Sukses

Menemani Anak dalam Kegiatan Kompetitif

Tidak hanya pada orang dewasa, saat ini banyak kegiatan yang dilakukan anak yang juga berhubungan dengan kompetisi dengan anak-anak lain

Liputan6.com, Jakarta Kompetisi menjadi pemandangan sehari-hari di zaman ini. Setiap saat, banyak orang yang melakukan dan mengusahakan berbagai hal karena didorong kuat untuk berkompetisi. Dorongan ini dalam diri banyak orang pada akhirnya menjadi motivator yang mengalahkan motivator lainnya.

Tidak hanya pada orang dewasa, saat ini banyak kegiatan yang dilakukan anak yang juga berhubungan dengan kompetisi dengan anak-anak yang lain. Mulai dari kegiatan olah raga, seni, bahkan kegiatan yang bersifat akademis di kelas. Dalam masyarakat yang juga semakin mementingkan aspek kompetitif, akan sulit bagi orangtua untuk  menghindarkan anak agar tidak masuk sama sekali dalam situasi tersebut.

Yang menjadi masalah adalah ketika orangtua dihadapkan pada kenyataan bahwa anak tidak selalu menjadi yang terbaik dan kemudian memenangkan kompetisi-kompetisi tersebut. Alih-alih berusaha memahami keunikan anak juga dalam bakat yang dimilikinya, banyak orang tua yang justru menjadi cemas dan kemudian memaksa anak untuk berusaha lebih keras agar dapat “berhasil” menjadi yang terbaik atau paling tidak menempati ranking yang tergolong atas dalam kegiatan kompetitif yang dilakukannya. Berbagai hal kemudian dilakukan. Mulai dari menunjukkan pentingnya meraih skor tinggi dan menjadi pemenang saat berkomunikasi dengan anak hingga meminta anak melakukan berbagai aktivitas dan kursus tambahan untuk mendongkrak kemampuannya tanpa mempertimbangkan minat dan kemampuan anak yang sebenarnya.

Kate Roberts, Ph.D. (2013), seorang profesor dan psikolog pendidikan pada Universitas Brown mengungkapkan bahwa hasrat kompetitif orangtua yang berlebihan tersebut tanpa mereka sadari akan berdampak buruk terhadap kemampuan anak di masa depan. Performansi anak akan terhambat. Ini karena anak akan menginternalisasi kecemasan saat melakukan sesuatu. Kecemasan yang muncul bisa saja berhubungan dengan ketakutan tidak diterima oleh orangtuanya jika gagal meraih skor tinggi atau menjadi pemenang saat berkompetisi. Meskipun demikian, Kate Roberts memaparkan beberapa saran bagi orangtua yang mendampingi anaknya saat mengikuti aktivitas kompetitif yang seringkali tidak dapat dihindari:

  1. Kenali dan atasi dahulu motivasi dan hasrat dalam diri orangtua sendiri yang berpotensi menghambat anak dalam menjalankan kegiatan yang dilakukan. Motivasi dan hasrat yang muncul bisa saja kurang disadari dan tampak normal bahkan mulia. Misalnya karena orangtua ingin menunjukkan keberhasilan mendidik anak pada orang lain maka dia kemudian memaksa anak untuk meraih nilai setinggi mungkin
  2. Jangan memaksakan diri bertanya seputar nilai, skor, ranking, dan semacamnya pada anak. Meskipun mungkin orangtua sangat ingin tahu, biarkan anak secara sukarela menceritakannya sendiri
  3. Hargai minat anak untuk lebih menikmati aktivitas dan bukan kompetisinya. Misalnya saja saat ada lomba menggambar, hargai bahkan dorong anak untuk menikmati proses menggambar yang dilakukannya dan berikan pujian yang tulus tanpa harus menunggu siapa yang menjadi pemenang perlombaan tersebut
  4. Pandanglah kompetisi sebagai salah satu aspek saja dalam suatu kegiatan. Aspek ini tidak lebih penting dari aspek lain seperti bersosialisasi, belajar percaya diri, menikmati aktivitas (seni, olahraga, belajar,dsb).

Daftar Pustaka

Roberts, Kate . (2013). Parents’ Competitive Drive Is Not For Child’s Play. Dalam http:// www.psychologytoday.com/blog/savvy-parenting/201309/parents-competitive-drive-is-not-child-s-play. Diunduh 14 Desember 2013.

 

Yohanes Heri Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta