MDT dan mengurangi prevalensi penyakit menjadi kurang dari satu kasus per 10.000 penduduk di tingkat nasional untuk kusta yang dinyatakan dihilangkan pada tahun 2000.
"Sudah saatnya kita memberi energi untuk fokus pada daerah endemis kusta yang tersisa atau `hotspot`. Deteksi penyakit kusta pada anak-anak adalah bukti penularan lanjutan. Kita sekarang perlu meningkatkan upaya pencegahan untuk menuju nol kasus," jelasnya.
Berbagai strategi global juga telah ditingkatkan untuk mengurangi beban penyakit akibat kusta. Di negara-negara endemik kusta juga ada upaya untuk menekankan kembali deteksi dini dan pengobatan yang lengkap, dan memutus rantai penularan antara pasien dan populasi yang sehat untuk mengendalikan kusta.
Untuk mengatasi tantangan dalam mengurangi terjadinya kasus baru, para menteri kesehatan dari 17 negara endemik berkomitmen dalam Deklarasi Bangkok pada 2013. WHO juga sedang mengembangkan strategi kusta baru untuk 2016-2020 untuk mendeteksi semua kasus sebelum kecacatan dan mencapai kasus nol cacat di antara anak-anak.