Sukses

PBB: Kekerasan pada Anak Fenomena Global

Perwakilan Khusus Sekjen PBB Marta Santos Pais mengimbau Indonesia untuk membangun mekanisme yang kuat guna menghapuskan kekerasan terhadap

Liputan6.com, Jakarta Perwakilan Khusus Sekjen PBB Marta Santos Pais mengimbau Indonesia untuk membangun mekanisme yang kuat guna menghapuskan kekerasan terhadap anak.

Marta yang merupakan Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB dalam hal Kekerasan Terhadap Anak ini dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah fenomena global karena terjadi di semua negara di seluruh lapisan masyarakat, termasuk di Indonesia.

Kekerasan terhadap anak, menurut dia, sering kali tersembunyi dan di banyak kasus hal itu dibenarkan.

Meski demikian, dia ingin memperjelas bahwa kekerasan terhadap anak tidak pernah bisa dibenarkan dan semua kekerasan terhadap anak bisa dihindari secara efektif.

Dengan kemauan politik yang kuat, mobilisasi yang luas, dan tindakan yang tegas, kekerasan terhadap anak bisa diakhiri.

Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah Indonesia untuk membangun mekanisme yang kuat untuk memastikan implementasi tujuan-tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang efektif dengan sistem akuntabilitas dan pengawasan yang jelas, serta mengalokasikan anggaran yang  memadai di semua sektor dalam upaya mencegah dan  menangani kekerasan terhadap anak di Indonesia.

Ia juga berharap Indonesia akan berada di garis depan gerakan menghapus kekerasan terhadap anak, yang akan menjadi bagian penting dalam Sustainable Development Goals (SDG) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Draf SDG menyertakan beberapa target yang bertujuan mengakhiri kekerasan terhadap anak perempuan dan laki-laki, termasuk praktik-praktik yang membahayakan anak seperti perkawinan usia anak dan mutilasi alat kelamin perempuan.

Ia mengundang Indonesia untuk mengambil posisi pemimpin dan menjadi menara suardi kawasan dalam membentuk kebijakan dan agenda keseluruhan untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak.

Untuk mencapai tujuan itu, Indonesia harus memperhatikan penyelesaian dari Strategi dan Rencana Aksi Nasional tentang kekerasan terhadap anak dengan menggarisbawahi bahwa 90 negara di dunia telah memiliki strategi dan rencana aksi tentang hal ini.

Bagian penting dari kesuksesan langkah ini, menurut dia, adalah dengan melibatkan orang muda atau anak-anak dalam pengembangan dan implementasinya.

Lebih lanjut, dia menyambut langkah Indonesia yang telah melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk di institusi, di tengah masyarakat, dan di sekolah. Namun, sangat disayangkan bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara jelas melarang hukuman fisik di dalam rumah tangga.

Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah Indonesia untuk bergabung dengan 45 negara lain yang telah memiliki undang-undang yang secara komprehensif melarang kekerasan terhadap anak dalam bentuk apa pun.

Menurut dia, mengacu pada pelajaran yang didapatkan dari negara lain sangat penting memulai pembahasan terbuka di tengah masyarakat tentang dampak negatif dari kekerasan terhadap anak.

Ia mengambil contoh Swedia yang merupakan negara pertama yang melarang kekerasan terhadap anak pada tahun 1979. Perundang-undangan yang dibuat disertai dengan diskusi yang intensif tentang bagaimana perilaku kekerasan terhadap anak bisa dihindari, dan bagaimana keluarga mendapat dukungan untuk mengetahui bagaimana membesarkan anak dengan baik tanpa menggunakan kekerasan.

Saat ini tidak ada data nasional yang memberikan gambaran seberapa parahnya kekerasan terhadap anak di Indonesia. Namun, studi yang telah ada menunjukkan bahwa kekerasan adalah realitas yang tersembunyi yang dialami oleh banyak sekali dari seluruh anak Indonesia yang berjumlah 80 juta orang.

Berdasarkan Global School-based Student Health Survey (GSHS) atau survei kesehatan global berbasis sekolah pada tahun 2007 sekitar 40 persen murid berusia 13--15 tahun di Indonesia melaporkan telah diserang secara fisik selama 12 bulan terakhir di sekolah mereka. Angka tersebut menjadi salah satu angka yang tertinggi di Indonesia.

Setengah dari anak-anak yang disurvei melaporkan telah mengalami perundungan (bully) di sekolah, sementara 56 persen anak laki-laki dan 29 persen anak perempuan di institus --termasuk panti asuhan, pusat rehabilitasi, pesantren, dan asrama, serta tempat tahanan anak-anak--melaporkan telah mengalami kekerasan fisik.

Meski demikian, hanya sedikit dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan di Indonesia mendapatkan bantuan profesional.